Cerita Sedih Tim Kreatif ‘Content Creator’ yang Rentan Dieksploitasi
Konflik Tasyi dan eks karyawannya mengingatkan kita bahwa tim kreatif ‘content creator’ rentan dieksploitasi. Misalnya, karena jam kerja yang fleksibel.
Sebulan terakhir, netizen ramai membicarakan kreator konten Tasyi Athasyia dan suaminya, Syekh Zaki. Pembicaraan berawal sejak awal Juni lalu, ketika eks pekerjanya mengaku belum menerima gaji. Hal itu dinyatakan Putri—eks pekerja Tasyi.
“Kita mulai kerja dari 1 November. Seharusnya gaji dibayar 1 Desember kan, tapi kita baru terima gaji November pada 18 Desember,” ujarnya, dikutip dari MOP Channel. Selain itu, Putri menyatakan tidak ada kontrak kerja yang diberikan sejak awal masuk, meskipun telah diminta.
Nihilnya kontrak kerja pun dibenarkan oleh Syekh Zaki dalam konferensi pers. Melansir Suara.com, Syekh Zaki mengatakan, November lalu pihak Tasyi baru berganti manajemen. Karena itu, mereka masih mencari profit sehingga belum dapat memberikan kontrak pada pekerja.
Sebagai gantinya, selama ini kesepakatan pekerjaan—seperti aturan dan gaji, disampaikan secara lisan atau melalui chat di aplikasi pengirim pesan. Kondisi ini merentankan pekerja, lantaran memungkinkan haknya tidak terpenuhi.
Sebenarnya, kehadiran influencer, kreator konten, maupun seleb yang aktif konten, terbilang memperluas kesempatan kerja. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno pernah menyampaikan ini, saat menjadi mentor pelatihan kreator konten di Bandung, Januari lalu. Menurutnya, kreator konten dan fotografi bisa membuka banyak lowongan pekerjaan.
Kenyataannya, sejumlah kreator konten dan seleb merekrut tim kreatif, untuk membantu memproduksi konten. Sebut saja Ria Ricis, keluarga Anang Hermansyah, dan Raffi Ahmad. Timnya bekerja mengikuti keseharian public figure—termasuk acara keluarga dan liburan. Belum lagi perlu mengunggah konten hampir setiap hari.
Pertanyaannya, dengan berbagai aktivitas itu, apakah hak tim kreatif sebagai pekerja dapat terpenuhi?
Baca Juga: Promosi Produk Anti-Pelakor dari ‘Influencer’: Problematis dan Nihil Perspektif Gender
Mereka yang Bekerja di Balik Konten YouTube Figur Publik
Sejak 2020, “Ratna” (27) bekerja sebagai Associate Producer di channel YouTube keluarga seleb. Biasanya ia ikut brainstorming, mengecek naskah yang dibuat tim kreatif, dan syuting konten vlog harian. Bisa dibilang sistemnya kejar tayang, karena harus mengunggah video baru setiap pukul sembilan pagi.
Pekerjaan ini membuat Ratna terbiasa mengolah ide, berdasarkan situasi keluarga setiap harinya. Ia juga perlu mengikuti tren dan jenis konten yang disukai penggemar. Kata Ratna, penggemar enggak suka konten prank.
“Ada yang bilang (konten prank) terlalu dibuat-buat, enggak nunjukin sifat asli keluarga ini. Tim pernah coba bikin, tapi viewers-nya enggak naik,” tuturnya.
Dari beragam konten yang diunggah, Ratna pun memperhatikan jumlah penonton menurun ketika ada talent yang enggak tampil dalam video—dikarenakan konsepnya vlog keluarga. Padahal, mengumpulkan semua talent untuk syuting merupakan tantangan, lantaran harus menyesuaikan jam kerja masing-masing.
“Mereka kan punya kesibukan sendiri, enggak sepenuhnya di rumah. Anak-anaknya juga ikut les setelah pulang sekolah. Jadi susah nentuin jam untuk bikin konten,” cerita Ratna.
Perihal waktu bukan satu-satunya tantangan dalam pekerjaan ini. Agar syuting berjalan baik, Ratna dan tim perlu memastikan mood para talent dalam keadaan bagus. Caranya dengan mengajak anak-anak bermain, atau makan bersama orang tuanya sambil membicarakan materi konten.
Baca Juga: Apa itu Pekerja Kreatif dan Siapa Saja Mereka?
Banyaknya hal yang perlu disesuaikan membuat jam kerja Ratna sesekali lebih panjang. Ketika menandatangani kontrak sebagai karyawan tetap, jam kerja ditetapkan pukul sembilan pagi sampai enam sore. Namun, saat memproduksi konten tertentu, Ratna dan pekerja lainnya lembur.
Contohnya saat salah satu talent mengisi acara sampai tengah malam, atau memenangkan penghargaan di malam penganugerahan. Momen seperti ini ditayangkan sesuai jadwal, sehingga editor mulai bekerja pukul lima pagi.
Begitu pun di acara besar seperti natal dan perayaan ulang tahun. Biasanya talent mengundang keluarga besar di siang hari. Kemudian, konten akan dipublikasikan pada hari yang sama atau sesuai jadwal harian.
“Tapi kami ada shift yang dibuat sendiri, biar kerjanya gantian. Selesainya juga menyesuaikan jam kita masuk kantor,” kata Ratna. “Misalnya editor itu kerja dari jam lima pagi, nanti pulangnya lebih cepat dari yang lain. Saling sadar diri aja, kalau hari ini pulang duluan, besok datang lebih pagi.”
Meskipun aktivitasnya padat, kerap lembur, dan hari liburnya terpakai, Ratna menegaskan haknya sebagai pekerja tetap terpenuhi. Yakni mendapatkan uang lembur, dan boleh menukar libur atau memilih insentif, jika ada produksi konten di tanggal merah.
Selain itu, ia mendapat tunjangan berupa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, Tunjangan Hari Raya (THR), serta uang makan dan transportasi. Di luar gaji pokok, Ratna pun menerima bonus pendapatan, apabila jumlah viewers di Youtube mencapai angka tertentu—dihitung per video.
Hal serupa dialami “Nadia” (24). Dengan status karyawan yang kontraknya diperbarui tiap dua tahun, ia bekerja sebagai tim kreatif yang memproduksi konten Youtube. Selama ini, jadwal syutingnya menyesuaikan talent dan tidak begitu terikat dengan waktu.
Enggak jarang, Nadia masuk kerja lebih pagi dan pulang lebih sore, meskipun di kontrak jam kerjanya tertulis Senin-Jumat, pukul sembilan pagi hingga lima sore. Sebab, selain bekerja sebagai content creator, talent-nya juga pebisnis.
Bahkan, beberapa kali Nadia bekerja di hari libur—akhir tahun dan Lebaran. Ia menjelaskan, di momen ini pekerjaannya lebih padat lantaran konten yang diproduksi menyangkut kampanye brand.
“Kalau mesti masuk di hari libur, kita tetap dapet uang lembur, makan, dan vitamin,” ujar Nadia.
Meskipun jam kerjanya terbilang enggak pasti, Nadia dan Ratna mengaku menikmati fleksibilitas dalam bekerja. Masalahnya, hal ini merentankan mereka terhadap perilaku eksploitatif.
Fleksibilitas Membuat Pekerja Rentan Dieksploitasi
Dibandingkan pekerjaan sebelumnya—bidang penyiaran stasiun televisi swasta, Ratna lebih nyaman bekerja untuk channel Youtube seperti saat ini. Berbeda dengan program televisi, hasil kontennya enggak mesti sepenuhnya sesuai dengan yang direncanakan.
“Waktu di TV, konten yang dibuat harus terlaksana. Sekarang di Youtube lebih bebas, yang penting dapet tayangan. Terus enggak perlu plek-ketiplek sama skrip, cukup benang merah yang mau dijadiin konten,” jelas Ratna. Di samping itu, ia lebih nyaman karena bisa datang ke kantor siang hari, dan pulang lebih malam.
Yang enggak disadari, fleksibilitas yang tampak menyenangkan ini menimbulkan berbagai konsekuensi: tingginya beban kerja, tidak ada batasan kerja yang menghilangkan waktu istirahat, ketiadaan jaminan sosial, upah yang rendah, dan tidak ada kepastian kerja maupun karier. Hal ini termuat dalam riset Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), tentang gig workers di sektor media dan industri kreatif pada 2020-2021.
Nadia pun mengamini, tidak ada batasan untuk jam lemburnya sehingga bergantung pada diri sendiri. Sementara bagi Ratna, walaupun pekerjaan sudah selesai, ia dan rekan-rekannya masih ngobrol di kantor tentang konten di hari berikutnya.
“Agak sulit pulang cepet kalau kerja di dunia hiburan,” ungkapnya.
Kerentanan yang disebabkan fleksibilitas semakin diperkuat oleh Undang-undang (UU) Cipta Kerja, yang menghilangkan perlindungan pekerja dan mempermudah pemutusan hubungan kerja.
UU tersebut sekaligus memudahkan perpanjangan status kontrak, dan ketentuan jam lembur maksimal empat jam per hari. Padahal, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur pekerja kontrak dapat berlangsung selama dua tahun, dan boleh diperpanjang satu kali untuk satu tahun. Sedangkan durasi lembur maksimal tiga jam per hari.
Akibatnya, pekerja bisa dikontrak sepanjang hidup tanpa kejelasan peningkatan jenjang karier. Sebab, semakin lama masa kontrak kerja, semakin lama pekerja melakukan pekerjaan berdasarkan kesepakatan. Ini juga berdampak pada nilai tawar rendah untuk mendapatkan karier yang lebih baik.
Baca Juga: Di Internet, Perempuan ‘Influencer’ Tak Pernah Bisa Jadi Diri Sendiri
Untuk mencegah eksploitasi tenaga kerja akibat fleksibilitas, menurut Ketua SINDIKASI Nur Aini, diperlukan perubahan sistem ketenagakerjaan untuk menghindari jam kerja panjang dan perilaku eksploitatif. Yaitu kebijakan perlindungan pekerja, yang mengakui adanya fleksibilitas kerja berdampak pada kondisi kerja mereka. Kemudian penyesuaian indikator kerja layak, menekankan batasan waktu kerja, upah layak, dan jaminan sosial bagi pekerja.
“Itu juga harus disertakan kesadaran pemberi kerja, untuk memenuhi hak-hak pekerjanya,” terang Nur. “Hal terpenting adalah kesadaran orang-orang yang bekerja dengan content creator, mengenai haknya sebagai pekerja.”