Issues Opini Relationship

‘Polycule’ dalam Relasi Poliamori, Barisan Pacar yang Membentuk ‘Keluarga’

Polycule bisa terjadi saat sekelompok orang poliamori, bergabung untuk menciptakan semacam keluarga.

Avatar
  • June 14, 2023
  • 4 min read
  • 1310 Views
‘Polycule’ dalam Relasi Poliamori, Barisan Pacar yang Membentuk ‘Keluarga’

Kehidupan pribadi pendiri mata uang kripto FTX Sam Bankman-Fried, beserta lingkaran terdekatnya jadi sorotan. Ini terjadi ketika mata uang digital itu bangkrut beberapa waktu lalu.

Ternyata Bankman-Fried, kemudian pacarnya yang putus-nyambung bernama Caroline Ellison, yang menjabat sebagai CEO anak perusahaan FTX, Alameda, beserta beberapa orang lain di lingkar perusahaan tersebut sempat berkecimpung dalam hubungan poliamori. Poliamori adalah salah satu bentuk hubungan nonmonogami yang bersifat konsensual. Artinya, dalam relasi semacam ini, para pasangan mencari berbagai orang berbeda untuk menjalin hubungan romantis atau seksual.

 

 

Surat kabar Inggris, The Guardian mencatat bahwa banyak orang di lingkar dalam kekaisaran kripto tersebut, yang berbagi apartemen mewah di Bahama, diperkirakan berada dalam “polycule”, yang berarti suatu jaringan relasi romantis yang saling berhubungan. Menurut media Coindesk, “Kesepuluh orang itu sedang, atau pernah, berpasangan dalam hubungan romantis dengan satu sama lain.”

Dalam sebuah unggahan pada 2020 di blog Tumblr miliknya, Ellison merefleksikan pengalamannya menjelajahi poliamori:

“Ketika saya…mulai terjun pertama kali ke dalam poliamori, saya menganggapnya sebagai terobosan radikal dari masa lalu saya yang cenderung tradisional. Namun, sejujurnya, saya memutuskan bahwa satu-satunya gaya poli yang dapat saya terima itu wujudnya semacam ‘harem kekaisaran Cina’…bukan omong kosong selama ini yang hubungannya biasanya bersifat nonhierarkis. Setiap orang harusnya memiliki peringkat terkait pasangan mereka, orang-orang harus tahu di mana mereka berada dalam peringkat tersebut, dan harus ada perebutan kekuasaan secara ganas untuk menaiki peringkat tersebut.”

Sebagai seorang peneliti yang mempelajari media sosial, kencan daring, dan poliamori, saya khawatir ungkapan Ellison – dan beragam laporan berita yang meliputnya – dapat menimbulkan kesalahpahaman tentang hubungan poliamori dan polycule serta semakin melanggengkan stigma terkait gaya hubungan nontradisional.

Baca juga: Apa itu Poliamori: Saat Kamu Mencintai Lebih dari Satu

Serba-serbi Hubungan Polycule

Poliamori – sering disingkat menjadi “poli” – berfokus pada hubungan dan didasarkan pada persetujuan (bersifat konsensual). Semua orang yang terlibat mengetahui pengaturan hubungan mereka seperti apa. Relasi ini pun tidak melulu tentang seks.

Jaringan-jaringan hubungan ini dikenal sebagai polycule atau “konstelasi”, dan jaringannya bisa kompleks dan saling terhubung. Kata polycule merupakan perpaduan dari “poliamori” dan “molekul”, yang mencerminkan konfigurasi hubungannya yang sering kali menyerupai struktur kimiawi molekul.

Dalam polycule yang hierarkis, yang dirujuk Ellison dalam unggahan blognya, ada hubungan pusat yang biasanya disebut sebagai hubungan “primer”. Orang lain di luar hubungan pusat sering disebut sebagai pasangan “sekunder” atau “tersier”.

Ada keberagaman pandangan tentang bagaimana status seseorang dapat beroperasi dalam struktur yang hierarkis. Misalnya, panduan dari situs informasi dan pendidikan seksualitas, Scarleteen, mengatakan bahwa “Pasangan ‘sekunder’ tak serta merta berarti mereka kurang penting, tapi bisa jadi merupakan bagian yang lebih kecil dari kehidupan sehari-hari seseorang.

Menulis untuk situs web Polyamory Today, Rachael Hope menggambarkan hubungan poli hierarkis sebagai “Satu Primer Plus”. Artinya, “Pasangan tidak setara antara satu sama lain terkait kuasa dalam hubungan, serta dalam hal-hal seperti interkoneksi dan intensitas hubungan.”

Di sisi lain, hubungan yang nonhierarkis menolak sistem berjenjang. Dalam konfigurasi hubungan seperti ini, pasangan tidak diberi peringkat melalui istilah seperti primer atau sekunder. Hal ini juga berarti bahwa tidak ada satu orang pun yang memiliki prioritas atau hak istimewa yang lebih besar, atau hak veto atas pasangan lainnya.

Baca Juga: Apa itu Hubungan ‘Codependent’: Rawat Pasangan, Abai dengan Diri Sendiri

Hierarki Enggak Berarti Penundukan

Perdebatan tentang hierarki banyak terjadi di kalangan lingkaran poli dan sering kali memunculkan pendapat-pendapat yang keukeuh – seperti yang tercermin dalam blog milik Ellison.

Meskipun Ellison melihat gaya hierarkis lebih unggul, tidak ada bukti satu gaya poli lebih baik dari yang lain dalam hal kepuasan atau rasa aman dalam hubungan. Saya berpendapat, semua gaya dapat diterima selama semua orang yang terlibat menyetujui pengaturannya.

Gaya hierarkis dapat memperjelas ekspektasi mengenai peran dalam sebuah polycule. Namun, kalau pun Ellison sedang bercanda atau menyindir, saya pikir penting untuk dicatat “perebutan kekuasaan secara ganas untuk menaiki peringkat” yang dia serukan itu bertentangan dengan etos poliamori. Blog bernama Find Poly menyatakan, mengadvokasi tanpa berkompetisi adalah keterampilan penting dalam hubungan poli, baik itu hierarkis maupun nonhierarkis.

Lebih jauh lagi, bagi mereka yang tidak familier dengan poliamori, unggahan Ellison dapat disalahartikan untuk kemudian mencampuradukkan poliamori kontemporer dengan bentuk-bentuk nonmonogami yang tidak konsensual. Dengan mengangkat Harem Kekaisaran Cina sebagai model, Ellison mengungkit warisan masyarakat patriarkis, ketika perempuan berperan sebagai istri dan selir.

Baca Juga: 4 Cara Budaya Patriarki Melihat Kasus Perselingkuhan

Mengapa Polycule itu Relevan

Studi-studi terkini menunjukkan, hubungan nonmonogami yang konsensual semakin menjadi hal yang umum, terutama di kalangan warga Amerika yang lebih muda. Menurut survei YouGov (2020), 43 persen generasi milenial “cenderung mungkin mengatakan hubungan ideal mereka bersifat nonmonogami.”

Karena alasan ini, unggahan-unggahan Ellison lebih mencerminkan pergeseran terkait norma-norma hubungan, ketimbangan penyimpangan seksual.

Riki Thompson, Associate Professor of Digital Rhetoric and Writing Studies, University of Washington. Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara berkontribusi dalam penerjemahan artikel ini dari Bahasa Inggris.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Riki Thompson

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *