Issues

Kisah Kartika Si Buruh Migran: Saya Makan Bubur Sisa, Minum Air Toilet, dan Bekerja Cuma-cuma

Ada Kartika-kartika lain yang mengalami penyiksaan selama menjadi buruh migran. Meski diklaim sudah diselesaikan, kenapa penyiksaan terus berulang?

Avatar
  • March 1, 2023
  • 6 min read
  • 909 Views
Kisah Kartika Si Buruh Migran: Saya Makan Bubur Sisa, Minum Air Toilet, dan Bekerja Cuma-cuma

Namanya Kartika Puspitasari. Usianya 40 tahun. Perempuan asal Cilacap, Jawa Tengah itu terpaksa menjadi buruh migran di Hongkong. Kemiskinan dan ditinggal mati suami membuat ia harus berjibaku menghidupi anak semata wayang dan keluarganya. Menurutnya, pengalaman jadi buruh di Singapura sudah relatif cukup untuk merantau ke Hong Kong.

Namun bukannya mendapat penghidupan lebih baik, ia justru mendapat rentetan penyiksaan. Tiga bulan pertama, ia masih diperlakukan dengan baik tapi setelah itu majikan perempuannya membuang barang-barang milik Kartika. Sebut saja paspor, kontrak kerja, dan KTP Hongkong. Tujuannya, agar Kartika tidak bisa pulang ke Indonesia.

 

 

“Saya juga hanya diberi makan tiga kali seminggu, itu pun dengan bubur sisa bekas majikan. Minum hanya boleh dengan air keran dan air toilet saja. Mandi pun saya cuma dibolehkan mandi di toilet umum, tanpa sabun, shampoo, dan pasta gigi,” ujar Kartika di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), (7/3).

Baca juga: PRT di Mata Islam: Setara dan Punya Hak yang Sama

Ketika memasuki musim dingin dan panas, ia harus memakai plastik sampah sebagai pengganti baju. Lalu ia diwajibkan memakai pampers setiap hari. Majikannya juga menyiksa dengan memukul dia menggunakan tangan, sepatu, hanger pakaian, bahkan rantai sepeda. Buntutnya, Kartika punya luka besar di lengan tangan. Tidak hanya itu, jika Kartika tidak mengikuti perintah majikan, maka ia akan diancam untuk dibunuh.

Pada 2011, ketika majikannya berlibur ke Thailand, mereka mengikat tangan dan kakinya di kursi agar tidak bisa kabur. Selama tujuh hari majikannya berlibur, ia sama sekali tidak diberi makan dan minum. Ia pun bertahan selama itu. Ironisnya, ia tidak mendapat upah selama bekerja di sana.

Saat itu Kartika hanya bisa pasrah karena ia sendiri tidak punya kerabat dan tidak bisa menghubungi siapapun. Ia mengalami siksaan fisik dan mental selama 2,3 tahun bekerja di rumah tersebut. Selama itu juga, keluarganya tidak mendengar kabar dari Kartika. Ibunya sampai berutang untuk mendatangi perusahaan tempat penyalur Kartika. Ternyata tempat penyalur tersebut sudah tutup hingga keluarga memutuskan untuk menganggap Kartika meninggal dunia.

Pada Oktober 2012, saat majikan lupa mengunci pintu, Kartika berhasil kabur dari rumah. Selama pelariannya, ia bertemu dengan sesama pekerja migran dari Indonesia dan mengantarkan ia ke kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hongkong.

Singkat cerita, kasus ini dilimpahkan ke kantor polisi Hongkong pada 2013. Dua majikan dinyatakan bersalah dan dihukum penjara masing-masing 3,5 tahun (Ta Chi Kwai) dan 5,5 tahun (Catherine Au Yuk-Shan). Meskipun kedua majikan dinyatakan bersalah, namun kasus perburuhan yang ditangani oleh agen harus kalah di pengadilan tribunal. Dari tuntutan sebesar 86.000 Hongkong Dollar, Kartika hanya diberi uang ganti tiket sebesar 5.000 Hongkong Dollar. Namun usut punya usut, uang itu tak pernah sampai di tangannya.

Baca juga: Jalan Panjang Pekerja Rumah Tangga Cari Keadilan, Negara ke Mana?

Malangnya lagi, selama di KJRI, Kartika mengatakan tidak pernah dibawa berobat untuk fisik dan mentalnya. Akibatnya, trauma dia semakin buruk. Ia masih sering merasa ketakutan, dan selalu bermimpi buruk.

Di sisi lain, tidak ada proses naik banding untuk kasus ketenagakerjaan oleh KJRI Hongkong. Tak ada kompensasi. Kasus selesai. Titik.

Pada 2014, Kartika dipulangkan ke Indonesia tanpa uang sepeser pun. Sesampainya di Indonesia, Kartika didatangi oleh Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) dan Hongkong Macau dan Direktur dari Mission for Migrant Workers (MFMW). Kartika pun dibantu untuk memulai proses tuntutan kompensasi bersama dengan organisasi. Ia diterbangkan ke Hongkong tiga kali di rentang 2015-2023. Ia lantas berhasil memenangkan kasus kompensasi sebesar 1,2 juta Hong Kong dollar termasuk yang sudah dibayar perusahaan asuransi sebesar 350,000 Hong Kong dollar.

“Meskipun saya senang sudah memenangkan tuntutan, tapi jumlah tersebut tidak sebanding luka dengan dan penderitaan yang saya alami. Sampai sekarang masih merasakan trauma berat dan kehilangan kepercayaan diri karena luka-luka yang saya dapatkan. Hukuman yang diberi kepada majikan saya juga tidak sebanding, tapi saya tetap hormati keputusan aturan pemerintah Hongkong,” ujarnya.

Namun lagi-lagi, meski dinyatakan menang, semua uang itu tak pernah ia terima. Hanya sebatas menang di atas kertas saja. Uang sebesar itu hanyalah sebuah angka tanpa kenyataan.

Gunung Es Kekerasan Buruh Migran

Hal yang dialami oleh Kartika ini hanya sedikit dari banyaknya kasus kekerasaan terhadap buruh migran. Erwina Sulistyaningsih yang berasal dari Ngawi, Jawa Timur juga pernah mengalami kasus serupa. Saat itu di 2014, ia disiksa dan ditelantarkan oleh majikannya di Hongkong.

Erwina yang sekarang menjadi aktivis di Beranda Migran mengatakan, kasus Kartika mengulang kasus serupa seperti yang dialaminya. Tidak ada upaya perbaikan untuk pencegahan dan perlindungan terhadap PRT migran di sektor domestik. Sehingga, jika dibiarkan terus terjadi, kasus lain akan bermunculan.

Baca juga: RUU Perlindungan PRT Kurang Perhatian Media, Minim Pemberitaan

Karena itu, perlu ada solusi yang praktis dan strategis untuk memutus lingkaran setan ini.

“Negara harus meminta maaf secara publik terhadap Kartika dan buruh migran sektor domestik lainnya dengan perbaikan skema kerja sama yang mengutamakan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan hak-hak perburuhan,” ujar Eni Lestari, Ketua International Migrants Alliance (IMA) dan Juru Bicara Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) yang juga hadir di YLBHI.

Ia menambahkan, kasus yang berulang ini menjadi penanda gagalnya skema perlindungan terhadap perempuan pekerja migran sektor domestik.

Selain itu kurangnya informasi saat perekrutan para buruh migran disinyalir dilakukan secara sengaja. Tujuannya agar menjadikan para buruh migran yang tidak tahu apa-apa ini sebagai pekerja murah (cheap labour). Poin utamanya adalah tidak adanya bekal pemahaman seperti bahasa dan budaya untuk menjadi kunci keselamatan mereka selama bekerja.

Kondisi ini diperparah dengan kurangnya layanan dari perwakilan Indonesia. Iwenk Karsiwen, Ketua Pimpinan Pusat Kabar Bumi menegaskan, pemerintah melalui KJRI hanya mengurus kasus kriminalnya saja, tapi tidak ada kompensasi pemulihan korban PRT Migran. Di titik ini, kita mempertanyakan bagaimana kinerja Atase Ketenagakerjaan dan Perwakilan di sana.

Sementara itu, Daniel Awigra, Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) mendorong supaya negara bertanggung jawab penuh atas upaya perlindungan hukum dan jaminan hak atas pemulihan untuk Kartika dan buruh migran perempuan lain.

Selain itu, sebagai ketua ASEAN menurutnya, Indonesia harus memimpin kawasan untuk pencegahan dan penghapusan perdagangan manusia dengan berfokus pada hak atas pemulihan untuk korban.

Jika disimpulkan, ada tiga solusi yang bisa diupayakan dalam perkara ini. Pertama, negara harus meminta maaf secara terbuka dan memberi Kartika hak atas pemulihan, kompensasi, reparasi, jaminan sosial, jaminan kasus serupa tidak terulang. Kedua, mengevaluasi seluruh kerjasama pekerja migran di sektor domestik di seluruh negara tujuan, termasuk mengevaluasi kinerja atase ketenagakerjaan dan perwakilan RI di Hong Kong, dan agensi dan semua pihak yang terlibat. Ketiga, mengakhiri praktik perbudakan modern dengan melakukan negosiasi ketenagakerjaan dengan menghapuskan sistem kerja eksploitatif, dengan pengakuan atas keahlian dan memberikan upah, kondisi kerja dan tempat tinggal layak.

“Saya juga memohon agar pemerintah memantau pekerja migran dan jika ada pengaduan jangan disepelekan. Tidak semua yang bekerja menjadi buruh migran itu sukses dan banyak yang mengalami kekerasan seperti saya, hilang, bahkan mati. Yang kami harapkan adalah perlindungan yang pasti,” ujar Kartika.



#waveforequality


Avatar
About Author

Chika Ramadhea

Dulunya fobia kucing, sekarang pencinta kucing. Chika punya mimpi bisa backpacking ke Iceland.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *