Lifestyle Madge PCR

Aku Jawa Kamu Sunda, Cinta Kita Patahkan Stigma

Ada mitos yang menyebutkan, pernikahan beda suku antara Jawa dan Sunda tak bisa langgeng. Kami berdua mendobrak itu.

Avatar
  • May 16, 2023
  • 4 min read
  • 1886 Views
Aku Jawa Kamu Sunda, Cinta Kita Patahkan Stigma

Sudah jadi rahasia umum kalau kita cenderung senang memberi stereotip terhadap suku tertentu. Misalnya orang Minang yang pelit, atau laki-laki Sunda malas, enggan bekerja, dan hobi rebahan. Stereotip tersebut bahkan terbawa dalam mencari pasangan. Salah satunya Hanna, yang mempertimbangkan latar belakang suku suaminya, “Adri”.

Berasal dari keluarga Jawa totok membuat Hanna ragu menjalin hubungan serius dengan Adri yang orang Sunda. Awalnya, perempuan 30 tahun itu menganggap laki-laki Sunda tidak setia dalam hubungan romantis dan enggan bekerja keras. Pandangan tersebut membuat Hanna sempat ogah menikahi laki-laki Sunda.

 

 

Pandangan ini muncul karena Hanna tumbuh di lingkungan yang memang memelihara mitos soal perkawinan Jawa-Sunda. Ia juga melihat perilaku orang-orang di sekitarnya yang cenderung anti terhadap cowok Sunda.

Lalu, apa yang melatarbelakangi internalisasi stereotip hingga memengaruhi preferensi dalam mencari pasangan?

Baca Juga: 5 Alasan Kita Harus Berhenti Merecoki Pasangan Beda Agama

Sejarah Membentuk Stereotip dalam Mencari Pasangan

Selain stereotip, mitos yang meluas di masyarakat juga memengaruhi penilaian seseorang dalam mencari pasangan. Hanna sendiri sempat menginternalisasi mitos relasi perempuan Jawa Tengah dan laki-laki Sunda tidak bisa langgeng. Karena itu, ia khawatir rumah tangganya tidak bertahan jika berpasangan dengan orang Sunda.

Mitos tersebut berkaitan dengan peristiwa sejarah. Dalam tulisannya di Tinjauan Historis Peristiwa Perang Bubat Tahun 1357 M dalam Manuskrip Serat Pararaton (2021), Firmaningsih menjelaskan Patih Gajah Mada dianggap penyebab gagalnya pernikahan Prabu Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka Citraresmi, pada 1357 Masehi. 

Tepatnya karena perbedaan pendapat, antara Patih Gajah Mada dengan Prabu Maharaja terkait prosesi pernikahan itu. Di samping itu, Perang Bubat juga upaya Majapahit untuk menundukkan Sunda, termasuk dalam Sumpah Palapa yang menjadi manifestasi politik menyatukan Nusantara.

Perang tersebut berlangsung tragis dan menyebabkan banyak korban jiwa. Akibatnya, Niskala Wastu Kencana—anak dari Raja Sunda Galuh, melarang rakyatnya menjalin relasi apa pun dengan rakyat Majapahit. Peristiwa inilah yang melatarbelakangi mitos pernikahan antara orang Jawa dan Sunda.

Kemudian, Perang Bubat juga membentuk stereotip bahwa laki-laki Jawa bermuka dua dan pemarah—lantaran merencanakan upacara pernikahan yang berujung perang. Sementara perempuan Sunda lekat dengan stereotip materialistis, seperti yang dikenal saat ini.

Mitos tersebut akhirnya membentuk stereotip gender pada perempuan dan laki-laki. Sayangnya, stereotip semakin berkembang ketika masyarakat menerima dan melanggengkannya—sebagaimana di Indonesia. Misalnya dengan memercayainya, atau dijadikan lelucon.

Masyarakat yang memercayai stereotip berarti punya bias terhadap suku tertentu. Dalam tulisannya di Healthline, penulis Rebecca Stanborough menyebutkan, bias memengaruhi interpretasi dan pengambilan keputusan.

Pada konteks pencarian pasangan, itulah yang menyebabkan seseorang enggan berpasangan dengan sosok dari suatu suku. Bias menjadi tolok ukur dalam memilih pasangan, meskipun kebenarannya belum dapat dipastikan. Ini lantaran beragamnya pola asuh, yang membentuk karakter dan kepribadian setiap individu.

Namun, bagaimana stereotip terhadap suku dapat dipatahkan?

Baca Juga: 4 Film Realistis tentang Cinta Beda Agama dan Budaya

Upaya Hapus Stereotip

Bukan perihal mudah untuk menghapuskan stereotip terhadap suku, yang telah membentuk bias dalam diri individu. Namun, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghapuskan stereotip, atau setidaknya menguranginya di lingkungan sekitar.

Pertama, mengedukasi diri terkait stereotip suku dan memahami perspektif budaya sendiri. Cara ini akan membantumu memahami, bagaimana identitas sosial setiap orang terbentuk.

Kedua, bertemu dengan orang baru dari latar belakang suku yang selama ini menerima stereotip. Lewat interaksi langsung dan bersikap terbuka, kamu dapat melihat mereka sebagai individu seutuhnya, tanpa berbasis prasangka. Menurut peneliti Thomas F. Pettigrew dan Linda R. Tropp dalam A meta-analytic test of intergroup contact theory (2006), interaksi tersebut dapat mengurangi stereotip secara signifikan.

Ketiga, mengurangi perasaan superior dibandingkan suku lain. Sebab, ketika memandang orang lain lebih rendah, akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam relasi. Terlebih ketika berada di suatu wilayah, di mana kelompok sosialmu lebih dominan.

Baca Juga: Indonesia Memang Negara Kaya Kultur, Kecuali dalam Urusan Kawin Campur

Sementara menurut Hanna, penting untuk mengenal pasangan dengan menjalin komunikasi yang intens dan menemukan kecocokan. Berdasarkan pengalaman setelah lebih mengenal Adri, Hanna melihat kepribadian suaminya berlawanan dengan stereotip yang dikenal masyarakat. Adri sosok bertanggung jawab, lemah lembut, penyayang keluarga, dan memperlakukan Hanna dengan baik.

Perlakuan tersebut perlahan mematahkan keraguan Hanna untuk menjalin relasi dengan Adri.

“Ketaatannya pada Allah, caranya menghargai dan menyayangi saya sebagai pasangan, meyakinkan saya enggak semua laki-laki Sunda kayak stereotip yang ada,” tutur Hanna. “Kami juga bisa berkomunikasi dengan baik, itu udah cukup.”



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *