Issues

Harapan Besar buat UU TPKS: Penegak Hukum yang Berperspektif Korban

Penegak hukum yang tak berperspektif korban telah lama jadi pengganjal perjalanan penyintas. UU TPKS harus bisa mengubahnya.

Avatar
  • April 18, 2022
  • 10 min read
  • 436 Views
Harapan Besar buat UU TPKS: Penegak Hukum yang Berperspektif Korban

Peringatan pemicu:  tulisan ini dapat memicu depresi dan trauma. Bagi Anda yang sedang dalam keadaan rentan, kami sarankan untuk tidak melanjutkan.

Malam itu, sekitar jam 19.00 WIB di awal Oktober 2018, sebuah pesan masuk datang dari kerabat terdekat saya. Sebut saja Ana. Pesan itu berisi beberapa cuplikan gambar dirinya yang sedang mandi. Cuplikan gambar itu diambil dari potongan rekaman video yang disorot diam-diam melalui sudut pengambilan gambar dari atas. Selain pesan gambar, Ana menjelaskan bahwa dirinya sedang diancam.

 

 

Singkatnya, ada seorang pria yang tidak dia kenal—yang belakangan terungkap ternyata orang yang pernah tinggal di kos yang sama dengan dia—merekam Ana sedang mandi. Kebetulan tempat kos ini hanya menyediakan kamar mandi umum yang dipakai bersama oleh seluruh penghuni.

Pria tersebut mengirimkan cuplikan gambar melalui pesan Instagram kepada Ana dan mengajaknya berhubungan seksual, diikuti dengan pernyataan-pernyataan melecehkan berbau seksual. Bila Ana tidak menuruti keinginannya, si pria mengancam akan menyebarkan video tersebut di internet. Dia bercerita panjang lebar dan meminta saran apa yang harus dia lakukan.

Malam itu, yang terlintas di pikiran saya hanya satu, kondisi psikologis Ana. Dia sedang berada di bawah ancaman, berada di bawah pengaruh rasa takut. Tindakan saya saat itu, memberikan beberapa narahubung organisasi yang menaungi permasalahan serupa, seperti Komnas Perempuan dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (APIK).

Apa yang dialami Ana merupakan bentuk kejahatan berbasis daring atau Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Di muka publik, kasus KBGO masih belum terlalu umum, tapi di lingkaran aktivisme, KBGO sudah menjadi sorotan penting yang terus dibahas. Mengutip rilis media dari SafeNET bertajuk “Peningkatan Kekerasan Berbasis Gender Online selama Pandemi” setidaknya, pada 2018, Komnas Perempuan menerima laporan KBGO dari korban sebanyak 97 kasus. Angkanya terus bertambah setiap tahun.

Sejatinya, KBGO dan banyak kasus kekerasan seksual lain masih menjadi fenomena gunung es. Tidak lain karena korban tidak berani untuk melapor. Terbukti dari kasus Ana yang akhirnya tidak dilaporkan ke organisasi-organisasi yang saya rujuk. Alasannya hanya satu, takut.

Baca juga: Tok! RUU PKS Sah Jadi Undang-undang: Momen Bersejarah Bangsa

Rumitnya Proses Hukum bagi Korban

Saat informasi kasus ini saya terima, kebetulan saya sedang tidak di Jakarta. Saya tidak bisa banyak membantu. Saya hanya bisa memberikan masukan dan rekomendasi. Sayang, belakangan saya tahu dia tidak melaporkan kasusnya ini ke organisasi-organisasi yang saya rujuk. Malahan, atas dorongan dari teman-teman terdekatnya, dia memilih untuk melaporkan kasus ini pada pihak kepolisian.

Saya berulang kali bertanya, “Lo yakin?” dia tidak yakin, tapi saat itu, hanya polisi yang menurutnya jalan keluar paling memungkinkan. Saya menghormati keputusannya. Setiba saya di Jakarta, saya mencoba membantu. Mencari informasi dari kantor polisi terdekat, tapi saya mendapat penerimaan yang kurang baik. Begitu pula dengan pacarnya yang mencoba melaporkan kasus ini di kantor polisi terdekat. Dia juga mendapat penerimaan serupa. Saya mencoba menghubungi kenalan di LBH Apik dan Komnas Perempuan, jawaban mereka sama, ajak Ana datang menemui mereka dan memberikan laporan. Sayangnya, Ana tidak ingin. Dia terlalu takut.

Suatu hari, salah seorang teman dekatnya menceritakan kasus ini pada suaminya yang seorang polisi. Kemudian Ana direkomendasikan untuk melaporkan kasusnya ke Polda Metro Jaya. Ana merasa akhirnya menemukan titik terang di tengah ancaman yang masih terus datang. Sayang, harapannya tidak dijawab semudah itu. Setidaknya, dia datang empat kali untuk membuat laporan.

Kedatangan pertama, dia diarahkan ke divisi kejahatan siber. Dia datang bersama satu orang teman. Penerimaannya tidak menyenangkan, lebih pada melelahkan. Selain laporannya tidak dicatat, dia juga diminta untuk mengumpulkan bukti-bukti tambahan karena pesan ancaman saja dianggap tidak cukup. Lebih jauh lagi, dia mendapat pertanyaan-pertanyaan seksis yang cenderung menghakimi dan memojokkan. Kedatangan kedua dan ketiga pun seragam.

Pada pelaporan keempat, dia diarahkan untuk bertemu dengan petugas yang kali ini, akhirnya, mencatat laporan Ana. 

Ana menceritakan semua kronologis yang terjadi, tapi waktu itu: Ini yang terakhir kalinya, pikir Ana. Bila harus memberikan laporan lagi, dia menyerah. Dia lelah. Setiap kali dia datang untuk membuat laporan, petugas selalu melontarkan pertanyaan yang berulang dan diterima oleh orang yang berbeda-beda.

Satu hal lain yang membuat Ana ingin menyerah adalah momen di mana seluruh petugas melihat cuplikan gambar dirinya tanpa busana. Semakin sering dia melapor, semakin banyak yang mengetahui cuplikan gambar itu. Semua keberanian untuk melapor yang berhasil dia kumpulkan, datang dari dorongan teman-teman terdekatnya. Bila terus seperti ini, dia memilih untuk mundur saja.

Baca juga: UU TPKS Sudah Sah, Apa Tantangan Selanjutnya?

Penyidikan Dimulai

Satu malam, Ana mendapat panggilan masuk dari nomor yang tidak dia kenal. Rasa trauma masih menaungi hati dan pikirannya. Telepon itu tidak diangkat, tapi nomor itu tidak menyerah. Ana ditelepon lagi. Akhirnya panggilan masuk itu diangkat. Ternyata panggilan tersebut datang dari Wadir Reskrimsus Polda Metro Jaya say itu (nama dirahasiakan demi kepentingan korban). Dia mengatakan bahwa kasus yang menimpa Ana akan segera ditangani.

Setelah ini, Ana diminta untuk menunggu tidak lanjut dari petugas. Beberapa hari setelah panggilan telepon itu, dia mendapat panggilan lain untuk hadir mengisi Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Dia masih ingat pertanyaan pertama dari petugas yang diberi tanggung jawab untuk menangani kasus ini, “Kamu ada hubungan apa sama Pak (Nama Wadir Reskrimsus)?”. Padahal, Ana sendiri tak paham kenapa ia dihubungi yang bersangkutan. Dia hanya berpikir bahwa panggilan itu adalah bagian dari proses hukum biasa. Lagi dan lagi, Ana merasa disudutkan.

Satu sore, saya dihubungi Ana. Dia memberi tahu bahwa dirinya serta beberapa petugas kepolisian akan melakukan penjebakan pada pelaku. Skenarionya adalah, Ana harus menerima ajakan berhubungan badan dari pelaku. Seperti yang diduga, pelaku termakan umpan ini. Setelah pelaku memesan kamar hotel, Ana mengajak untuk bertemu di tempat terbuka. Di hari penjebakan, mereka membuat janji temu di salah satu kafe di Plaza Semanggi, Jakarta Selatan. Ana datang lebih awal. Dia duduk persis di lokasi yang telah disepakati.

Beberapa petugas bersembunyi dan memantau dari kejauhan. Hingga sore menjelang, langit sudah mulai senja, pelaku pun datang. Dia duduk dan berbincang bersama Ana. Tidak bisa ditutupi bahwa dirinya bergetar hebat kala itu. Perasaannya campur aduk. Ketakutannya membuncah hebat. Tidak lama, polisi pun keluar dari persembunyian dan melakukan penangkapan. Pelaku tidak berkutik dan langsung ditahan.

Dari sana, ditemukan satu buah laptop, satu buah hardisk eksternal, dan satu buah telepon genggam. Dalam ketiga perangkat itu terdapat beberapa rekaman video Ana yang digunakan untuk mengancam. Seluruh bukti itu dirasa sudah cukup untuk menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) pun dikeluarkan.

Baca juga: RUU PKS Penting untuk Korban, Kenapa DPR Masih Tarik-Ulur?

Putusan yang Tidak Menyenangkan

Proses penyidikan berlangsung sangat lambat. Seingatnya, lebih dari lima bulan dia harus datang berulang kali untuk memberikan keterangan. Saya sendiri juga diminta hadir untuk memberi laporan sebagai saksi. Hingga akhirnya, Kode P21 pun keluar. P21 adalah kode formulir yang digunakan dalam proses penanganan dan penyelesaian suatu perkara tindak pidana. Selanjutnya, berkas yang telah lengkap dikirimkan ke Kejaksaan. Ana mendapat pengacara dari negara untuk mengawal kasus yang menimpanya.

Di persidangan pertama, tepatnya 12 Februari 2019, Ana hadir bersama dengan tiga orang saksi yaitu; saya, penjaga kos, dan pacarnya. Kami bergantian memberikan keterangan di hadapan majelis hakim. Sidang berlangsung terbuka. Pelaku hadir bersama puluhan terdakwa lain dengan kasus yang berbeda. Trauma yang dialami Ana sangat mudah dilihat. Walau raut wajah selalu berusaha tegar, tapi tubuhnya tidak bisa bohong. Dia gemetar hebat, seperti orang yang sedang menggigil dingin, setiap kali melihat wajah pelaku dengan seragam tahanan yang duduk di antara terdakwa lainnya.

Selanjutnya, saya tidak hadir di persidangan. Ana pun hanya hadir dua kali. Itu karena pengacara memintanya untuk tidak usah hadir di persidangan. Saya tidak bisa banyak membantu, tapi saya selalu memantau perkembangan kasusnya. Setiap kali ada yang janggal, Ana selalu meminta pendapat dan pertimbangan saya. Seperti, misalnya pelibatan uang yang harus dia keluarkan sebagai tanda terima kasih yang diminta oleh petugas kepolisian.

“Sudah jadi korban, masih dimintain uang. Sialan!” ungkap Ana kesal.

Salah satu pertanyaan besar kala Jaksa mengajukan tuntutan adalah pengenaan pasal. Pelaku hanya dikenakan pasal yang merujuk pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Padahal, apa yang dilakukan oleh pelaku bisa dikenakan pasal berlapis. Misalnya, Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. Tindakan pelaku telah memenuhi unsur pengambilan gambar pornografi tanpa diketahui oleh korban, atau tanpa persetujuannya.

Di pasal serupa, seharusnya pelaku juga bisa dikenakan unsur penyebaran. Selain itu, di Pasal 6 UU Pornografi, pelaku juga seharusnya bisa dijerat melalui unsur menyimpan produk pornografi dan memanfaatkan produk pornografi yang dimilikinya. Belum lagi dengan pasal tentang pengancaman dan pemerasan.

Setelah satu bulan, Ana mendapat kabar. Hakim memutus terdakwa bersalah dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara. Hasil yang sangat tidak memuaskan baginya. Oh iya, saya lupa menceritakan bahwa di tengah proses penyidikan, keluarga pelaku mencoba membujuk Ana untuk berdamai. Alasan mereka adalah kondisi kesehatan orang tua terdakwa dan rencana menikah si terdakwa yang akan berlangsung sebentar lagi. Ana menolak untuk berdamai dan tetap pada kasus hukum yang sedang berjalan.

Siapa Pun Bisa Menjadi Korban

Saat ini, si pelaku telah bebas. Namun, bagi Ana, trauma besar dan rasa takut masih belum hilang dari hidupnya. Dia hanya penduduk sipil biasa. Tidak pernah terlintas sama sekali akan mendapat musibah seperti itu. Musibah yang memberikan dampak trauma jangka panjang. Bagaimana tidak, berdasarkan pengakuan dari pelaku, bila dihitung dari tanggal dia mulai mengancam, ternyata video itu direkam dan telah disimpan selama satu tahun lamanya. Berkali-kali rekaman video tersebut digunakan sebagai objek seksual si pelaku untuk kesenangan seksualnya. Hingga dia tidak tahan lagi dan memberanikan diri mengancam Ana untuk mendapatkan kepuasan seksual secara nyata.

Selama proses hukum berjalan, bahkan hingga saat ini, pikirannya terus berputar. Rasa takut masih mengganggu psikologisnya. Banyak pertanyaan di kepala. Apakah rekaman video itu sudah tersebar? Apakah ada kerabatnya yang menonton video itu? Terlebih, kesenangan besarnya menjadi pembawa acara harus tertahan karena rasa takut dari pengunjung yang hadir atau dari rekaman acara yang tersebar. Dia takut ada yang pernah melihat videonya, atau dia takut si pelaku melihatnya dalam sebuah acara.

Hal lain yang saya sesalkan dari penegak hukum adalah tidak memberikan atau menyediakan rujukan pada Ana terkait pendampingan. Setidaknya, Ana butuh pendampingan psikologis untuk menjalani proses hukumnya. Namun, selama kasus berjalan, semua harus dia hadapi sendiri. Begitu pula dengan pendampingan pasca-penyelesaian kasus. Tidak ada rujukan untuk pemulihan bagi korban. Akibatnya, tidak jarang pikiran-pikiran buruk terlintas di benaknya.

Namun, tepat pada Selasa (12/4) kemarin, perjuangan panjang para penyintas dan puluhan organisasi yang bersatu agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS)disahkan, akhirnya membuahkan hasil besar. Di hari berbahagia ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI melalui rapat paripurna mengesahkan RUU tersebut menjadi undang-undang (UU).

UU TPKS sangat dibutuhkan di negara ini, sebab siapa pun bisa menjadi korban, tidak peduli apa pun latar belakangnya. Beragam data telah ditunjukkan oleh lintas organisasi. Ratusan jumlah kasus dari pelapor telah berulang kali disuguhkan. Terbukti, bahwa negara ini tidak aman untuk perempuan. Bahkan di ruang privat sekalipun, seperti yang dialami Ana, kejahatan seksual bisa seketika menyerang.

Keamanan dan kenyamanan dalam proses panjang yang harusnya dirasakan Ana dan korban-korban lain akhirnya dijamin lewat UU ini. Mulai dari jaminan tidak mendapat kekerasan saat melapor, tidak mendapat prasangka dari petugas, jaminan videonya tak akan disebar, dana pemulihan, dan terobosan-terobosan lain yang harusnya bisa dirasakan Ana.

Sekarang, harapan terbesarnya adalah pelaksanaan yang baik. Untuk ini, kita semua wajib memberikan pengawalan.

Catatan:

Kisah ini telah mendapatkan izin dari korban untuk diceritakan tanpa mengungkap identitasnya.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.



#waveforequality


Avatar
About Author

Dani Kosasih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *