Culture

‘Lebih Putih Dariku’, Kisah Nyai yang Terpenjara Seumur Hidupnya

Melalui ‘Lebih Putih Dariku’, Dido Michielsen menampilkan kisah para nyai yang terus hidup dalam lingkaran kekerasan.

Avatar
  • September 13, 2023
  • 7 min read
  • 3263 Views
‘Lebih Putih Dariku’, Kisah Nyai yang Terpenjara Seumur Hidupnya

Berbicara soal Nyai, mungkin yang akan terlintas di kepala pembaca Indonesia adalah sosok Nyai Ontosoroh dari novel Bumi Manusia (1980) Pramoedya Ananta Toer. Sosoknya digambarkan tangguh dan berdaya. Ia punya kuasa atas pilihan-pilihan hidupnya sendiri. Bahkan, ia jadi pemilik Perusahaan Pertanian Buitenzorg yang membuatnya dihormati masyarakat. Sayangnya, penggambaran Nyai Ontosoroh tak cukup merefleksikan realitas kebanyakan nyai di zaman kolonial Belanda.

Dido Michielsen, perempuan penulis asal Belanda berdarah campuran Indonesia menuliskan kisah nyai di novel fiksi pertamanya Lichter dan ik (2019). Diterjemahkan dan diterbitkan oleh Marjin Kiri pada 2022 dengan judul Lebih Putih Dariku, novel ini berporos pada perempuan Jawa bernama Isah.

 

 

Ibunya adalah pembatik keraton. Kepada Isah, sang ibu bercerita, Pangeran Natakusuma, anak sultan dari Keraton Yogyakarta adalah bapak biologisnya. Namun karena laki-laki itu tak pernah mengakui ibu Isah sebagai selir resmi, Isah harus menyandang status anak di luar nikah. Ini otomatis membuatnya hidup dalam strata terendah di lingkungan Keraton Yogyakarta. 

Tak mau pasrah dengan status sosial yang disematkan kepadanya sejak lahir, Isah bertekad mengubah nasib. Ia mencari laki-laki Belanda totok untuk ia nikahi. Berharap dengan menikahi laki-laki kulit putih, statusnya bakal naik dan bisa lebih bebas memilih pilihan hidup sendiri.

Baca Juga: ‘Invisible Women’: Data Laki-laki yang Utama, Perempuan Nanti Saja

Perempuan Pribumi dalam Belenggu Feodalisme dan Patriarki

Sudah jatuh tertimpa tangga mungkin adalah peribahasa yang paling bisa menggambarkan nasib Isah. Ia mengalami berbagai ketidakadilan dalam hidupnya. Feodalisme di keraton memenjara Isah dalam aturan tak masuk akal, seperti tak boleh pakai kebaya atau perhiasan cantik karena ia cuma rakyat jelata.

Ia harus membungkuk dan menundukan pandangan tiap bertemu para bangsawan dan anak-anak dari selir resmi. Ia harus berbicara menggunakan krama inggil (tingkatan bahasa tertinggi dalam sistem komunikasi di Jawa) dan bersikap sopan dalam situasi apapun bahkan ketika dirundung.

Ia tak boleh membantah atau menolak apapun yang diperintahkan orang-orang yang statusnya lebih tinggi darinya. Ia harus pasrah menjadi kambing hitam jika ada masalah yang terjadi di keraton. Celakanya lagi, ia juga harus rela benda berharganya diklaim atau diambil paksa oleh anak-anak selir. 

Semua peraturan-peraturan mengikat ini semua harus ditaati tanpa kecuali. Buat Isah dan orang-orang sederajatnya ini jadi satu-satunya cara agar mereka bisa bertahan hidup.

Jaring-jaring kedudukan dan status yang tipis dan tak kasat mata ini berlaku dalam segala hal, dan semakin kamu bertambah usia, hal ini akan kelihatan lebih jelas. Lalu, sebagai orang dewasa akhirnya menyadari dirimu tersekat dalam batas-batas yang sudah digariskan itu, dan tidak bisa lain selain menerimanya, kecuali kalau kamu sendiri meronta untuk membebaskan diri.” – Isah (halaman 25).

Ketidakadilan pun semakin terasa karena Isah juga terlahir sebagai perempuan. Sebagai perempuan, ia tak lebih dari manusia kelas dua. Ia tak berhak mengenyam pendidikan, sehingga sampai dewasa membaca dan menulis tak jadi kecakapannya. Sebaliknya, ia cuma boleh hidup untuk anak dan suaminya. Sumur, dapur, kasur, begitu kodratnya

Menginjak usia 11 tahun atau setelah haid pertama, perempuan sudah mulai dinikahkan paksa oleh keluarga. Isah bernasib sama. Di usia yang bahkan belum menginjak 17 tahun, sang ibu yang jadi satu-satunya figur orang tua mulai sibuk mencarikannya calon suami. Tak peduli jika calon suami Isah sudah beristri lima atau kakek-kakek yang sudah punya cucu, ibu Isah merasa harus segera menikahkan anak semata wayangnya ini. 

Ibu Isah percaya, menikah adalah satu-satunya cara perempuan bisa bahagia. Dengan menikah, Isah akan lebih baik nasibnya. Ia akan dinafkahi tanpa perlu repot-repot lagi pusing memikirkan isi perutnya. Tak hanya itu, dalam budaya Jawa, menikahkan anak perempuan juga dipercaya jadi bentuk keberhasilan orang tua. Ini tentu akan memberikan rasa bangga tersendiri buat ibunya.

Isah muak dengan segala ketidakadilan yang ia terima. Tanpa ia sadari bibit-bibit perlawanan tumbuh dalam dirinya dan mewujud keras dalam usahanya menolak pernikahan paksa. Isah sadar pernikahan paksa cuma akan buat dia tersiksa bahkan terpenjara di dalam kotak yang lebih sempit lagi: Menjadi properti laki-laki.

Karena itu, Isah mencari cara agar bisa keluar dari situasi yang akan merugikan. Ia sadar tak ada cara lain yang bisa ia lakukan. Masyarakat sudah membabat habis hak-haknya dalam memilih kehidupan yang layak. Isah juga menggunakan tubuhnya sebagai alat perlawanan. Ia mencari laki-laki dengan status lebih tinggi untuk ia nikahi.

Dia sengaja merayu Ponijo, seorang pangeran keturunan bangsawan kelas rendahan, kemudian Adriaan Rudolph Willem Gey van Pittius, perwira Belanda untuk tertarik menjalin hubungan dengannya. Ini strategi perlawanannya. Semua ia lakukan demi satu hal: Meraih kebebasan. 

Baca Juga: “Bagaimana Cara Mengatakan ‘Tidak’?” Tampilkan Perempuan di Lingkaran Kekerasan

Nyai yang Tak Pernah Diakui

Isah jatuh cinta pada Gey. Laki-laki kulit putih itu memperlakukannya di ranjang dengan hangat. Ia bertutur lembut, tak pernah berlaku kasar padanya hanya karena ia adalah gadis pribumi. Dengan Gey, Isah percaya kebebasannya sebentar lagi akan terwujud.

Sayang, bukannya mendapat kebebasan, Isah ternyata harus masuk ke dalam penjara hidup yang lain. Hidup bersama laki-laki Belanda tak membuat nasib Isah lebih baik. Saat ia sudah percaya akan menikahinya apalagi saat ia akhirnya memiliki dua anak, Isah justru harus puas dengan status Nyai. 

Dalam kediaman Gey, Isah tak lebih hanya kepala pembantu dan penghangat ranjang si Belanda totok itu. Gey bahkan berusaha sekuat mungkin untuk menyangkal keberadaan anak-anak dari hasil hubungannya dengan Isah. Pouline dan Louisa adalah anak Indo, campuran Belanda dan pribumi yang tak pernah kenal siapa bapaknya walau tinggal serumah. 

Petaka pun akhirnya menghampiri Isah. Saat Gey akhirnya memutuskan untuk kembali ke Belanda dan menikah dengan perempuan satu derajat dengannya, Isah harus merelakan anak-anaknya diambil Arnold dan Lot. Sepasang suami istri yang merupakan sahabat Gey.

Isa memohon kepada Arnold supaya ia tidak dijauhkan dari kedua anaknya yang masih kecil.

Akhirnya, sepasang suami istri itu mengizinkan Isah untuk menjadi pengasuh bagi kedua anaknya sendiri tapi dengan satu catatan. Baik Paulilne dan Louisa tidak boleh mengetahui jika Isah adalah ibu kandungnya. Isah juga harus paham kalau nantinya Pauline dan Louisa akan dipisahkan darinya ketika sudah menginjak dewasa. 

Kebebasan yang Isah idam-idamkan pun pada akhirnya cuma jadi impian utopis. Sebagai perempuan Jawa yang menjadi Nyai, bebas bukan lagi menjadi pilihannya. Kisah Isah sebagai Nyai inilah yang jadi catatan kelam dalam sejarah kolonialisme Belanda. 

Reggie Baay, penulis buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda (2010) di balik tudingan “perempuan materialistis”, “perempuan tak bermoral”, “perempuan penggoda” atau pelacur oleh para kolonialis Belanda, sosok para Nyai tak ayal adalah korban dari penindasan berlapis.

Para Nyai mengalami penindasan gender, karena jenis kelamin mereka perempuan.  Penindasan ras, karena kulit mereka yang berwarna. Terakhir, penindasan kelas, karena status mereka sebagai orang miskin. Dalam relasi pergundikan, kuasa sepenuhnya berada di tangan laki-laki, kulit putih, dari kelas mapan. Hal ini membuat para Nyai tak punya pilihan lain selain patuh pada tuannya.

Pergundikan sendiri dimulai pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 saat kedatangan sejumlah besar rombongan dagang Eropa ke negara-negara Asia, termasuk di dalamnya rombongan dagang Belanda ke koloni Nederlands-Indie (Hindia Belanda). 

Rombongan tersebut didominasi oleh laki-laki, hanya sedikit perempuan yang turut serta. Sedikitnya jumlah perempuan yang datang ke Hindia Belanda rupanya jadi permasalahan tersendiri bagi banyak laki-laki Eropa yang datang dan menetap di koloni. Untuk mengatasinya, pergundikan pun dijadikan solusi. 

Bahkan tercatat ada buku panduan bagi para calon pegawai perkebunan yang akan dikirim ke Tonkin, Sumatra, dan Malaya untuk mencari seorang “pelayan sekaligus teman tidur” dalam hal ini Nyai sebagai cara tercepat untuk beradaptasi. Hidup bersama nyai akan mengajarkan adat, kebiasaan, dan bahasa setempat. Ini terutama terjadi ketika budidaya tanaman ekspor meledak pada 1870.

Baca Juga: ‘As Long As Lemon Trees Grow’: Trauma dan Perlawanan dalam Konflik Suriah

Dalam banyak kasus, pergundikan sama saja seperti perbudakan. Relasi kuasa timpang terjadi karena mewujud pada relasi yang bersifat seksual antara sang penakluk dan yang ditaklukkan. Perempuan pribumi hanya menjadi objek untuk dinikmati secara seksual dan diperlakukan semena-mena. 

Mereka bisa tiba-tiba diusir tanpa diberikan pesangon atau mendapat kekerasan tanpa ada yang mau menolong. Hak atas anak dari hasil hubungannya dengan si tuan pun sayangnya juga tidak diakui. Lewat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 1848 Pasal 40 dan 354, dinyatakan hak asuh anak hasil pergundikan tidak dapat diambil oleh ibunya sekalipun si tuan meninggal.

Reggie Bay mencatat sering kali anak-anak tersebut dialihkan kepada pasangan Eropa lain dengan memberi imbalan dan melupakan peran Nyai sebagai ibu kandung mereka. Inilah mengapa kemudian banyak anak-anak Indo berakhir tidak mengetahui siapa ibunya dan tak mengenal akar identitas Indonesianya. 

Melalui novel Lebih Putih Dariku, realitas ini disampaikan tanpa bumbu pemanis apapun. Berusaha mendobrak stigma negatif tentang keberadaan Nyai, Dido Michielsen memberikan suara pada Isah untuk menceritakan kisah hidup Nyai yang sebenarnya. Tentu saja kisah hidup yang tak semanis Nyai Ontosoroh di Bumi Manusia.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *