Issues

Melihat Tayo pada Bus Damri

Ini cerita saya, seorang ibu yang sulit menepati janji mengajak anak penyandang autisme untuk bisa naik bus keliling.

Avatar
  • September 14, 2023
  • 5 min read
  • 1205 Views
Melihat Tayo pada Bus Damri

“Lia” membantu membuka paket “Noah” berisi mainan orisinil Bus Tayo, yang sudah dijanjikan beberapa bulan silam. Setelah menimbang-nimbang apakah membeli lewat official store atau produk KW ‘made in china’—yang mana sebenarnya mainan official juga dibuat di China—Lia memilih toko resmi. Agar semirip mainan yang ditonton Noah di YouTube tiap hari alasannya.

Air liur Noah menetes tidak sabar menunggu kardus paket itu koyak. Setelah terbuka, Tayo dan teman-temannya mendarat empuk di tangan Noah dan langsung ia mainkan dengan riang.

 

 

Diam-diam hati Lia tak tenang. Ia merasa sedang menyogok Noah dan mengubur rasa bersalah karena tak kunjung mengajak anak naik Bus Damri. Noah hanya bisa memegang Tayo di tangan, sedangkan pantatnya masih saja tak bisa menduduki Tayo besar yang lewat di hadapannya ketika lewat Terminal Cicaheum hampir setiap minggu. 

Sebagai anak kecil, Noah sangat dekat dengan wacana penggunaan transportasi umum. Bagaimana tidak, lagu yang diputar selalu tentang transportasi umum. Jika mau ke Bandung-Surabaya, pakai kereta seperti lagu “Naik Kereta Api” ciptaan Ibu Sud. Sambil tangannya bergerak menggulung, Noah berucap “Round and round” mengikuti lagu “Wheels on the Bus. Bagi Noah, transportasi umum bukan hanya soal mobilitas, tapi juga sarana rekreasi.

Noah terobsesi dengan objek berputar, yang membuat ia akhirnya sangat suka mainan kendaraan dengan ban. Di satu waktu, ia hampir tertabrak sepeda, karena berlari terlalu dekat memerhatikan ban sepeda yang sedang berputar. Noah belum tahu, keinginan dia untuk menyentuh ban bisa membahayakannya. Ini juga salah satu alasan Lia sangat protektif kepada Noah karena takut ia mencelakai dirinya sendiri. Sebab, anak dengan autism spectrum disorder (ASD) cenderung kesulitan mengenali bahaya.

Baca juga: Kelompok Disabilitas di Pekanbaru Keluhkan Fasilitas Umum Tidak Memadai

Beberapa kali dalam sebulan, Lia berusaha agar Noah bisa mendekat kepada harapannya menaiki Tayo alias si Bus Damri Bandung. Lia memulai dengan mengajak Noah naik kereta-keretaan di Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani Nasution. Noah yang sangat bersemangat tak sabar untuk cepat-cepat menaiki kereta. Saking antusiasnya, bocah itu enggan turun. Ia mengamuk dan berteriak-teriak. Tatapan penghakiman orang-orang membuat Lia sangat tak nyaman.

Pada lain waktu, Lia mengajak Noah naik Bandros (Bandung Tour on Bus) di Kiara Artha Park, taman kota yang dikelola swasta. Noah tak henti-hentinya berlari mengikuti Bandros hingga hidungnya keluar darah karena mimisan. Noah yang hyposensitive memang tak peka atas batasan dirinya. Ia tak sadar tubuh kecilnya lelah.

Sebelum Noah berusia tiga tahun, Lia membuat resolusi agar Noah bisa naik Damri yang terparkir di area IKEA Bumi Parahyangan. Lokasi tersebut dipilih usai melakukan riset kecil-kecilan dari tempat peristirahatan bus satu dan bus lainnya. Tempatnya yang luas dan tidak ramai kendaraan lain, dinilai aman jika Noah tiba-tiba sulit mengendalikan diri.

Transportasi Umum Bukan buat Semua Orang

Untuk naik Bus Damri saja, Lia harus membayangkan berbagai skenario yang terjadi dulu supaya bisa memastikan keselamatan Noah. “Apakah orang dalam Bus Damri akan nyaman dengan kehadiran mereka?”; “Apakah Noah akan betah ketika sudah di dalam Bus Damri?”; “Bagaimana jika dia bosan atau lebih penasaran melihat bannya dari luar sehingga meminta untuk turun di tengah jalan?”; “Apakah akan ada orang yang menyerang Noah karena merasa terganggu?”; “Apakah kami akan mendapatkan penghakiman di tengah perjalanan?” Semua berputar di dalam kepala Lia dalam waktu bersamaan. Membuat dirinya lelah bahkan sebelum memulai.

Tak bisa rasanya Lia berpikir jauh ke penggunaan transportasi umum sebagai moda mobilitas keseharian. Ketika hanya untuk berkeliling sekali saja membuatnya stres tak karuan. Transportasi umum bukan untuk semua orang, terlebih untuk Noah, anak dengan disabilitas intelektual.

Penyandang disabilitas menghadapi berbagai tantangan dalam keseharian. Menurut Martha T. McCluskey dalam Rethinking Equality and Difference: Disability Discrimination in Public Transportation (1988), ada berbagai kerugian karena kelompok itu tidak terepresentasi pada kebijakan publik. Mereka masih sulit mengakses transportasi umum dan bepergian secara mandiri karena transportasi umum kekurangan staf untuk memberi bantuan, atau nihilnya area aman untuk berjalan kaki.

Padahal dalam Sustainable Development Goals (SDGs) ditekankan soal akses terhadap sistem transportasi yang aman, terjangkau, mudah, dan berkelanjutan. Hal ini dilakukan dengan memberi perhatian khusus kepada masyarakat rentan, seperti perempuan, anak-anak, juga penyandang disabilitas. 

Anak secara umum masuk ke dalam kelompok rentan, tapi seharusnya tidak berhenti di sana saja karena ada kerentanan berlapis, seperti yang dialami Noah, anak dengan disabilitas.

Baca juga: Gelap, Rawan Kejahatan, Ringkih: Mengapa Perempuan Takut Berjalan di JPO Jakarta

Akhirnya datang hari ulang tahun Noah. Lia menepati janjinya mengajak Noah naik Bus Tayo. Setelah asyik berfoto bersama Tayo, Noah cepat-cepat meminta naik Bus Damri biru tersebut. Belum lama berada di dalam, Noah yang menggeleng-gelengkan kepalanya karena excited mendapatkan tatapan penasaran dari penumpang lain.

“Anaknya enggak normal, Bu?” “Anak kayak gitu biasanya karena enggak dikasih sayang yang cukup, jadi sering-sering dipeluk, Bu,” dan “Ini pasti karena hp, Bu.” Tak dapat menanggung pertanyaan dan tatapan menghakimi lagi, sebelum Bus Damri jalan, Lia memutuskan untuk mengajak Noah turun. Lia cuma bisa berjanji tahun depan Noah bisa berkeliling naik Bus Damri, sedangkan hari itu Noah hanya bisa menaikinya saja.

Apa yang dialami Lia dan Noah selaras dengan keterangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam “World Report on Disability 2011”. WHO mengungkapkan, penyandang disabilitas enggan keluar rumah karena ada risiko dilecehkan atas kondisinya. Lia sendiri sangat senang dapat membawa Noah berjalan-jalan melihat dunia luar tapi kalimat toxic positivity hingga olokan menjadi sandungan besar bagi Lia.

Hari ini usia Noah nyaris empat tahun. Namun, Lia masih tak terlalu yakin bisa menepati janjinya mengajak anak itu berkeliling naik bus betulan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Yuniviar Ekawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *