Perampokan di Siang Bolong: DPR dan UU MD3
Sementara negara bersiap untuk pemilihan presiden, Parlemen mengesahkan UU yang membuat posisinya sangat berkuasa sejak Reformasi pada 1998. Kita harus merasa marah dengan keadaan ini.
Kebuntuan di antara dua kandidat menyusul pemilihan presiden 9 Juli telah memberikan salah satu ujian terbesar bagi demokrasi di Indonesia. Dengan salah satu presiden menolak menyerah kalah, meski ada hasil-hasil dari sejumlah lembaga survei yang dapat diandalkan, rakyat Indonesia berada dalam ketidakpastian sampai Komite Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasilnya secara resmi pada 22 Juli.
Namun ada sesuatu yang sama mengganggunya terjadi di Parlemen baru-baru ini, ketika para wakil rakyat mengesahkan undang-undang yang membatasi (atau menguntungkan, tergantung dari hasil resmi pilpres) otoritas presiden yang baru.
Hanya sehari sebelum pilpres 9 Juli, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan revisi sebuah aturan internal, yang disebut Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah (UU MD3).
Pada hari pengesahan, para anggota Dewan dari partai-partai yang mendukung kandidat presiden Joko “Jokowi” Widodo ‘walked out’ dari sidang paripurna sebagai penolakan atas undang-undang tersebut. Tapi jumlah mereka kurang banyak, sehingga aturan baru itu tetap disahkan.
Para pengkritik mengatakan revisi UU yang dikeluarkan pada 2009 tersebut akan mengurangi kinerja DPR di masa yang akan datang, bukannya meningkatkannya seperti klaim para anggota Dewan. Koalisi Masyarakat Sipil, yang terdiri dari beberapa LSM terkemuka, menyebut UU tersebut represif, diskriminatif dan korup.
Para anggota DPR dari partai Jokowi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) curiga aturan baru itu bermaksud mengurangi pengaruh partai tersebut di DPR dalam periode 2014-2019.
Meski PDI-P memiliki anggota terbanyak di Parlemen dengan 19,4 persen, koalisi partai yang mendukung Jokowi kalah banyak dengan jumlah total partai yang mendukung pesaingnya Prabowo Subianto.
Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran bahwa jika Jokowi terpilih menjadi presiden, oposisi yang kuat di Parlemen akan terus menggerus upayanya untuk menjalankan pemerintah yang efektif.
Berikut adalah alasan-alasan mengapa aturan baru yang telah direvisi itu problematis:
1. UU MD3 menciptakan birokrasi bagi penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap para anggota DPR. Pasal 220 dari UU baru menyebutkan bahwa KPK harus mendapat izin presiden dalam memeriksa seorang wakil rakyat. Hal ini, menurut para pengkritik, adalah diskriminatif dan tidak konstitusional, karena setiap warga negara memiliki hak yang sama di depan hukum. Hal ini memicu kecurigaan bahwa aturan tersebut bertujuan menghambat proses hukum dan upaya KPK dalam memerangi korupsi.
UU tersebut juga dianggap diskriminatif karena hanya berlaku pada para anggota DPR, tapi tidak untuk anggota DPD dan DPRD.
2. UU MD3 membatasi peran perempuan dalam Parlemen dengan menghapuskan ketentuan yang menekankan keterwakilan perempuan, terutama dalam hal pimpinan Alat Kelengkapan DPR (AKD) atau kepemimpinan badan/komisi parlemen.
3. UU MD3 mengubah sistem sehingga partai politik yang memenangkan suara terbanyak dalam pemilihan legislatif tidak otomatis menjadi ketua DPR. Dalam sistem baru ini, posisi ini diputuskan melalui mekanisme pemungutan suara. Mekanisme yang sama berlakuk bagi kepala-kepala komisi, badan anggaran, komite legislatif, dewan kehormatan dan badan rumah tangga.
Hal ini akan menguntungkan ‘koalisi permanen’, yang memiliki hak penuh untuk menolak atau menerima rancangan undang-undang, dan bahkan menolak kebijakan presien jika diperlukan.
4. UU MD3 melegalisasi gratifikasi, karena untuk setiap usulan rancangan undang-undang atau proyek, para anggota DPR berhak mendapatkan dana aspirasi atau daerah pemilihan (dapil). Awalnya, usulan hak dana aspirasi/dapil ini berbentuk hak mengusulkan program, namun kemudian dalam perkembangan pembahasan terbaru, usulan berubah menjadi hak untuk mendapatkan jatah alokasi dana dengan jumlah tertentu berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah.
Lebih parah lagi, usulan ini tanpa disertai dengan mekanisme implementasi dan pertanggungjawaban yang jelas. Dan untuk menambah keanehan, ketentuan ini hanya berlaku bagi anggota DPR, bukan untuk DPD dan DPRD.
Singkatnya, empat poin di atas saja dapat memberikan Parlemen kekuasaan terbesar sejak era reformasi dimulai 16 tahun lalu.
Untungnya, PDI-P dan Indonesia Corruption Watch (ICW), sebagai anggota Koalisi Masyarakat Sipil, akan mengajukan ‘judicial review’ atas undang-undang ini ke Mahkaman Konstitusi.
Mari kita kawal proses ini dengan terus memunculkan isu ini, sehingga para hakim Konstitusi sadar bahwa masyarakat tidak akan memberikan toleransi terhadap penyalahgunaan wewenang yang terang-terangan di dalam badan legislasi.
Ikuti @heradiani di Twitter.
Diterjemahkan dari artikel ‘Legislators Having the Last Laugh, All the Way to Bank’.