Culture Politics & Society

Kalau Lizzo Terbukti Jahat, Kita Tetap Tidak Boleh ‘Fatphobic’

Lizzo terseret kasus hukum, tapi komentar ‘fatphobic’ terhadapnya tetap tak boleh dilanggengkan.

Avatar
  • August 24, 2023
  • 6 min read
  • 1427 Views
Kalau Lizzo Terbukti Jahat, Kita Tetap Tidak Boleh ‘Fatphobic’

Siapa yang tidak kenal Lizzo? Perempuan kulit hitam bertubuh gemuk ini dalam beberapa tahun terakhir menggebrak panggung musik dunia dengan pesan-pesan positifnya tentang self-love dan body positivity.  Kehadirannya di tengah industri yang masih mendamba sosok perempuan dengan standar kecantikan ideal (putih dan langsing) menjadi suatu katalis.

Ia dikagumi bahkan berbagai media menyebutnya sebagai ikon feminis baru. Alia, 26, adalah salah satu orang yang mengagumi sosoknya sejak tahun lalu. Ia kagum pada sosok perempuan gemuk berkulit hitam dengan suara emas ini karena pesan-pesan positif seperti self-love yang ia bawa. Kekaguman Alia terhadap Lizzo pun semakin besar setelah ia singgah menonton konsernya di Glasgow, Inggris Maret lalu.

 

 

“Pas nonton show itu aku kayak mikir ‘Wah ternyata Lizzo bener-bener walk the talk gitu. Apa yang dia lakukan selaras dengan nilai-nilai yang dia sampaikan di lagu. Ini salah satunya keliatan dari gimana dia milih team dancers buat konser dia,” jelas Alia.

Namun, sayang kekaguman Alia tidak bertahan lama. Dilansir dari Billboard, Lizzo sedang menghadapi tuntutan hukum dari tiga penari tur yang melaporkan mengalami pelecehan seksual dan lingkungan kerja yang tidak bersahabat, termasuk dipaksa untuk menyentuh penari telanjang selama pertunjukan seks langsung.

Dalam pengaduan yang diajukan di pengadilan Los Angeles, Arianna Davis, Crystal Williams, dan Noelle Rodriguez menyebut Lizzo (nama asli Melissa Jefferson) dan Big Grrrl Big Touring Inc. miliknya melakukan berbagai pelanggaran hukum, termasuk diskriminasi rasial dan agama.

Tuntutan hukum yang menimpa Lizzo tentu membuat dunia gempar. Alia sendiri misalnya langsung dilanda rasa kecewa yang besar. Ia tak pernah menyangka Lizzo akan terlibat kasus yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang diklaim inklusif oleh sang penyanyi.

“Aku kaget dan kecewa banget ternyata dibalik pesan-pesan yang dia bawa, dia justru melakukan sebaliknya,” curhat Alia. 

Baca Juga: Catcalling dan Hak Perempuan Atas Ruang Publik

Komentar Fatphobia Adalah Bentuk Rasisme Terselubung

Berbagai respons terlontar dari mulut warganet menyusul kasus yang menimpa Lizzo. Kekecewaan memang paling banyak dilontarkan warganet, tetapi salah satu di antaranya yang paling menonjol adalah komentar-komentar fatphobia. 

Dalam pantauan Magdalene, per 22 Agustus 2023, kami menemukan ada puluhan komentar-komentar fatphobia yang dituju langsung pada Lizzo lewat pencarian kata kunci “Lizzo fat” di X. Salah satunya diunggah oleh akun terverifikasi dengan jumlah likes mencapai 3.000. 

Selain itu, salah satu temuan Magdalene lain memperlihatkan bagaimana secara spesifik beberapa pengguna X terverifikasi menghina Lizzo dengan mengasosiasikannya sebagai sapi perah yang gemuk. Dalam satu unggahan dari akun terverifikasi bahkan asosiasi ini dibalas oleh komentar para warganet lain yang terang-terangan mengatakan, “Bahkan sapi perah lebih baik baik dari Lizzo karena ‘berguna’ bagi masyarakat.”

Nyome Nicholas, seorang model bertubuh besar yang telah mengkampanyekan kesetaraan tubuh dikutip oleh Refinery29 kemudian mengatakan bagaimana komentar-komentar fatphobia ni memperlihatkan wajah masyarakat kita sebenarnya dalam memandang perempuan kulit hitam bertubuh gemuk. 

“Para fatphobes sebenarnya sudah punya masalah dengan penampilan Lizzo dan kasus ini jadi ini adalah alasan bagi mereka untuk menjustifikasi retorika fatphobia dan rasisme mereka. Orang-orang harusnya tetap berpegang pada tuduhan tetapi mereka justru mengomentari berat badannya yang tidak ada hubungannya sama sekali,” kata Nyome.

Komentar Nyome memang benar adanya. Dengan tidak memfokuskan diri pada mendorong akuntabilitas Lizzo atau merangkul korban, Banseka Kayembe selaku penulis mengatakan dorongan spontan masyarakat melontarkan komentar fatphobia memperlihatkan anggapan masyarakat bahwa seorang perempuan kulit hitam yang gemuk tidak mungkin merasa senang dan bangga dengan penampilannya. Kebangaan dan pesan-pesan positif tentang ketubuhannya hanyalah sebuah kedok belaka. 

Rasionalisasi bias tentang imaji undesirable fat bodies pernah dijelaskan Sabrina Strings, associate professor di Universitas California melalui bukunya, Fearing the Black Body: The Racial Origins of Fat Phobia (2019). Dalam bukunya, Sabrina menjelaskan fatphobia sudah mengakar di masyarakat yang tak lain adalah bagian dari rasisme terlembaga sejak ratusan tahun lamanya. 

Dimulai dari perdagangan manusia trans-atlantik yang kemudian disusul oleh penyebaran Protestan, dan munculnya ilmu pengetahuan tentang ras, tubuh gemuk selalu diasosiasikan sebagai sesuatu yang inferior.

Baca Juga: Pandemi dan Mitos Pelecehan Seksual di Ruang Publik

Pada perempuan kulit hitam, tubuh gemuk secara lebih spesifik diberikan makna baru sebagai sesuatu yang lebih inferior dibandingkan tubuh langsing dan kulit putih. Akibatnya, tubuh gemuk perempuan kulit hitam juga sering dipandang atau dipotret menjijikan dan jelek. 

Sebaliknya, tubuh langsing selalu diasosiasikan dengan keindahan, self-perseverance, superioritas moral, intelek, dan dekat dengan kulit putih. Tulisan ilmuwan seperti George Cuvier, J.J. Virey, dan Georges-Louis Leclerc merekam bukti ini.

Karya-karya mereka memberikan penekanan khusus pada tubuh perempuan Afrika selatan yang digambarkan sangat mengerikan dan dimetaforakan buas seperti binatang. Di masa itu pula, eksploitasi pada perempuan Afrika (kulit hitam, tubuh curvy, usia anak) bernama Saartjie Baartman terjadi. Ia adalah simbol penjajahan bangsa kulit putih atas tubuh perempuan Afrika.

Pelembagaan inferioritas tubuh gemuk ini pun semakin parah semenjak “obesitas” dinilai sebagai krisis kesehatan masyarakat.

Dengan munculnya “epidemi obesitas” pada abad ke-20, tubuh perempuan kulit hitam terus menjadi sasaran medical disgust. Perempuan kulit hitam dianggap obesitas karena mereka rata-rata punya skor Body Mass Index (BMI) lebih tinggi daripada perempuan kulit putih.

Dari sini mulai banyak laporan dan artikel-artikel yang beredar mengenai bahaya obesitas dan BMI jadi alat ukur akurat mendeteksi obesitas. 

Baca juga: Tak Ada Tempat Aman Perempuan di Dunia Ini Kecuali Kuburnya

Internalisasi Opresi

Janice Gassam Asare dalam artikelnya di Forbes menulis, tindakan Lizzo mungkin bisa dijelaskan lewat pemahaman mengenai internalisasi opresi. Audre Lorde dalam Sister Outsider (1984) pernah menulis bahwa tiap orang sejatinya memiliki internalisasi opresi dalam diri masing-masing

Menjadi bagian dari kelompok yang termarjinalkan tidak secara otomatis menghalangi kita untuk menggunakan kuasa pada orang lain. Yang tertindas bisa juga bisa menindas, begitu simpelnya.

Lizzo berkali-kali mengungkapkan bagaimana berbagai bentuk diskriminasi telah ia cicipi selama berkarier sebagai penyanyi perempuan kulit hitam bertubuh gemuk. Ia menyadari segala bentuk diskriminasi yang ia terima itu salah dan perlu ia lawan, tapi bukan berarti pemahamannya tentang ketertindasan ini bisa berubah menjadi suatu resistensi utuh.

Seseorang yang punya internalisasi opresi sangat mungkin mengadopsi pandangan penindas, meski ia adalah bagian dari kelompok terpinggirkan. Dampkanya bisa merugikan. Tidak hanya pada kesejahteraan psikososial (mental, emosional, sosial, dan spiritual) masing-masing individu, tapi juga malah memproduksi ulang perilaku-perilaku opresif.

Dalam kasus Lizzo, pengalamannya sebagai perempuan kulit hitam bertubuh gemuk di Amerika Serikat tak menutup kemungkinan ia memiliki internalisasi opresi. Sehingga secara bersamaan, ia bisa menggunakan kontrol dan pengaruh yang ia punya pada orang lain yang posisinya lebih rentan.

Sebagai “wajah” dari gerakan anti-fatphobia dan penyanyi super-terkenal, kuasa dan pengaruh Lizzo bikin rentang relasinya dengan para karyawan jadi jauh. Sehingga memungkinkan terjadinya penyalahgunaan kuasa.

Di tempat kerja, orang-orang minoritas macam Lizzo yang dianggap punya kuasa lebih biasanya akan melakukan seleksi pada mereka yang termarjinalkan di kelompoknya. Menurut Asare, hal ini di tingkat ekstrem bahkan digunakan orang-orang yang bukan marjinal (seperti orang-orang kulit putih), untuk membiarkan kelompok marjinal terlibat konflik sesama mereka. Itu sebabnya, memahami dinamika kasus Lizzo secara lebih dalam jadi penting. Sebab, Lizzo bisa saja berbuat salah dan melanggar pesan-pesan yang ia gaungkan, tapi bukan berarti kita boleh kembali mundur dan menjadi masyarakat fatfobik lagi.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *