‘Gender Equal Pay’ di Dunia Olahraga dan Kenapa Atlet Perempuan Dibayar Rendah?
Tennis US Open 2023 sudah membayar upah atlet lelaki dan perempuan dengan setara. Namun tidak untuk beberapa cabang olahraga lainnya.
“Thank you for fighting this.”
Kalimat ini diucapkan oleh Coco Gauff, 19, petenis perempuan asal Amerika Serikat yang memenangkan US Open 2023. Ia mengatakan ini kepada Billie Jean King, mantan petenis profesional asal Paman Sam yang saat itu menyerahkan amplop berisi cek uang sebesar US$tiga juta.
Ini tak cuma jadi momen bersejarah buat Gauff. Tahun itu, US Open merayakan 50 tahun Gender Equal Pay, di mana pemenang perempuan dan laki-laki mendapatkan hadiah uang yang setara. Billie dalam hal ini menjadi atlet perempuan pertama alias pionir kesetaraan upah dalam cabang olahraga tersebut.
Saat itu, medio 1970, King dan delapan pemain lainnya, berang karena para pemain pria mendapatkan lebih dari delapan kali lipat hadiah uang yang diterima perempuan di turnamen yang sama. Para perempuan itu yang kemudian dikenal sebagai the “original nine” mengajukan protes hingga berisiko dilarang tampil di olahraga tenis.
Pada 1973 di Wimbledon, King memimpin para atlet dalam pemungutan suara yang membentuk Asosiasi Tenis Perempuan. Dilansir dari The New York Times, masa-masa itu cukup sulit bagi olahraga perempuan. King sendiri pernah mendapatkan selisih bayar US$10 ribu-US$15 ribu dibanding atlet pria, Ilie Nastase.
Beruntunglah, dukungan terhadap kesetaraan upah atlet terus mengemuka di cabang tenis. Masalahnya, masih banyak cabang olahraga lain yang hingga kini berjuang untuk mencapai kesetaraan upah.
Baca juga: Hari Kesetaraan Upah Perempuan Kulit Hitam: Peringatan akan Kesenjangan
Gender Equal Pay
Sebenarnya konsep gender equal pay sudah terbentuk sejak 1869. Melansir dari Time.com, saat itu pemerintah Amerika mempekerjakan 500 perempuan di Departemen Keuangan. Sayang penghasilan mereka hanya dihargai setengah dari jumlah pekerja laki-laki. Padahal banyak dari pekerja perempuan ini yang menjadi tulang punggung keluarga. Sebuah resolusi pun dibuat di tahun itu agar memastikan upah pegawai pemerintah bisa setara. Beruntungnya, pada 1870, hal ini disahkan oleh senat.
Tuntutan upah setara meluas ke berbagai bidang. Salah satunya, Western Union Telegraph Company di 1883. Saat itu para buruh sampai sibuk melakukan pemogokan kerja karena menuntut hal ini. Meski tak berhasil, namun ini menjadi langkah awal untuk upah yang adil bagi perempuan yang bekerja di non-pemerintahan.
Sebuah kemajuan terjadi di 1911, ketika guru-guru di New York akhirnya diberikan gaji yang setara dengan rekan kerja laki-laki mereka. Khususnya setelah melewati pertarungan yang panjang dan penuh perdebatan dengan Dewan Pendidikan setempat.
Upaya-upaya kesetaraan upah terus dilakukan dari awal Perang Dunia I dan Perang II. Setelah perang berakhir, tuntutan upah yang setara tampaknya mulai berkurang. Di 1947, Menteri Tenaga Kerja Amerika Serikat Lewis Schwellenbach, mulai mencoba meloloskan amandemen upah setara yang berlaku untuk sektor swasta. Baginya tak boleh ada perbedaan dalam gaji antara laki-laki dan perempuan. Namun karena para veteran membutuhkan pekerjaan setelah perang dan perempuan semakin diharapkan untuk tinggal di rumah, tawaran Schwellenbach pada akhirnya kandas.
Akhirnya usai perjuangan panjang, perundang-undangan nasional disahkan pada 1963 di AS. Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy menandatangani Undang-undang Gaji Setara. Kennedy mengatakan ini menjadi langkah maju yang signifikan dan berkomitmen agar perempuan yang memasuki angkatan kerja, mendapat kesetaraan gaji.
Baca juga: When Employers Reward ‘Ideal’ Workers, Gender Equality Suffers
Kesetaraan Upah di Dunia Olahraga
Sepuluh tahun setelah UU Gaji Setara disahkan di Amerika Serikat, dunia olahraga juga menuntut hal yang sama.
Melansir dari website resmi US Open, pada 1972, Billie memenangkan turnamen kejuaraan US Open melawan Kerry Melville dari Australia dengan skor 6-3 dan 7-5. Ia pun berhak atas hadiah uang sebesar US$10 ribu. Hadiah ini jauh berbeda dengan pemain laki-laki Ilie Nastase dari Rumania yang mengantongi uang US$25 ribu. Karena perbandingan yang sangat jauh ini membuat Billie menuntut untuk kesetaraan upah atau gender equal pay diterapkan tahun depannya.
Billie pun mengancam kalau ia tak akan ikut kompetisi ini jika hadiahnya tidak setara. Akhirnya di 1973, US Open menjadi first major yang menyetarakan upah untuk laki-laki dan perempuan. Momen ini pun menjadi pembuka bagi kejuaraan tenis dan olahraga yang lainnya.
Setelah momentum itu, tiga grand slam lain ikut mengubah sistem upah mereka. Australian Open sendiri sudah menerapkannya sejak 2001. Disusul oleh French Open dan Wimbledon di tahun 2007.
Tenis pun menjadi cabang olahraga pertama yang menyetarakan hadiah pemenang ini. Tindakan yang dilakukan oleh cabang olahraga tenis rupanya menginspirasi cabang olahraga lainnya. ABC News melansir salah satunya bola voli yang mulai menerapkan kesetaraan ini sejak tahun 2004. World Surf League, liga selancar dunia mengumumkan atlet perempuan dan laki-laki mendapat jumlah hadiah yang sama sejak 2019.
Walaupun sudah banyak cabang olahraga yang memimpin kesetaraan upah ini, nyatanya masih banyak juga yang belum menerapkannya. Apa alasan yang membuat sport gender equal pay cukup lama untuk dibenahi?
Baca juga: Kesenjangan Gender di Dunia Profesional, Mulai dari Upah sampai Penugasan
Alasan Kesenjangan Upah dan Pentingnya Kita Mengritisinya
Nyatanya masih banyak atlet perempuan belum mendapatkan upah yang setara atlet laki-laki. Alasannya karena nilai komersial yang sangat jauh berbeda antara permainan laki-laki dan perempuan. The Atlantic mengatakan olahraga laki-laki punya nilai produksi tinggi dan terkesan lebih. Contohnya ketika Novak Djokovic petenis nomor satu dunia bermain maka statistik jumlah penontonnya akan tinggi. Hal ini pun akhirnya dimanfaatkan oleh produser media dan sponsor untuk mengambil keuntungan tersebut.
Makanya meski sudah ada kesetaraan upah di olahraga tenis, petenis dengan bayaran tertinggi masih diduduki oleh laki-laki. Karena jumlah bayaran endorsement dan sponsor yang mereka terima lebih tinggi dari petenis perempuan.
European Institute for Gender Equality mengatakan alasan lain yang memengaruhi pendapatan atlet perempuan karena kurangnya partisipasi mereka dalam posisi pemerintahan di organisasi olahraga. Di yayasan olahraga Eropa, hanya 14 persen perempuan yang diberi kesempatan untuk posisi pengambilan keputusan.
Selain itu atlet perempuan nantinya akan menikah dan menjadi ibu. Keadaan ini akan mengurangi performa mereka di turnamen-turnamen karena kondisi fisik yang berubah. Akhirnya pendapatan tersebut otomatis berkurang, karena mereka butuh waktu untuk melatih dan memulihkan diri. Namun alasan ini mengalami kemajuan ketika salah satu cabang olahraga, basket mencakup kebijakan cuti hamil dengan gaji penuh untuk pemain perempuan. Kebijakan ini dikeluarkan oleh World’s National Basketball Association dari Amerika Serikat pada 2020 lalu.
Terlepas dari olahraga tenis yang sudah membuka jalan bagi gender equal pay ini, tapi masih banyak juga olahraga lain yang tak mengambil keputusan yang sama. Meski begitu hal ini sudah cukup membawa perubahan. Jalannya masih akan panjang bagi para atlet perempuan untuk mencapai haknya setara dengan laki-laki.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari