Issues

Marak Konten Tak Sensitif Nakes, Bagaimana Etikanya?

Sejumlah dokter bikin konten kurang sensitif, seperti joget pakai atribut dan melecehkan pasien perempuan. Sebenarnya, bagaimana etika kedokteran dalam bermedia sosial?

Avatar
  • April 10, 2023
  • 5 min read
  • 1408 Views
Marak Konten Tak Sensitif Nakes, Bagaimana Etikanya?

Kevin Samuel Marpaung memberikan tatapan tajam, mengerutkan alis, dan menggigit bibir. Dua jari tangan ia acungkan ke arah kamera untuk menggambarkan bagaimana caranya seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi (obgyn) mengecek pembukaan persalinan. Konten tersebut kemudian viral pada 2021 di TikTok.

Kevin tak sendiri, sejumlah tenaga kesehatan (nakes) lain juga kerap membikin konten nirsensitif di media sosial. Akhir Februari lalu kreator konten Jerome Polin bersama dua dokter co-ass, Farhan Firmansyah dan Ekida Firmansyah juga melakukan hal serupa. Dengan backsound “OMG” dari New Jeans, ketiganya joget mengenakan jas dokter dan mengalungkan stetoskop.

 

 

Yang dipermasalahkan selanjutnya, adalah tulisan yang tertera dalam video yang diunggah Farhan. “Mohon maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin.” Kalimat yang umumnya diucapkan dokter kepada pihak keluarga, ketika tidak berhasil menyelamatkan nyawa pasien. Karenanya, netizen menilai seharusnya kalimat tersebut tidak digunakan sebagai guyonan lantaran memiliki makna mendalam.

Sebagai respons atas perbuatannya, Jerome, Firman, dan Ekida minta maaf lewat media sosial, diikuti penghapusan video oleh Farhan. Di samping itu, Farhan juga mengklarifikasi, kalimat dalam video tersebut merujuk pada dance yang mereka lakukan—bukan momen krusial sebagaimana dimaksud warganet.

Dua kejadian tersebut adalah sedikit dari sejumlah konten nakes lainnya, yang sensasional dan menuai kritik netizen. Padahal, media sosial dapat digunakan sebagai sarana mengupayakan kesehatan masyarakat, sebagaimana dianjurkan dalam fatwa Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yang mengatur etik dokter dalam bermedia sosial.

Lalu, apa yang melatarbelakangi para nakes membuat konten sedemikian rupa?

Baca Juga: Bias Gender dan Objektivitas di Dunia Kesehatan

Etika Kedokteran dalam Beraktivitas di Media Sosial

Pemanfaatan media sosial oleh nakes memang hal yang positif. Salah satu manfaatnya, nakes dapat membagikan informasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat seputar kesehatan. Peneliti C. Lee Ventola dalam Social Media and Health Care Professionals: Benefits, Risks, and Best Practices (2014) bilang, media sosial punya sederet manfaat. Di antaranya, memperbaiki atau meningkatkan jaringan dan pendidikan profesional, perawatan pasien, promosi organisasi, mendidik pasien, dan program kesehatan masyarakat.

Berdasarkan pengamatannya, Wakil Ketua Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) Pengurus Besar (PB) IDI, dr. Emil Dinar Makotjo Wibowo, Sp.U menyebutkan alasan para dokter membuat konten yang kurang sensitif. Misalnya, persaingan di zaman sekarang dalam menciptakan personal branding.

Perihal personal branding, periset Florin-Alexandru Luca, Corina Anamaria Ioan, dan Constantin Sasu menjelaskan, dokter juga perlu membangun citra diri yang kuat dan mempromosikan diri bahwa mereka berintegritas. Pasalnya, dokter perlu meyakinkan pasien akan layanan yang mampu diberikan lewat profesinya—ditambah penilaian dari layanan dokter juga berdasarkan evaluasi, sehingga bersifat subjektif. Hal itu disampaikan ketiganya, dalam The importance of the professional personal brand. The doctors’ personal brand (2015).

Baca Juga: Misdiagnosis, Problem Laten yang Ancam Kesehatan Perempuan

Kendati demikian, dr. Emil melihat personal branding justru menciptakan keinginan di kalangan dokter, untuk menunjukkan keahlian yang dimiliki. “Padahal, di kedokteran kami diajarkan antar teman sejawat itu berkolaborasi. Bukan kompetitif,” terangnya.

Dalam hal ini, dr. Emil melihat sifat kompetitif, justru mengarah pada sikap egosentris. Dari situlah, muncul persaingan tidak sehat di kalangan dokter, yang berlawanan dengan Pasal 2 Surat Keputusan MKEK tentang Fatwa Kode Etik Dokter dalam Aktivitas Media Sosial. Pasal tersebut menekankan, dokter selalu mengedepankan nilai integritas, profesionalisme, kesejawatan, kesantunan, dan etika profesi pada aktivitasnya di media sosial.

Menanggapi konten yang belakangan ini viral di media sosial, dr. Emil mengatakan IDI memiliki prosedur dalam memproses kasus tersebut.

“Ketika ada konten yang viral, kami cari tahu di mana posisi dokter yang bersangkutan untuk berkoordinasi. Dari situ, BHP2A akan menindaklanjuti, apakah ada indikasi pelanggaran etik? Kalau ada, kami lanjutkan ke MKEK untuk melakukan persidangan etika,” jelas dr. Emil.

Nantinya, MKEK melakukan persidangan sebanyak satu sampai tiga kali, diikuti musyawarah mufakat dalam memutuskan sanksi. Untuk sanksi paling berat, MKEK akan merekomendasikan pencabutan Surat Izin Praktik (SIP) kepada pemerintah. Sebab, IDI tidak berwenang melakukannya, seperti tertulis dalam Pasal 37 dan 38 Undang-undang (UU) Praktik Kedokteran.

Adapun prosedur dilakukan lewat pendekatan berupa tuntunan, bukan tuntutan—mengingat IDI mengutamakan kesejawatan. Contohnya dalam menangani kasus dr. Kevin.

Saat itu, ia dikenakan sanksi berupa pembinaan selama enam bulan, hingga penundaan pemberian rekomendasi izin praktik. Melansir Kompas.com, dr. Kevin menerima sanksi kategori satu dan dua. Salah satunya untuk kembali mengikuti pendidikan etika, di perguruan tinggi tempatnya berkuliah.

Lantas, apa yang akan IDI lakukan ke depannya?

Baca Juga: 4 Cara Gunakan Media Sosial Secara Lebih Bijak

Upaya IDI Mencegah Munculnya Konten Serupa

Berkaca dari berbagai konten kurang sensitif yang bermunculan di media sosial, dr. Emil menyatakan, seharusnya para dokter membuat konten edukatif dan mencerminkan pelayanan masyarakat. Misalnya seputar rekonstruksi luka bakar, yang dapat meningkatkan kepercayaan diri. Konten tersebut tidak hanya mengandung kedua aspek yang ditekankan oleh dr. Emil.

Di samping itu, sebenarnya MKEK telah mengatur regulasi bermedia sosial. Tepatnya Fatwa Etik Dokter dalam Aktivitas Media Sosial yang dirilis pada 2021. Selain mengedepankan nilai integritas, di dalamnya juga tertulis bahwa media sosial digunakan untuk meluruskan kekeliruan informasi seputar kesehatan dan kedokteran, sesuai kebenaran ilmiah. Hal ini diatur dalam Pasal 4.

Bahkan, dalam Pasal 8 disebutkan, dokter ditekankan membuat akun media sosial terpisah, antara kehidupan pribadi dan edukasi kesehatan bagi masyarakat. Tujuannya supaya fokus pada tujuan edukasi. Sementara jika akun yang sama digunakan untuk pertemanan, dokter harus memahami dan mengelola ekspektasi masyarakat terhadap profesi kedokterannya.

Menurut dr. Emil, fatwa tersebut merupakan upaya IDI dalam menyusun kode etik, yang sesuai dengan perkembangan zaman—sama seperti Fatwa Layanan Telemedis dan Konsultasi Daring yang dirilis pada 2020 silam, sewaktu pandemi Pandemi Covid-19. Fatwa ini mengatur etika komunikasi dan profesi kedokteran, di era teknologi informasi.

“Dalam kondisi sekarang ini memang mekanisme penyusunan etik perlu disesuaikan dengan kondisi zaman,” tutur dr. Emil. Selain itu, ia juga menekankan, dokter sebaiknya tidak mengiklankan diri secara berlebihan. Meskipun dinyatakan sulit jika menyangkut personal branding.

“Batasannya memang ada di nurani, dari niat kita. Jadi memantaskan diri untuk menjunjung nilai-nilai moral, kebaikan, dan kemuliaan dalam melayani masyarakat,” tegas dr. Emil.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *