Issues Politics & Society

13 Tahun Mary Jane Menanti Keadilan, “Sebelum Mati, Kami Cuma Mau Dia Pulang”

Magdalene mendapat kesempatan untuk wawancara eksklusif dengan keluarga terpidana mati asal Filipina Mary Jane Veloso. Mungkinkah keluarga bisa membawanya pulang?

Avatar
  • July 11, 2023
  • 10 min read
  • 1464 Views
13 Tahun Mary Jane Menanti Keadilan, “Sebelum Mati, Kami Cuma Mau Dia Pulang”

21 April 2015, ia tampak mengenakan kebaya merah dengan bawahan batik berwarna senada. Luwes berlenggak-lenggok di atas catwalk dadakan di Lapas Wirogunan, Yogyakarta, sesekali perempuan berambut ikal sebahu ini melempar senyum ke arah penonton. Tak sia-sia, usahanya diganjar juara. Sayangnya, kemenangan lomba peragaan busana untuk para narapidana itu, tak berbanding lurus dengan nasibnya. Tiga belas tahun ditahan di penjara, masih belum ada keadilan untuk Mary Jane Veloso hingga hari ini.

Buatmu yang lupa, Mary Jane adalah warga Provinsi Nueva Ecija, Filipina. Ia ditangkap di Bandara Sutjipto, Yogyakarta pada medio April 2010 karena kedapatan membawa 2,6 kilogram heroin di (bagian dinding) kopernya. Mary Jane yang kala itu cuma bisa berbahasa Tagalog–bahasa asli Filipina–tak didampingi penerjemah dan kuasa hukum yang memadai, lantas dijatuhi vonis mati oleh Pengadilan Negeri Sleman. Ia dinilai melanggar Pasal 114 ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 

 

 

Namun, heroin itu sebenarnya bukan milik dia, dan Mary Jane cuma korban perdagangan manusia. Anak bungsu dari lima bersaudara itu mulanya dijanjikan oleh Maria Cristina Sergio untuk jadi buruh migran di Malaysia dan Indonesia. Tawaran itu tentu disambut baik oleh Mary Jane, yang sebelumnya mengalami trauma lantaran nyaris diperkosa saat jadi pekerja rumah tangga di Dubai. Ia adalah ibu tunggal, cuma sempat mengenyam pendidikan 1 tahun di bangku SMA, sehingga kerja apa saja mau dia lakukan untuk dua anaknya.

Oleh Maria, Mary Jane dibekali satu koper yang sudah disisipi heroin, dan uang saku US$500. Saat ditangkap petugas bandara, ia mengakui koper itu miliknya tapi tak tahu-menahu apa isi di dalamnya. Namun, kesaksian Mary Jane tak cukup meyakinkan otoritas setempat. Sudah dua kali nama Mary Jane masuk dalam daftar terpidana mati yang mestinya dieksekusi pada Januari dan April 2015.

Keajaiban datang di menit-menit terakhir setelah perekrutnya Maria menyerahkan diri di Filipina. Eksekusi ditunda, tapi bukan dibatalkan. Nasib Mary Jane masih tak jelas. Padahal Mary Jane telah mengikuti semua tingkatan pengadilan di Indonesia bahkan mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Dilansir dari Kompas, pada 20 September 2022, Departemen Luar Negeri Filipina sampai harus menyampaikan permohonan grasi secara resmi kepada Presiden Jokowi melalui Kementerian Luar Negeri RI. Namun hasilnya nihil.

Baca juga: Pengasuh atau PRT? Perhatian Kurang, Tuntutan Kerja Rangkap Tinggi

Apa Kata Keluarga

Juni lalu, keluarga Mary Jane, Celia Veloso (63) yang didampingi Cesar Veloso (73), dan kedua anak Mary Jane, Mark Danielle Veloso Candelaria (20) serta Mark Darren Veloso Candelaria (14) berkunjung ke Indonesia. Selama beberapa hari di Jakarta, mereka memberikan surat permohonan kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati.

Mereka juga menemui Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah, ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), dan Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo Pr.

Magdalene sendiri berkesempatan secara khusus untuk ngobrol singkat dengan keluarga di tengah kesibukan mereka memperjuangkan hak Mary Jane, (22/6) di kantor Human Rights Working Group (HRWG), Menteng, Jakarta Pusat. 

Sang ibu, Celia menceritakan, sudah lima tahun sejak kunjungan terakhirnya ke Lapas Perempuan Kelas IIB, Rejosari, Baleharjo, Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta–tempat Mary Jane ditahan sejak 2021. Dalam kunjungannya pada 11 dan 12 Juni 2023 itu, ia melukiskan betapa bahagia hatinya.

“Saya bahagia melihatnya, begitu pula Mary Jane. Saya bisa lihat itu dari matanya, rasanya berbeda. Mary menceritakan pada kami betapa dia sangat ingin bertemu kami. Kangen banget, ingin memeluk kami. Saya juga tahu dia kangen banget sama anak-anaknya,” tutur Celia.

Ia menambahkan, kunjungannya kali ini sekaligus ingin mencari dukungan agar anak bungsunya itu bisa dibebaskan.

“Kami enggak sekadar mengunjungi Mary Jane di Indonesia tapi juga untuk ngasih pesan ke orang-orang yang dukung Mary Jane untuk terus mendukung kasusnya agar dia bisa bebas. Sebab, sudah 13 tahun (Mary Jane) di sini,” tuturnya.

“Sebelum saya dan suami meninggal dunia, saya cuma ingin Mary Jane dibebaskan dan kumpul bareng dengan anak-anaknya lagi. Kami orang tuanya sudah sakit-sakitan, ada sakit diabetes, sakit jantung. Kami takut keburu meninggal dunia, dan cucu-cucu saya berakhir sendirian,” imbuhnya.

Keluarga Mary Jane. Sumber: Jasmine Floretta V.D/Magdalene.co

Berbeda dengan sang Celia yang mencoba tegar, ayah Mary Jane, Cesar tak bisa menyembunyikan air matanya. Saat diwawancarai, ia sempat beberapa kali menangis. “Saya tidak menyangka kalau salah satu anak kami akan dipenjara. Kondisinya sekarang sulit karena tanpa dukungan cukup, kami susah makan,” tukasnya.

Anak Mary Jane, Mark juga merasakan kepahitan yang sama. Ia bilang, sebagai anak, ia merasa kesulitan bertumbuh tanpa kehadiran sosok ibunya. “Kami ingin selalu bersama ibu kami. Mencium dan memeluknya, walau hidup susah tak masalah, kami ingin selalu bisa bersama. Saya percaya ibu sangat kuat berjuang 13 tahun. Namun sekarang, saya tahu betapa dia sudah ingin pulang ke rumah. Karena dengan begitulah kami bisa menghabiskan waktu bersama.”

Kenangan Mark relatif terbatas, mengingat ia dipisahkan dengan sang ibu di usianya yang bahkan belum genap delapan tahun. Di kunjungannya baru-baru ini di lapas, ia melihat sosok ibunya terlihat sangat berbeda. “Ibu jadi sangat pintar bermain gitar dan piano. Saya melihat bagaimana ibu dicintai banyak orang di lapas. Setiap orang yang kami ajak bicara bilang, mereka pasti akan menjaga ibu kami. Ibu menjadi inspirasi banyak tahanan, sehingga mereka jadi lebih berdaya. Dia bekerja keras untuk menghidupi kami mesti dari balik jeruji.” ungkapnya.

Mary Jane memang banyak mengisi waktunya dengan bermain organ tunggal untuk mengiringi ibadat keagamaan dalam lapas. Perempuan yang kini fasih berbahasa Indonesia dan Bahasa Jawa itu juga banyak melukis batik di sela-sela waktunya.

Namun, dengan kebutuhan yang terus meningkat, uang kiriman itu tak cukup menjawab kebutuhan keluarga. Ayah dan ibu Mary Jane bercerita, fisiknya tak lagi sekuat dulu untuk bekerja.

“Saat Mary Jane dipenjara, istri dan sayalah yang bekerja membiayai anak-anaknya. Saya bekerja sebagai buruh tani, buruh tebu, juga tenaga rongsokan yang menjual botol bekas untuk mencari nafkah. Namun, fisik saya dan istri semakin lemah. Kami tidak memiliki mata pencaharian yang layak lagi, sehingga cuma mengandalkan dukungan dari orang lain bahkan untuk sembako sehari-hari,” kata Cesar yang langsung disambut anggukan kepala istrinya.

“Kami berangkat dari keluarga miskin. Kami sudah tua, sehingga sulit mendapatkan pekerjaan. Semua anak kami jadi buruh migran yang nasibnya tidak jelas, kembang kempis. Kami hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian. Kami bahkan tak punya tanah, tak ada rumah. Jika tak bisa bayar sewa, kami harus cari tempat tinggal baru lagi entah kemana,” tambah Celia.

Baca juga: Derita Anak Buruh Migran: Ditinggalkan Orang Tua, Jadi Korban Kekerasan

Bisakah Mary Jane Bebas, Bagaimana Caranya?

Wawancara singkat Magdalene dengan keluarga Mary Jane membawa satu pertanyaan penting: Sebenarnya seberapa besar peluang dia bebas?

Dalam Rapat Terbatas (Ratas) membahas Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), di Istana Merdeka, Jakarta, (30/5), Jokowi sebenarnya sudah mewanti-wanti. “Presiden menyatakan, kita perlu melakukan restrukturisasi satgas tim TPPO. Kemudian memerintahkan ada langkah-langkah cepat di dalam sebulan ini untuk menunjukkan kepada publik bahwa negara, kepolisian negara, Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan aparat-aparat pemerintah yang lain, bertindak cepat dan hadir untuk ini,” ungkap Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, dilansir dari laman Sekretaris Kabinet.

Pernyataan Jokowi itu berangkat dari maraknya kasus TPPO yang menempatkan warga Indonesia sebagai korban. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP2MI) menyebutkan, dalam tiga tahun terakhir, jumlah korban dari Indonesia yang meninggal dunia akibat TPPO mencapai lebih dari 1.900 orang. Artinya ada dua peti jenazah yang masuk ke Indonesia setiap hari. Mayoritas berlatar pengiriman tak resmi atau sindikat ilegal.

Masalahnya, posisi Indonesia sebagai Ketua Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), membuat pernyataan Jokowi tampak kontradiktif. Di satu sisi, pemerintah kita getol mengusahakan nasib warganya yang jadi korban TPPO di luar negeri, tapi di sisi lain abai dengan korban TPPO warga lain di dalam negeri. Kasus Mary Jane adalah contoh konkretnya.

Mary Jane cuma satu di antara korban TPPO–yang menurut laporan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat berjudul “Trafficking in Person Report 2022”–marak karena lemahnya penegakan hukum setempat.

Di Filipina, tempat asal Mary Jane, dilansir dari laporan yang sama, sebenarnya sudah ada kemajuan penegakan hukum kasus TPPO. Buktinya, dilansir dari Rappler, penegak hukum Filipina menindak tegas Maria dan menjatuhi vonis penjara seumur hidup kepadanya pada 30 Januari 2020. Ia dituduh melakukan penipuan dan rekrutmen buruh migran ilegal berskala besar. Proses peradilannya untuk kasus perdagangan manusia pun terus bergulir. Sementara Indonesia masih mentok sebagai negara dengan kinerja yang merosot dalam memerangi perdagangan manusia. 

Terkait penegakan hukum ini, Joanna dari Migrante International menyampaikan, vonis bersalah yang dijatuhkan pada Maria, semakin memperkuat bahwa Mary Jane tak bersalah. Karena itulah, ia mendesak agar pemerintah Indonesia memberi kesempatan kepada Mary Jane untuk memberi kesaksian pada proses pengadilan Maria, yang tengah berlangsung di Filipina. Majunya Mary Jane patut diupayakan, mengingat ia adalah satu-satunya saksi yang tersisa dari kasus tersebut. Jika Maria terbukti bersalah, maka secara otomatis ia tak bisa dipidana karena merupakan korban perdagangan manusia.

Senada, Daniel Awigra dari HRWG menuturkan, media juga perlu andil memberikan tekanan terus-menerus kepada pemerintah. Peran media di sini juga sekaligus untuk mendorong komitmen politik yang kuat, membuat perjanjian hukum mutual legal agreement (MLA) agar Mary Jane bisa bersaksi di Filipina.

“Sekarang Jokowi sedang kenceng koar-koar tentang pemberantasan TPPO. Momentum ini sebenarnya bisa diwujudkan dengan membentuk MLA dengan Filipina. Jadi tak cuma di dalam negeri tapi juga lintas batas negara. Lagipula MLA ini juga bisa menjadi jaminan agar apapun yang diputuskan di pengadilan Filipina, juga bisa jadi barang bukti untuk persidangan di Indonesia. Harapannya, itu bisa menggugurkan tuduhan lama Mary Jane yang dipidana dengan UU Narkotika,” ungkapnya.

Pertimbangan lain kenapa MLA penting adalah proses peradilan yang dijalani Mary Jane sebelumnya sudah relatif lancung. Bayangkan, perempuan yang kita tahu tak bisa berbahasa Indonesia, juga tak lancar berbahasa Inggris, tapi saat pemeriksaan sama sekali tak didampingi penerjemah. Saat proses pengadilan pun, alih-alih didampingi penerjemah tersumpah, ia cuma dibantu oleh penerjemah mahasiswa yang cuma mengerti Bahasa Inggris saja. Alhasil, banyak pertanyaan yang tak terjawab dengan baik, sehingga berujung pada vonis matinya.

Proses pengadilan Mary Jane ini mengingatkan kita pada Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Dalam Peraturan itu, hakim mestinya mempertimbangkan kesetaraan gender dan dilarang bersifat diskriminatif. Caranya dengan mengidentifikasi fakta persidangan menurut ketidaksetaraan status sosial di antara para pihak yang berperkara, ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan, diskriminasi, dampak psikis yang dialami korban. Pun, ketidakberdayaan fisik dan psikis korban, relasi kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya, dan riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi.

Dalam kasus Mary Jane, kita tahu, berdasarkan pengakuannya, ia ditipu oleh perekrutnya. Dari awal menerima tawaran kerja dari Maria, ia tak diberikan informasi transparan soal penyelundupan heroin dalam koper yang dibawa. Hal ini mengingatkan kita pada komentar Theresia Sri Endras Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan pada Kompas, 2021. Biasanya mereka yang terlibat dalam mafia narkoba cuma dititipi koper atau dipacari terlebih dulu oleh pelaku. Ada pula yang diancam sehingga terpaksa jadi kurir narkoba lintas negara. Hal inilah yang menjadikan posisi perempuan macam Mary Jane semakin rentan.

“Ini adalah kegagalan proses peradilan. Perempuan dengan kerentanannya justru diidentifikasi sebagai pelaku bukan korban. Hakim hanya melihatnya (Mary Jane) dalam pandangan sistem hukum positif, dia membawa maka dia bersalah,” ujar Awigra lagi.

Yang disampaikan Awigra dan Komnas Perempuan diamini oleh Erwiana Sulistiyaningsih dari Migrant Advocacy and Campaign, Beranda Perempuan. Perempuan yang pernah jadi buruh migran di Hong Kong itu menjelaskan, “Orang-orang seperti saya, Merry Utami, Mary Jane adalah korban kerentanan, dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, minim lapangan pekerjaan. Sehingga, jaminan pekerjaan di Indonesia membuat kami terpaksa menjadi buruh migran dan tidak memprioritaskan keamanan. Padahal kondisi kami saat bekerja sangat tak ideal, dengan jam kerja panjang, tidak diberi libur, makan tidak diberi yang cukup, kekerasan, bahkan jadi target sindikat narkoba.”

Di sisi lain, imbuh dia, buruknya perlindungan negara yang berorientasi profit, kerap menempatkan nasib para buruh migran ini ke tangan para sindikat nakal. “Giliran kami ada masalah, kami bingung mau minta pertolongan,” kata dia.

Pada akhirnya, lanjut Awigra, yang bisa dilakukan Jokowi sebenarnya sederhana saja: Memberikan grasi untuk Mary Jane. “Presiden itu kepala negara, dia membawahi seluruh eksekutif dan legislatif memberikan kebijaksanaannya, di situlah kapasitas pemimpin dilakukan,” tuturnya. Masalahnya, Jokowi mau tidak menunjukkan political will tersebut?



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky and Jasmine Floretta V.D

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *