Santri, Tokoh Agama di Garut Tolak Pernikahan Anak
Sejumlah santri dan tokoh agama di Garut meluncurkan kampanye pencegahan pernikahan anak, terutama karena alasan kesiapan mental dan kesehatan reproduksi.
Siang itu, 10 santri dari Pondok Pesantren (PP) Sirojul Huda, Garut, Jawa Barat bersiap-siap menunggu giliran menampilkan drama singkat dalam kampanye mencegah pernikahan anak.
Wajah mereka dihias bedak putih tebal seperti pemain pantomim, dan mereka memakai kostum sederhana seperti sarung dan daster, sesuai dengan peran yang akan mereka mainkan. Ida Farida mengenakan kacamata hitam lengkap dengan sorban serta kumis palsu, berperan sebagai “Abah Dadang”, sementara Resti sebagai “Imas”, anak Abah Dadang.
Drama dimulai ketika Abah jatuh sakit dan meminta Imas menikah dengan “Idoy”, untuk mengurangi beban ekonomi kedua orang tuanya. Masalah hadir ketika Imas sedang hamil besar dan Idoy berlaku kasar terhadapnya. Karena stres akibat kondisi ekonomi dan perlakuan Idoy, Imas kehilangan bayi yang dikandungnya.
Dibuat untuk kampanye publik “Suara Santri Cegah Pernikahan Anak”, drama mereka disambut meriah oleh para penonton yang hadir di Gedung Olah Raga Balewangi, Cisurupan, Garut, pada 10 Mei lalu.
Kampanye tersebut merupakan inisiatif Rahima, lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada pendidikan dan informasi Islam serta hak-hak perempuan. Lewat lomba kampanye kreatif, para santri setingkat SMP dan SMA di Garut itu didorong untuk ikut serta mencegah pernikahan anak.
“Tidak hanya rokok, tapi nikah muda juga bisa membunuhmu,” kata Aida pada Magdalene, menjelaskan inti dari pertunjukan drama kelompoknya.
Lisma, yang berperan sebagai bidan, mengatakan bahwa ia masih ingin belajar dan menikah bisa menunggu. Ucapannya itu diikuti dengan anggukan setuju teman-temannya, bahwa setelah menyelesaikan pendidikan di pesantren mereka masih ingin belajar dan mengejar cita-cita.
Indra Lesmana, santri kelas 10 dari PP Darul Falah, menyatakan pendapatnya lewat pantun di panggung.
”Beli bakso masa kini, eh micin-nya kebanyakan. Stop pernikahan dini, karena masih kekanak-kanakan,” ujar Indra, disambut tepuk tangan riuh.
Ia menambahkan: “Menurut saya pernikahan anak adalah sesuatu yang tidak boleh terjadi karena anak bukan tentang menikah, tapi yang diutamakan untuk anak ialah ilmu.”
Hasil Survei Demografi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) pada 2008 hingga 2012 menunjukkan ada 340 ribu kasus pernikahan anak (di bawah usia 18 tahun) per tahun. Menurut data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) pada 2015, Kabupaten Garut memiliki angka pernikahan anak tertinggi setelah Tasikmalaya dan Cianjur, di Jawa Barat.
Direktur Rahima, Aditiana Dewi Eridani mengatakan, lembaganya memilih wilayah Garut Selatan karena adanya tantangan dalam hal infrastruktur seperti fasilitas transportasi, dan tingkat pendidikan.
“Pada 2018 ini kami melakukan kegiatan yang perangkat utamanya ialah tokoh-tokoh agama, dalam upaya pencegahan pernikahan anak. Agar pesan itu sampai, dimunculkan lewat program kreatif seperti ini melalui santri,” ujarnya pada pidato pembukaan acara.
“Acara ini tidak berdiri sendiri karena setahun lalu, Rahima juga menginisiasi Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Salah satu isinya adalah upaya pencegahan pernikahan anak.”
Pada kampanye tersebut, tokoh agama dan ulama perempuan Garut membacakan deklarasi pencegahan pernikahan anak dan kekerasan berbasis gender. Dalam deklarasi disebutkan bahwa pernikahan anak mampu membawa dampak berbahaya untuk kesehatan, fisik, mental, dan pendidikan seorang anak.
“Tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan ibu,” ujar Siti Hamidah, Dewan Pengasuh PP Darussalam Cisurupan ketika membacakan deklarasi.
Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa angka kematian ibu di negara ini karena melahirkan, kehamilan, dan nifas terus meningkat, yaitu 4.525 kasus pada 2014, 4.890 kasus pada 2015, dan 4.912 kasus pada 2016. Sedangkan menurut Survei Penduduk Antar Sensus 2015, angka kelahiran ibu mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kelahiran balita 22 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini termasuk yang tertinggi di antara anggota Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN).
Siti mengatakan, anak perempuan yang mengalami pernikahan anak rentan gangguan kesehatan reproduksi, misalnya rahim yang belum siap untuk mengandung maupun melahirkan mampu menyebabkan kematian. Selain itu, bayi yang lahir dari ibu dengan gangguan kesehatan reproduksi cenderung memiliki Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
“Islam menganjurkan untuk menghindari hal-hal yang membawa mudarat (keburukan) dan pernikahan anak mampu memberikan mudarat untuk semua orang yang terlibat di dalamnya.”
Anak yang menikah di usia muda cenderung memiliki sikap mental yang labil dan secara emosional belum matang, belum siap bertanggung jawab dan menjalankan peran sebagai orang tua. Oleh karena itu, risiko kekerasan dalam rumah tangga menjadi tinggi, ujar Siti.
“Hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak rentan untuk dilanggar, hal ini berpengaruh pada potensi mendapatkan pekerjaan maupun penghidupan yang layak,” tambahnya.
Pernikahan anak dalam Islam
Pemimpin Pondok Pesantren Manarul Huda, Aab Syihabbudin, yang turut serta dalam deklarasi, mengatakan Islam juga menganjurkan untuk menghindari hal-hal yang membawa mudarat (keburukan) dan pernikahan anak mampu memberikan mudarat untuk semua orang yang terlibat di dalamnya.
“Meski seseorang telah disebut dewasa pada saat ia akil balig, ia harus dewasa secara keseluruhan jika ingin menikah. Tidak hanya dari faktor usia, namun juga dalam pemahaman, pendidikan, wawasan, dan akhlak,” ujarnya.
“Jika usia seseorang sudah layak untuk menikah, tapi masih kekanak-kanakan, maka ia masih perlu dididik.”
Dia melanjutkan bahwa seseorang yang ingin menikah harus kaya akan ilmu. “Pasangan tidak boleh timpang, makanya harus ada kesetaraan antar laki-laki dan perempuan (dalam rumah tangga). Perempuan banyak dipinggirkan dan orang tua berpikir mau menikahkan anaknya. Anak itu (perempuan) harus mencari ilmu supaya nanti menjadi muslim yang setara (dengan laki-laki),” ujarnya.
Aab menyebutkan bahwa dalam ajaran Islam ada lima tujuan pernikahan yang akan sulit dilakukan oleh orang yang menikah di bawah umur.
“Tujuan menikah yang pertama ialah memelihara agama. Seseorang harus memiliki akhlak, akidah, dan ilmu yang bagus. Jika seseorang tidak memiliki hal tersebut maka sebuah agama dalam pernikahan itu akan hancur,” kata Aab.
Tujuan kedua adalah untuk memelihara keturunan, dan orang tua harus memiliki kesiapan untuk itu. Ketiga, memelihara diri dan pasangan agar sehat dan kuat. Tujuan pernikahan yang keempat adalah untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, kata Aab.
“Ekonomi rumah tangga yang stabil akan mampu membantu kuatnya sebuah negara. Jika negara kita mau kuat semua berasal dari rumah tangga. Mana mungkin negara dan agama bisa kuat jika yang berkeluarga orang-orang yang masih lemah,” ujarnya.
Tujuan pernikahan kelima adalah membangun negara yang baik.
“Orang-orang hebat berangkat dari rumah tangga. Oleh karena itu, rumah tangga bukan permainan dan hal yang mudah dijalani. Pernikahan membangun akidah, keturunan, lingkungan, serta negara yang bagus,” lanjut Aab.
Alihkan perhatian
Melihat masih maraknya pernikahan anak, Aab menganjurkan agar perhatian anak dan remaja mereka dialihkan dari topik pernikahan.
“Misalnya dengan melanjutkan pendidikan atau ikut kegiatan organisasi, aktivitas yang bisa memalingkan perhatian dari itu (menikah). Diarahkan sedikit demi sedikit,” ujarnya.
Menurut Aab, pengalihan tersebut dapat memengaruhi wawasan keilmuan anak, sehingga ia ingin terus melanjurkan sekolah. Ia pun melanjutkan bahwa lima faktor, yaitu keluarga, lingkungan, pendidikan, teman dan tontonan, memengaruhi keinginan anak untuk menikah atau tidak. Ia menyarankan agar seseorang dijauhkan dari kelima faktor tersebut jika memang membawa unsur-unsur negatif.
Aab meminta anak menolak paksaan orang tua untuk menikah di usia dini karena tidak membawa manfaat bagi anak tersebut.
“Jika ajaran orang tua tidak mengarah pada ilmu tidak usah diikuti. Anak punya harapan masa depan dan pendidikan. Jika orang tua memaksa, anak bisa menolak,” ujarnya.
Pada deklarasi tokoh agama dan ulama di Garut, disebutkan bahwa haram bagi orang tua yang mengabaikan kemaslahatan dan perlindungan serta kepentingan anak dan menikahkannya secara paksa.
Disebutkan pula bahwa sebelum seseorang akan menikah dan berumah tangga, maka orang tua, masyarakat, dan pemerintah harus memberdayakan warga negara dengan mempersiapkan secara fisik, mental, dan sosial.
Para tokoh tersebut mendorong adanya sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya pendewasaan usia menikah.
“Kedua, mendorong pengambil kebijakan untuk melakukan harmonisasi aturan perundangan sehingga dapat mencegah praktik pernikahan anak,” ujar pemimpin PP Darussalam Cisurupan, Ishaq Faridz, ketika membacakan rekomendasi deklarasi penolakan pernikahan anak tersebut.
Para tokoh agama ini juga mendorong pemerintah melakukan sosialisasi dan penegakan hukum bila terdapat petugas negara yang melanggar hukum, membantu, bahkan membiarkan terjadinya kasus pernikahan anak. Selain itu, pemerintah, tokoh agama, masyarakat, dan adat didesak untuk membantu sosialisasi ke masyarakat mengenai bahaya dan pentingnya mencegah praktik pernikahan anak.
Baca bagaimana setelah 32 tahun, posyandu masih miskin dana, regenerasi dan perspektif gender.