Lifestyle Opini

Seniman juga Manusia, Biarkan Ia Jujur dan Rapuh

Seberapa pentingkah identitas dan kejujuran seorang seniman dalam berkarya?

Avatar
  • June 17, 2023
  • 5 min read
  • 2276 Views
Seniman juga Manusia, Biarkan Ia Jujur dan Rapuh

Semua karya seni harusnya adalah hal yang personal. Paling tidak, itu yang saya rasakan dengan semua karya musik pribadi. Walaupun saya menggunakan teks, puisi, atau referensi karya seni lain, tiap not, bahkan jarak antara dua not di musik yang saya tulis itu adalah saya.

Ya, saya, tapi melalui medium pengalaman orang lain, baik penulis, seniman virtual, penari, bahkan koki yang telah menginspirasi. Inilah yang saya namakan kendaraan atau kacamata seniman. “Kendaraan” itu bisa dilengkapi dengan cinta, filosofi, humor, politik, atau kejadian sejarah yang sama sekali enggak relate dengan hidup saya.

 

 

Kendaraan, sekali lagi adalah sarana untuk mencapai tujuan: Mengenal lebih dalam diri sendiri. Proses mengenal diri ini tentu saja tak selalu mulus. Kadang saya merasa sangat kuat, di sisi lain rapuh luar biasa. Jangankan saya, seniman kaliber Vincent Van Gogh dan Emily Dickinson saja pernah tak baik-baik saja dalam proses pencarian identitasnya. Mereka punya masalah kesehatan mental, seperti lazimnya manusia lainnya.

Kondisi mereka yang sangat humanis ini membuat saya sadar, saya pun “tak baik-baik saja”, dan saya berusaha menunjukkan kerapuhan itu dalam tiap karya. Memang terkadang saat datang ke banyak pesta sambil melayani permintaan swafoto, saya bisa ikut tertawa sambil berpura-pura baik-baik saja. Namun, tidak dalam karya seni: Saya tidak pernah berbohong.

Baca juga: Seniman Muda Manfaatkan Teknologi Digital untuk Bertahan Selama Pandemi

Seni yang Lahir dari Kejujuran

Sutradara film Federico Fellini pernah berkata, “Semua seni adalah autobiografi. Mutiara adalah autobiografi si kerang”. Mutiara tercipta dari ketidaknyamanan dan rasa sakit. Seni sendiri adalah upaya seniman untuk meredakan rasa sakit, baik dari dalam maupun luar tubuh. Itulah mengapa sebagian besar seniman besar pada dasarnya rapuh secara emosional. Entah karena depresi, gangguan mental, atau masa kecil yang traumatik. Misal karena terlahir dari latar keluarga yang berantakan.

Seni berfungsi sebagai katarsis (dari Bahasa Yunani catharsis, yang berarti “pemurnian” atau “pembersihan”). Kata ini mulanya digunakan oleh Aristoteles dalam tulisannya Poetics. Ia bilang, pemurnian emosi menghasilkan pembaharuan, keseimbangan, dan pemulihan.

Kalau kamu mendikte seorang seniman, itu sama saja dengan menyuruhnya berbohong dan menjadi orang lain. Misalnya, kamu meminta musikus klasik atau jazz bikin musik yang “agak ringan” sesuai selera pribadi. Itu sama saja seperti minta orang untuk bicara apa yang cuma mau kamu dengar, alih-alih jujur. Request musik itu mungkin enak didengar, tapi bukan itu yang ingin ia sampaikan.

Lantas, seberapa pentingkah identitas dan kejujuran seniman?

Kebebasan berekspresi itu juga berarti kemerdekaan untuk memutuskan, kita tidak harus tergantung dari dunia Industri, yang kadang tak cukup menghidupi seniman tersebut. Itu sebabnya saya selalu menekankan dan membiasakan para seniman yang belajar dengan saya, sejak usia sangat muda, untuk memiliki kebebasan berkarya.

Ngomong-ngomong soal kebebasan berkarya, kompetisi musik klasik Ananda Sukarlan Award (ASA) 2023 baru saja berakhir. Penyanyi soprano Vetalia Pribadi telah keluar sebagai pemenang utama. Di instrumen piano, pemenangnya adalah Victor Clementius Ditra.

Baca juga: Nasib Seniman dan Atlet Saat Pandemi: Hilang Pendapatan, Ganggu Kesehatan Mental

Mereka menang bukan hanya dari segi kualitas artistik dan teknik, tapi dari kecocokan pemilihan repertoire-nya dengan kepribadian, kebutuhan berekspresi serta berkomunikasi, juga karakteristik yang khas. Para peserta ASA, bahkan para pianis yang baru saja “lulus” di usia balita, selalu saya bebaskan untuk memainkan karya apa saja.

Memang di usia tersebut biasanya guru yang memilihkan karya musik. Namun, paling tidak saya berharap, sang guru lebih mengenal muridnya dan paham karya apa yang lebih cocok untuk mereka. Walaupun dengan cara sederhana, seperti, “Ah anak ini sukanya musik yang gembira”, atau “Ah anak ini kecil-kecil, kok sudah melankolis ya, kalau sudah remaja seperti apa, nih.”

Jika guru mengenal muridnya dan membebaskan mereka, bukan tak mungkin musik klasik bisa lebih maju. Tak ada lagi anggapan usang bahwa murid musik klasik, cuma boleh kenal Bach, Beethoven, atau Mozart saja. Namun lebih luas dari itu.

Di ASA, saya memberikan kebebasan total pada mereka. Ini termasuk membebaskan karier mereka di masa datang. Kenyataannya, cara saya ini cukup efektif menelurkan banyak musisi klasik yang berkarakter kuat sejak 2008.

Bagaimana jika ongkos kebebasan itu berarti kita harus jadi budak industri? Kita tahu, dunia seni adalah industri yang baru akan “mengakui” saat karya mendapatkan penghargaan, termasuk disukai di internet. Saya tak mau ambil pusing soal itu.

Buat saya, mengorbankan kebebasan dan kejujuran, lalu mengabdikan karya seni kita kepada industri namanya melacurkan diri. Imbasnya, kita sebagai seniman akan kehilangan identitas. Karena itulah penting untuk kamu yang baru akan mulai berkarya untuk menimbang semua hal.

Misalnya, dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada diri sendiri. Apa yang membuatmu bersemangat? Apa yang ingin kamu ungkapkan? Apa ceritamu? Apa yang diperlukan untuk duduk dan mulai menulis, melukis, membuat musik, karya tari? Isu apa yang menarik buatmu?

Kamu cuma butuh keberanian untuk memulai dengan sebuah ide. Cobalah meditasi, diam, melamun, sisihkan waktu tenang tanpa merasa bersalah karena “bengong” alias tidak produktif. Bengong itu bisa produktif banget kok. Coba mulai biasakan diri untuk tak mengakses beraneka gawai selama 10 menit, dan lihat ide apa yang muncul. Setelah itu, tulis, lukis, main musik, menari, apapun bidangmu.

Jika kamu bekerja dengan mitra, temukan kolaborator yang cocok, yang tidak mendikte secara artistik dan bekerjalah bersama mereka.

Seniman itu bukan orang yang menunggu email atau telpon yang berdering memberitahunya untuk tampil, bikin tarian untuk satu event product launching, atau bikin jingle untuk iklan. Memang, kamu bisa membayar rekening listrik dan bensin anda dari situ, tapi bukan itu tujuan seni. Seniman lebih dari itu.

Seni adalah kekuatan kreatif. Seniman perlu melatih integritas artistiknya. Kalau perlu, kamu perlu bekerja di bidang lain, karier yang bisa membayar tagihan bulanan, sambil tetap mencari identitas artistik sendiri. Kenapa harus punya identitas? Karena industri membutuhkannya. Pertumbuhan kreatifmu menuntutnya. Kamu memimpikannya.

Tidak ada resep yang ampuh untuk sukses, tapi ada resep ampuh untuk menjadi gagal sebagai manusia, dan juga sebagai seniman: Berusaha menyenangkan semua orang.   

Ananda Sukarlan adalah komponis & pianis, lulusan Royal Conservatory of Music di Den Haag, Belanda dengan summa cum laude. Ia disebut harian Sydney Morning Herald sebagai “one of the world’s leading pianists (…) at the forefront of championing new piano music”. Ia adalah penerima gelar kesatriaan “Cavaliere Ordine della Stella d’Italia” dari Presiden Italia, Sergio Mattarella. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Ananda Sukarlan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *