Opini Safe Space

Video Artis dan Kekerasan Seksual ‘atas Nama Cinta’

Sudah jadi korban, masih disalahkan. Beginilah nasib artis-artis yang videonya disebarkan di jagat maya.

Avatar
  • May 30, 2023
  • 5 min read
  • 1689 Views
Video Artis dan Kekerasan Seksual ‘atas Nama Cinta’

Kasus tersebarnya video intim artis kerap menjadi sorotan di Indonesia. Namun yang lebih banyak disorot adalah pihak perempuan, sedangkan lelaki tidak. Ini terjadi pula dalam kasus terbaru yang melibatkan artis RK. Videonya konon disebarkan oleh mantan kekasih hingga viral di berbagai platform media sosial.

Ironisnya, wajah perempuan dalam video itu tampak terlihat jelas, sedangkan wajah lelaki tak ditampilkan. Ini menjadi penanda bahwa tubuh perempuan memiliki kerentanan. Apalagi jika betul kasus ini bermula dari relasi pacaran yang mengatasnamakan ‘cinta, berarti laki-laki memiliki peran gender yang dominan dalam mengambil keputusan pada tubuh pasangannya. Lelaki dalam hal ini bebas merekam dan menyebarkan video itu. Lalu masih dihujani pujian sebagai jagoan karena “menaklukkan” perempuan.

 

 

Sebaliknya, perempuan dianggap sebagai pendosa karena menampilkan tubuhnya dalam video. Mereka adalah pihak yang cenderung dituntut untuk menjaga kehormatan, tetap “suci”, harus tertutup, dan tidak boleh salah. Jika melakukan kesalahan bagaimana? Tamat sudah riwayatnya. Ia akan dicaci, maki, diberikan sanksi sosial, termasuk di-cancel. Padahal ia adalah korban.

Tak cuma menjadi korban kekerasan karena video disebarkan. Sebenarnya, perempuan juga mengalami kekerasan seksual berlapis lain. Misalnya dalam beberapa kasus, perempuan ter(di)paksa melakukan hubungan seksual dengan dalih pembuktian cinta. Tak banyak yang akhirnya menyadari bahwa apa pun bentuknya, memaksa perempuan dalam relasi romantis untuk berhubungan seks adalah contoh kekerasan.

Llyod pada 1991 dalam jurnalnya yang berjudul “The Darkside of Courtship: Violence and Sexual Exploitation” bilang, ada dua penyebab terjadinya kekerasan seksual dalam relasi pacaran. Pertama, adanya perbedaan internalisasi antara laki-laki dan perempuan tentang makna pacaran. Kedua, faktor romantisme dalam relasi pacaran yang menyebabkan seseorang dapat bertahan, meski dalam hubungannya relatif toksik.

Baca juga: Bagaimana Mencari Bantuan dalam Kasus ‘Revenge Porn’

Perbedaan internalisasi ini sendiri terkait dengan bagaimana laki-laki merasa memiliki tubuh pasangan. “You’re mine” katanya. Karena merasa perempuan adalah propertinya, mereka merasa berhak melakukan apa saja, termasuk memaksa berhubungan seksual, merekam, menyebarkannya.

Dalam hal ini, perempuan mestinya berhak memiliki integritas dan otonomi terhadap tubuh sendiri. Mereka berhak menolak hubungan seksual jika merasa dipaksa, tidak merekam video saat melakukan hubungan seksual, atau menolak pasangan memotret tubuhnya.

Paksaan tersebut harus ditolak sebab itu bukan tindak romantisme atau bentuk pembuktian cinta. Namun, ini menjadi red flag yang harus dijauhi bahkan bisa dilaporkan. Masalahnya kadang tak sesederhana itu. Kita tak bisa serta merta meminta perempuan yang menjaga diri atau melakukan penolakan. Lalu membiarkan lelaki bebas melakukan semua kekerasan seksual dalam relasi romantis. Lelaki harus diajarkan untuk menghargai otoritas tubuh perempuan.

Baca juga: Cinta dan Kekerasan, Pentingnya Mengenal Batasan di Antara Keduanya

Sadari Kekerasan Ini

Pada 2013, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Jakarta membuat tabel yang berisi kasus kekerasan dalam pacaran dan membaginya menjadi lima jenis. Di antaranya, kekerasan seksual, pemanfaatan (eksploitasi) ekonomi, ingkar janji, fisik, psikis. Bisa direnungi bahwa lima jenis yang tercantum itu adalah kekerasan dalam pacaran, yang enggak bisa ditoleransi apalagi dinormalisasikan. 

Senada, dalam jurnal Nike Nadia pada 2018 dengan judul “In the Name of Love: Power Relation and Revictimization on Sexual Violence Case in Courtship (Case Study of Court Decision)” menemukan enam penyebab reviktimisasi korban pada kasus kekerasan seksual: 1)Repetisi stereotip dan stigma yang ditunjukkan pada korban, 2)Upaya perdamaian dalam kasus kekerasan pada relasi personal (pacaran), 3)Ketiadaan payung hukum dan pola pengulangan pelaku, 4)Dalih suka sama suka sebagai pembelaan pelaku, 5)Bujuk rayu, kerentanan kekerasan berlapis, dan berulang lainnya, 6)Mengecilkan tindakan pelaku kekerasan seksual lewat framing “Playboy”. 

Dalam kasus artis RK menunjukkan adanya reviktimisasi itu. Di luar sana, masih banyak RK lain yang juga menduduki posisi yang rentan dalam relasi. Mereka rawan menjadi korban dari penyebaran video serta rayuan atas nama cinta. Dalam konteks ini, dominasi dan kontrol dijadikan sebagai jalan keluar bagi pelaku untuk tetap leluasa melakukan eksploitasi tubuh.

Eksploitasi seperti apa? Melayani secara seksual, memberikan izin tubuhnya difoto, divideo dengan narasi “masa sih foto atau video pacar sendiri nggak boleh disimpan?”. Akibatnya, foto dan video tersebut dapat menjadi senjata untuk tetap melayani nafsu laki-laki, atau alat agar pasangannya tetap bertahan dalam relasi toksik dan berkekerasan. 

Sementara, korban yang adalah perempuan akan menyalahkan diri sendiri karena gagal menjadi sosok perempuan yang mendapatkan stereotip dan stigma suci. Perempuan dibebani dengan konstruksi feminitas yang membuatnya menjadi semakin rentan, tunduk, dan lemah atas otonomi tubuhnya. Ditambah lagi ada stigma dari masyarakat tentang perempuan nakal, berpakaian terbuka, tidak perawan, lonte, murahan, gampangan yang akan terus diberikan kepada korban. 

Baca juga: Bukan ‘Revenge Porn’ Tapi Kekerasan Seksual Berbasis Gambar

Sudah jadi korban, dibebankan pada stereotip dan stigma. Sungguh terlalu.

Bagaimana dengan  nasib pelaku? Dalam kasus ini pelaku adalah laki-laki memiliki kuasa dan erat dengan kontrol serta mendapatkan penyelamatan dari berbagai pihak mengenai narasi suka sama suka. Narasi lainnya adalah victim blaming yang mengatakan perempuan tidak bisa jaga diri. Alih-alih introspeksi diri, karena semuanya dinormalisasi. Akibatnya pelaku akan terus melakukan hal yang sama atau dikenal dengan cycle of abuse. Menjadikan narasi pembuktian cinta menjadi senjata demi tujuan memuaskan birahinya. 

Persetujuan dan diskusi dalam melakukan relasi hubungan khususnya pacaran sangatlah penting. Memahami perbedaan tindakan pelecehan, pemaksaan, ancaman dengan tindakan yang konsensual. Memahami makna cinta secara sehat. Sehingga, ada keberpihakan bagi korban kekerasan seksual. Tidak menormalisasi “suka sama suka”. Karena kejahatan yang paling kejam adalah tidak menyadarinya bahwa itu adalah kejahatan. 

Aiza Nabilla Arifputri adalah Dosen Ilmu Komunikasi. Sehari-hari bisa dijumpai di Instagram @aizanabilla.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aiza Nabilla Arifputri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *