Ciptakan Kota Aman Bagi Anak Perempuan
Untuk menciptakan kota yang aman bagi anak perempuan, pertama-tama harus ada perubahan perilaku dari laki-laki.
Fasilitas publik di Indonesia saat ini masih tidak aman bagi anak perempuan akibat tindakan kriminal dan pelecehan seksual, menurut hasil riset Yayasan Plan Internasional Indonesia, sebuah lembaga swadaya yang bergerak untuk pemenuhan hak anak dan kesetaraan anak perempuan. Riset tersebut dilakukan dalam rangka memperingati Hari Anak Perempuan Internasional, yang tahun ini fokus pada tema kota yang aman bagi anak perempuan.
Manajer Advokasi Yayasan Plan Internasional Indonesia Nadira Irdiana mengatakan selama ini keamanan anak perempuan dan perempuan muda jarang dibahas dalam isu perkotaan, padahal hal itu penting untuk membuat kota yang inklusif.
“Kota layaknya mendengarkan anak perempuan dan perempuan muda yang kita sasar, apa yang mereka inginkan dari kota yang aman. Selain aman dan accountable, kita mau kota itu inklusif. Artinya kota itu punya dampak positif untuk semua orang termasuk anak-anak dengan disabilitas, tidak mengesampingkan siapa pun,” kata Nadira dalam diskusi peluncuran hasil riset tersebut di Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (8/10)
Bekerja sama dengan U-Report Indonesia, sebuah sistem jajak pendapat gratis yang digagas oleh Badan PBB untuk Dana Anak-Anak UNICEF, riset tersebut dilakukan lewat metode survei terhadap 1.398 anak perempuan usia 15 sampai 17 tahun, dengan 50 persen dari responden hidup di perkotaan dan 38 persen hidup di pedesaan.
Hasilnya menunjukkan bahwa penyebab tertinggi rasa tidak aman anak perempuan dan perempuan muda di ruang publik adalah tindakan kriminal dan pelecehan seksual (64 persen). Fasilitas publik yang dianggap paling tidak aman adalah transportasi umum, sementara ruang publik yang dirasa paling tidak aman adalah trotoar, diikuti oleh kamar mandi umum.
Banyak sekali terjadi pelecehan seksual pada anak-anak perempuan, kata Nadira, mulai dari pelecehan secara visual, yaitu melihat ke bagian tubuh tertentu, sampai fisik, yang bisa tergolong kekerasan seksual.
Untuk menciptakan kota yang aman bagi anak perempuan, ujarnya, pertama-tama harus ada perubahan perilaku dari laki-laki, baik laki-laki dewasa maupun anak laki-laki.
“Karena kita melihat bahwa saat bicara tentang perubahan perilaku, orang-orang fokus pada anak perempuan atau korban, tidak banyak intervensi terhadap laki-laki. Perlu ada peningkatan kesadaran dan pengetahuan mengenai kesetaraan gender dan pengetahuan mengenai apa itu pelecehan seksual,” ujar Nadira.
Kedua, perlu ada peningkatan partisipasi anak perempuan dalam pengambilan keputusan, yakni betul-betul meningkatkan agensi anak perempuan untuk bisa memberikan masukan kepada pihak terkait, katanya.
“Terakhir, perlu adanya kebijakan dan penegakan hukum untuk bisa melawan pelecehan seksual itu sendiri. Ini yang mungkin belum terlalu baik di Indonesia, maka harus diperbaiki,” tambah Nadira.
Manajer Program Badan PBB untuk Perempuan UN Women Indonesia, Lily Puspasari, menggarisbawahi fakta bahwa saat ini di dunia, lebih dari 56 persen masyarakat tinggal di perkotaan.
“Kota menjanjikan kesempatan karena adanya fasilitas, kesempatan ekonomi, kesempatan sosial, dan sebagainya. Sisi negatifnya juga ternyata ada tantangan yang harus dihadapi oleh warga perkotaan, khususnya bagi perempuan dan anak perempuan. Pengalaman yang mereka hadapi pada saat tinggal di kota berbeda dengan laki-laki,” kata Lily.
Ia mengemukakan data bahwa di Indonesia, setiap 2 jam, 3 dari 4 perempuan terpapar kekerasan seksual. Data dari Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa 26 persen kasus kekerasan seksual berada di ruang publik.
“Kita harus membuat suatu program atau suatu pendekatan kota aman. Dengan prinsip dasar, apabila satu kota aman bagi perempuan dan anak perempuan, maka kota itu aman untuk semua warganya,” katanya.
Menurut Lily, parameter dari suatu kota yang aman adalah tempat perempuan dan anak perempuan merasa aman, dan anak perempuan yang bersekolah atau pekerja perempuan yang harus pulang malam bisa melakukan perjalanan dengan transportasi umum tanpa rasa takut.
Untuk menciptakan kota aman bagi anak perempuan, yang pertama harus dilakukan adalah mengidentifikasi bagaimana kita bisa merespons tantangan atau ancaman yang dihadapi oleh anak perempuan, baik itu di tingkat peraturan maupun di tingkat pelaksanaannya, ujarnya.
“Misalnya melalui peraturan daerah untuk melindungi anak perempuan di ruang publik, dan apakah ada investasi berupa biaya dan penganggaran yang mendukung pelaksanaan dari peraturan tersebut,” kata Lily.
“Dan investasi paling besar yang harus kita lakukan adalah perubahan attitude dan kebiasaan yang mempromosikan hak-hak perempuan dan anak perempuan. Ini tugas besar kita, dan ini adalah panggilan untuk kita semua,” tambahnya.
Baca bagaimana bola untuk keterwakilan perempuan ada di partai politik.