Suami Larang Hobi Istri? Mengenal ‘Emotional Abuse’, Kekerasan Tak Kasatmata
Melarang hobi seseorang bahkan sampai mengejeknya adalah salah satu ciri ‘emotional abuse’.
Menikmati suatu hobi tanpa ada orang terdekat yang melarang ternyata merupakan sebuah kemewahan. Itu setidaknya yang terjadi pada seorang perempuan dengan akun Twitter @yourandahh_twt. Andah, begitu panggilannya pada 15 April lalu sempat menghebohkan Twitter pasca-membagikan cerita tentang suami yang tidak mendukung hobi membacanya.
Dalam sebuah utas yang kini sudah mencapai 1,9 ribu views, Andah bercerita, sebelum “dilarang” menekuni hobi membaca buku, sang suami juga sempat tidak mendukung hobinya mengoleksi album dan photocard BTS. Demi menjaga keharmonisan hubungan pernikahan, Andah lalu menuruti sang suami dan beralih ke hobi lain: Membeli dan membaca buku.
Mulanya Andah mengira hobi membeli dan membaca buku ini tak akan dilarang lagi, oleh sang suami. Apalagi ia juga membeli buku dengan uang sendiri. Sayang, dugaan itu salah total. Suaminya ternyata juga tidak suka dengan hobi baru Andah.
Baca Juga: Ketika Pacar Ancam Bunuh Diri Saat Hubungan Diakhiri
Dalihnya, buku yang dibeli Andah tak akan membuat sang istri pintar. Suaminya kemudian menyuruh Andah untuk segera menjual koleksi buku itu.
Andah sayangnya tidak sendiri. “Miya”, 20, juga punya pengalaman serupa. Perempuan muda yang tengah kuliah di salah satu universitas di Jakarta ini bercerita, dilarang membeli buku oleh ayah sendiri. Tiap Miya kedapatan membeli novel, ayahnya akan marah. Entah itu marah dengan cara membentak atau memberikan respons jutek yang disusul dengan silent treatment.
Amarah ayah Miya bahkan pernah tak terbendung. Pernah satu kali salah satu novelnya pernah dibakar ayahnya. Miya sempat menanyakan kenapa ayahnya sampai melarang begitu keras membaca buku. Tapi, bukan penjelasan yang ia dapat, Miya cuma diganjar diam.
“Sampai sekarang aku enggak tau alasan sebenernya kenapa dilarang (membaca). Makanya aku kalau beli buku suka diem-diem. Biar enggak ketahuan,” curhatnya.
Kekerasan Emosional Sebagai Kekerasan Tak Kasatmata
Sering kali jika berbicara kekerasan, hal pertama yang terlintas dalam pikiran kita adalah kekerasan fisik. Kekerasan yang punya dampak kasatmata seperti luka memar atau goresan pada bagian tubuh tertentu. Kasus Andah dan Miya jelas bukan kekerasan fisik. Mereka tak memiliki luka fisik yang kasatmata. Namun, bukan berarti keduanya tidak mengalami kekerasan.
Mengutip dari tulisan Minkyung Chung LMHC, konselor kesehatan mental berlisensi yang berjudul Emotional Abuse: Signs, Examples, and Effects, cara bagaimana suami Andah dan ayah Miya melarang atau menghina hobi keduanya jelas merupakan salah satu ciri dari kekerasan emosional.
Chung menjelaskan, sederhananya kekerasan emosional adalah salah satu bentuk kekerasan saat seseorang (pelaku) sengaja menggunakan emosi untuk mengendalikan, mengisolasi, atau menakut-nakuti orang lain. Jenis kekerasan ini tidak terbatas pada relasi romantis saja, tetapi juga dapat ditemui dalam relasi kita dengan orang tua atau dengan kolega kantor kita.
Dalam melakukan kekerasan emosional, pelaku umumnya akan menggunakan hinaan, kritik, ancaman, intimidasi, atau taktik lain yang tidak secara langsung menyakiti korban secara fisik untuk menyakiti dan mengendalikan korbannya. Seiring berjalannya waktu, hal ini pun dapat mendistorsi persepsi korban, mengikis rasa percaya diri dan merusak kesehatan mental mereka.
Sebagai kekerasan yang tak kasatmata, kekerasan emosional memang sulit untuk dikenali. Hal ini menurut Chung tidak terlepas dari bagaimana pelaku kekerasan emosional berusaha keras untuk memanipulasi korban dan membuat dampak kekerasan yang mereka lakukan tampak lebih kecil. Mereka sering kali akan menyangkal bahwa kekerasan pernah terjadi, sehingga membuat korban tidak menyadari kalau mereka mengalami siklus kekerasan berulang.
Sayangnya walau sulit dikenali, kekerasan emosional bisa dibilang adalah salah satu jenis kekerasan yang paling sering terjadi. Dalam laporan National Domestic Violence Hotline Amerika misalnya tercatat 96 persen (182,784) aduan yang masuk pada 2020 adalah kasus kekerasan emosional. Jumlah aduan kekerasan emosional ini bahkan melebihi aduan kekerasan fisik yang tercatat sebanyak 64 persen (122,953) aduan.
Baca Juga: Pacar Tukang ‘Gaslighting’ Menjebakku dalam Hubungan Toksik
Selain itu Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dalam data terbarunya pada 2022 juga menemukan lebih dari separuh siswa sekolah menengah Amerika (55 persen) mengalami kekerasan emosional oleh orang tua atau orang dewasa lainnya di rumah. Kekerasan emosional ini termasuk di antaranya memaki, menghina, atau merendahkan para siswa.
Di Indonesia sendiri kasus kekerasan emosional bisa dilihat dari data hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021. Dikutip dari Kaltim Post, survei yang dilakukan pada 14.160 rumah tangga di 178 kabupaten/kota di Indonesia menemukan setidaknya ada sekitar 19,19 persen laki-laki dan 22,9 persen perempuan di usia 13-17 tahun yang mengalami kekerasan emosional selama pandemi.
SNPHAR 2021 juga mencatat pelaku kekerasan emosional baik pada anak laki-laki dan anak perempuan paling dominan dilakukan oleh sosok ayah. Secara spesifik ditemukan sebanyak 35,8 persen pelaku kekerasan emosional terhadap anak laki-laki dan 22,2 persen pelaku kekerasan emosional terhadap anak perempuan kekerasan emosional dalam ranah rumah tangga adalah ayah.
Kenali Tanda Kekerasan Emosional dan Cara Keluar dari Kekerasan
Hilit Kletter, psikolog anak dari Stanford Medicine Children’s Health di Child and Adolescent Mental Health Service mengatakan kekerasan emosional boleh jadi tak punya dampak kasatmata seperti luka fisik, tetapi kekerasan emosional bisa sama merusaknya dengan jenis kekerasan lain. Kekerasan emosional bisa meningkatkan risiko gangguan stres pascatrauma, depresi, kecemasan, keinginan untuk bunuh diri, dan kerentanan terhadap penggunaan narkoba atau zat adiktif lain dalam jangka panjang.
“Hal ini juga dapat menyebabkan perasaan tidak berharga, kesulitan mengatur emosi, kesulitan berkonsentrasi, masalah tidur, dan kesulitan untuk mempercayai dan menjalin hubungan,” kata Kletter dikutip langsung dari kanal website Stanford Medicine Children’s Health.
Baca juga: ‘Unconditional Love’ atau Mencintai Tanpa Syarat, Sejauh Mana Batasnya?
Dengan dampak yang sama berbahayanya dengan jenis kekerasan lain, maka penting bagi kita untuk bisa mendeteksi tanda-tanda kekerasan sejak dini. Pendeteksian ini penting untuk menghindari tereskalasinya kekerasan emosional ke bentuk kekerasan lain dan memudahkan kita untuk meminta pertolongan.
Mengutip dari artikel Medical News Today What are the effects of emotional abuse? dan tulisan Chung, untuk bisa setidaknya mengenali apakah kita pernah atau sedang mengalami kekerasan emosional ada beberapa tanda-tanda penting yang perlu kita cermati. Tanda-tanda ini antara lain adalah:
1. Menuduh
Pelaku sering menggunakan tuduhan untuk memanipulasi korban agar berperilaku dengan cara tertentu. Dengan menuduh korban melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak mereka lakukan, pelaku akan menjerat korban kepada perasaan bersalah. Perasaan bersalah ini yang nantinya akan membuat korban rela melakukan hal-hal yang diminta oleh pelaku.
2. Mengancam
Kekerasan emosional seringkali melibatkan ancaman tersirat atau terang-terangan. Ancaman ini dapat menciptakan lingkungan yang penuh ketakutan dan digunakan untuk memanipulasi korban agar berperilaku dengan cara tertentu.
3. Mempermalukan
Pelaku kekerasan sering kali mempermalukan korban di depan umum dan secara pribadi. Hal ini dapat mencakup membeberkan kekurangan korban, menghina korban di depan umum, atau bahkan menyebarkan kebohongan.
4. Mengejek dan Menggoda
Perlu dicatat melontarkan nama panggilan dengan nada ejekan atau memberikan komentar tidak menyenangkan pada seseorang dengan sengaja merupakan suatu tindakan kekerasan emosional yang paling umum terjadi. Ketika perilaku ini dikonfrontasi, biasanya pelaku bersikeras bahwa mereka hanya menyindir atau hanya bercanda. Mereka bahkan mungkin meremehkan kita karena dinilai terlalu sensitif dan mudah tersinggung.
5. Mengkritik
Meskipun beberapa bentuk kritik dapat menjadi bagian dari hubungan yang sehat, pelaku kekerasan emosional menggunakannya untuk menyakiti dan merendahkan korbannya. Korban mungkin menjadi sasaran kritik terus-menerus dan ini akan membuat korban merasa tidak berharga.
6. Merendahkan
Pelaku kekerasan emosional mungkin mencoba membuat korbannya merasa seolah-olah mereka tidak penting atau tidak berarti. Biasanya mereka meremehkan pencapaian atau mengambil pujian atas keberhasilan. Mereka juga dapat menghina hobi atau minat korban dengan menggunakan bahasa yang merendahkan.
7. Mengontrol/memanipulasi
Dalam mengontrol atau memanipulasi korban, pelaku bisa melakukannya dalam berbagai cara, tiga di antaranya dapat mencakup memata-matai digital (digital spying), pemantauan terus-menerus, dan mengambil alih keputusan penting dapat memberi pelaku kekerasan lebih banyak kekuasaan dalam suatu hubungan. Taktik ini mengisolasi korban, sehingga membuat korban lebih sulit untuk keluar dari hubungan yang penuh kekerasan.
Jika sekiranya kita sudah pernah atau sedang mengalami tanda-tanda kekerasan emosional yang sudah disebutkan di atas, penting untuk diketahui bahwa kita perlu mengambil tindakan segera untuk menjauh dari situasi kekerasan ini. Alodokter dalam hal ini merekomendasikan ada empat hal yang sebaiknya kita lakukan.
Pertama, membatasi atau memutus hubungan dengan pelaku. Tumbuhkan keberanian untuk membela diri dengan cara meminta pelaku agar tidak lagi berkata kasar, membentak, atau menghina. Kedua, cari lingkup hubungan yang lebih positif dan bisa saling menghargai satu sama lain. Coba hubungi teman lama atau bergabung dalam lingkar pertemanan baru yang sekiranya bisa membantu keluar dari hubungan yang tidak sehat.
Ketiga, mulai fokus pada kebahagiaan dirimu sendiri. Ini bisa dilakukan dengan menyempatkan me time, kembali menekuni hobi, dan menerapkan pola hidup sehat. Dengan fokus pada dirimu sendiri, kamu akan selalu diingatkan bahwa kamu berharga. Hal terakhir dan yang tidak kalah penting adalah cari bantuan profesional. Ingatlah bahwa meminta bantuan adalah bentuk kasih sayang terhadap diri sendiri.