Issues

Ada Internalisasi Rasisme di Balik Komentar Orang Indonesia pada ‘The Little Mermaid’

Lagi-lagi netizen protes melihat penampilan Halle Bailey di ‘The Little Mermaid’. Banyak yang masih belum sadar, kalau mereka punya internalisasi rasisme.

Avatar
  • June 8, 2023
  • 6 min read
  • 1435 Views
Ada Internalisasi Rasisme di Balik Komentar Orang Indonesia pada ‘The Little Mermaid’

Lagi-lagi komentar tentang Ariel (Halle Bailey) muncul, ketika The Little Mermaid (2023) tayang di bioskop. Bagi segelintir orang—termasuk orang Indonesia—sosok Bailey yang adalah perempuan kulit hitam, enggak memenuhi ekspektasi masa kecil mereka: Ariel berkulit putih, berambut merah, dan bermata biru.

Seorang reviewer di TikTok bahkan menarik sejarah panjang pada pertengahan 1800-an, menyesuaikan latar waktu The Little Mermaid. Ia menggambarkan kondisinya saat itu: terjadi perbudakan, perdagangan manusia, dan diskriminasi pada orang kulit hitam. Menurutnya enggak masuk akal, kalau sosok Ariel dalam live action adalah perempuan kulit hitam—karena enggak sesuai realitas.

 

 

Enggak sedikit juga netizen berargumen, seharusnya live action mengadaptasi animasinya sehingga sesuai dengan imajinasi penonton. Yang enggak disadari, argumen tersebut termasuk perilaku rasis. Mereka menganggap orang kulit putih lebih baik dibandingkan kulit hitam, hingga mempermasalahkan sosok Bailey yang memerankan Ariel.

Masalahnya, orang Indonesia mengabaikan rasisme, karena melihat isu ini hanya terjadi antara orang kulit putih dan kulit hitam—seperti di negara-negara yang didominasi ras Kaukasia. Sementara jika melihat bangsanya sendiri, muncul anggapan semua warna kulit sama. Karena itu, tanpa sadar rasisme telah dinormalisasi.

Padahal, orang Indonesia enggak luput berperilaku rasis terhadap suku bangsa tertentu. Kenyataannya, semakin gelap warna kulitnya, seseorang lebih rentan mengalami diskriminasi.

Baca Juga: Ulasan ‘The Little Mermaid’ yang Perlu Dibaca Reviewer Rasis

Rasisme Peninggalan Kolonialisme

Pada 2019, anggota keamanan dan organisasi masyarakat menyerang asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Waktu itu, muncul tuduhan perusakan bendera sebelum perayaan kemerdekaan, dan tuduhan mahasiswa enggan merayakan hari kemerdekaan Indonesia. Di saat yang sama, mahasiswa menerima hinaan dari anggota keamanan.

Kemudian pada 2021, Ketua Umum Relawan Pro Jokowi-Amin (Projamin), Ambroncius Nababan, mengungkapkan ujaran kebencian berbasis ras pada Natalius Pigai. Menanggapi pernyataan Pigai yang meragukan kemanjuran vaksin Sinovac, Ambroncius menyandingkan Pigai dengan seekor gorila lewat unggahannya di Facebook.

Sejumlah peristiwa tersebut merupakan bentuk rasisme yang dilakukan oleh bangsa ini. Masyarakat Indonesia sendiri “mengadopsi” rasisme dari kolonialisme bangsa-bangsa kulit putih selama ratusan tahun.

Selama penjajahan, Belanda menetapkan dan melegalkan penggolongan kelas. Mereka membagi masyarakat Indonesia menjadi tiga kelompok: tingkat tertinggi diduduki orang Eropa, tingkat kedua keturunan Arab dan Tionghoa, dan tingkat terendah orang asli Indonesia.

Penggolongan kelas itu membentuk pemahaman, kedudukan orang kulit putih lebih superior dibandingkan ras lainnya. Hal ini didukung oleh perlakuan penjajah yang bertindak eksploitatif dan diskriminatif. Contohnya memanggil orang Indonesia dengan sebutan “inlander” dan “bangsa kuli”. Atau tidak memperbolehkan orang Indonesia menempuh pendidikan—kecuali dari latar belakang bangsawan.

Penjajahan itu membuat rasisme di Indonesia bersifat struktural. Bangsa kulit putih tidak memperlakukan orang Indonesia layaknya manusia, dan berlanjut setelah Indonesia merdeka.

Salah satunya didukung oleh pusat pemerintahan yang terletak di Jakarta, dan didominasi orang Jawa. Realitas ini memosisikan orang Jawa pada strata tertinggi sehingga memengaruhi perlakuan terhadap suku bangsa lain. Termasuk mengelompokkan masyarakat berdasarkan warna kulitnya dan meliyankan mereka.

Namun, perbuatan itu tidak pernah diakui sebagai rasisme dan masih dinormalisasi. Orang Papua pun direpresi lewat penangkapan dan tuduhan makar, saat mereka melakukan demonstrasi atas tindakan diskriminatif yang diterima.

Rasisme yang lahir dari masa penjajahan kemudian didukung oleh representasi orang Papua di media dan budaya populer. Dalam tulisannya di Remotivi, Radius Setyawan menggarisbawahi potret orang Papua sering kali ditampilkan sebagai sosok yang lucu, lugu, dan menghibur. Seperti karakter Minus (Minus Karoba) dalam sitkom Keluarga Minus (2011-2012).

Sayangnya, kelucuan itu dilatarbelakangi sikap primitif, dan berkaitan dengan keterbatasan ekonomi maupun pengetahuan orang Papua. Citra tersebut mempertebal stereotip terhadap mereka, sekaligus mengeratkan rasisme.

Kemudian, sejumlah film yang mengangkat kisah masyarakat Indonesia Timur juga masih Jawasentris. Tak hanya alur cerita, tetapi aktor yang memerankan. Contohnya Marlina dalam Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017), diperankan Marsha Timothy yang parasnya mencerminkan kecantikan eurosentris. Begitu pula dengan Daniella Tumiwa yang memerankan Bete Kaebauk, dalam Cinta Bete (2021).

Tak jarang, masyarakat lokal yang terlibat di dalamnya hanya menjadi representasi atau tokenisme. Sebagian aktor bahkan merias kulit wajah untuk memerankan masyarakat lokal. Seperti Daniella, dan Pevita Pearce dalam Rumah Merah Putih (2019).

Hal ini serupa dengan blackface di Amerika Serikat (AS), ketika aktor kulit putih merias wajah mereka untuk memerankan orang kulit hitam. Praktik ini memiliki latar belakang sejarah politik di AS, yang memisahkan dan menindas orang kulit hitam.

Karenanya, begitu melihat orang kulit hitam memerankan Ariel dalam live action The Little Mermaid, superioritas orang Indonesia muncul. Alih-alih diselamatkan dan dirawat para staf di kastil, mereka memosisikan Ariel seolah layak menerima penindasan, misalnya diperkosa dan diperdagangkan.

Baca Juga: Putri Duyung Disney Berkulit Hitam, Kenapa Tidak?

Meninggalkan Rasisme yang Dinormalisasi

Perilaku orang Indonesia yang menormalisasi dan tidak mengakui rasisme, adalah contoh rasisme internal. Melalui The Psychology of Racism (2011), penulis Robin Nicole Johnson menjelaskan, tipe rasisme ini terinternalisasi secara hierarki baik sadar maupun tidak. Dalam hierarki tersebut, kedudukan orang kulit putih berada di atas orang kulit berwarna.

Umumnya, mereka yang menginternalisasi rasisme adalah orang-orang yang mengalami penindasan ras—seperti orang Indonesia di masa penjajahan. Akibatnya, timbul kepercayaan pada stereotip ras yang negatif, mengadaptasi standar budaya orang kulit putih, dan menyangkal terjadinya rasisme.

Orang Indonesia melakukan penyangkalan dengan tidak membicarakan penindasan ras yang terjadi. Bukannya mengakui, pemerintah maupun pemberitaan media menyebutnya tindakan diskriminatif atau memarginalkan suatu golongan, tanpa menggunakan istilah rasisme.

Misalnya orang Papua Barat yang menerima perlakuan berbeda, dan masih sulit mengakses pelayanan kesehatan ataupun pendidikan. Kondisi ini tidak dilihat sebagai akibat dari opresi. Yang kemudian memperkuat rasisme internal di masyarakat, sehingga sebagian orang tidak menyadari perilakunya membahayakan.

Dari segi peraturan, sebenarnya Indonesia memiliki Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. UU tersebut yang menjerat Ambroncius terkait ujaran rasismenya terhadap Pigai.

Di samping itu, pada 1999, Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Konvensi tersebut merupakan salah satu perjanjian HAM yang diadopsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Adapun isinya menjelaskan, diskriminasi rasial terjadi ketika seseorang atau kelompok diperlakukan berbeda karena ras, warna kulit, keturunan, serta asal kebangsaan atau etnis. Perlakuan itu melanggar HAM dan kebebasan fundamental seseorang.

Baca Juga: Gara-gara Kolonialisme dan Rasisme, Ini Akar dari Fatphobia

Namun, berdasarkan pengamatan Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) pada 2015, minim kasus rasisme yang diproses lewat jalur hukum. Amatan tersebut berkaca dari ujaran provokatif Arif Kusnandar, terhadap keturunan Tionghoa yang tidak ditindaklanjuti. ICJR menilai, aparat penegak hukum lemah dalam menangani kasus rasisme, membuat peristiwa serupa bisa kembali terjadi.

Terlepas dari hukum yang tidak bertindak atas rasisme, penting bagi individu menyadari adanya rasisme internal, yang merupakan bagian dari peninggalan kolonialisme. Diikuti sikap kritis terhadap kekuatan sistemik, yang menindas masyarakat berdasarkan dominasi ras dan warna kulitnya.

Menurut akademisi Amy Heberle, Luke Rapa, dan Flora Farago dalam risetnya pada 2020, kesadaran itu akan menggerakan individu untuk mendorong pemberdayaan. Ditambah keinginan untuk melawan penindasan secara kolektif, sehingga menggerakan kelompok yang selama ini termarginalkan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *