Issues

Sulitnya Mendirikan Rumah Ibadah: “19 Tahun Kami Berjuang untuk Dapat Izin Gereja”

Negara masih jadi pihak yang membiarkan sikap diskriminatif dan intoleran terhadap pendirian rumah ibadah.

Avatar
  • September 25, 2023
  • 14 min read
  • 2759 Views
Sulitnya Mendirikan Rumah Ibadah: “19 Tahun Kami Berjuang untuk Dapat Izin Gereja”

Dengan raut wajah pilu, pendeta Luspida Simanjuntak mengingat kembali peristiwa traumatis di Ciketing, Bekasi pada 2010 silam. Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), tempatnya melakukan pelayanan waktu itu digeruduk lebih dari 800 massa karena dianggap mengganggu dan tak punya izin mendirikan bangunan (IMB).

Empat hari kemudian, sekelompok orang melakukan penyerangan. Penatua Hasian Lumban Toruan Sihombing jadi korban penusukan, sedangkan Luspida dipukul pakai balok kayu di bagian dahi. 

 

 

“Kalau diingatkan peristiwa itu saya akan ingat semuanya. Bagaimana saya berjuang menenangkan jemaat. Bagaimana mereka (pelaku) mengejar saya,” ujar Luspida kepada Magdalene (8/9/23).

Kini, setelah 13 tahun berlalu, peristiwa yang sempat menyita perhatian publik itu tak membuat perubahan berarti. Jemaat gereja HKBP Ciketing masih terus berjuang mendapat IMB, tapi selalu menemui jalan buntu. Selama ini mereka bertahan di bangunan sementara. Sedangkan tanah kosong yang dijanjikan pemerintah untuk pendirian gereja sejak dulu tak pernah ada wujudnya. 

Pendeta Luspida Simanjuntak dan Sintua Sardo Sihombing. Sumber: Siti Parhani/Magdalene

Nasib yang tak jauh beda juga Luspida rasakan di beberapa daerah pelayanan tempat ia ditugaskan. Setelah Ciketing, Luspida berpindah ke beberapa tempat yaitu Tanjung Priok, Aceh, Tarutung, Medan, dan sekarang di Lembang, Jawa Barat. Saat ditempatkan di Aceh, Luspida mengatakan, meski gereja HKBP sudah lama berdiri, mereka tak diizinkan merenovasi bangunan gereja yang miring diterjang tsunami Aceh 2004 lalu. 

“Mereka bilang kalau kita boleh mendirikan rumah atau apa saja, tapi tidak dengan gereja. Jadinya yang kita renovasi hanya jalan sekitarnya saja. Kalau bangunan enggak kita apa-apain,” tambahnya. 

Tak kalah sulit dengan Ciketing dan Aceh, perjuangan mendapat izin pendirian rumah ibadah di Lembang juga sudah berlangsung selama 19 tahun. Ditemui di tempat yang sama, Sintua gereja HKBP Lembang Sardo Sihombing mengatakan, selama ini hampir 100 KK jemaat di Lembang terpaksa berpindah-pindah dari rumah ke wisma hingga ke gedung kosong karena sering ditolak dan didemo massa dengan alasan yang sama: belum adanya IMB.

“Kami beribadah di rumah, tapi ada yang keberatan. Lalu kami pindah ke gudang kosong, tapi baru beberapa bulan kami didemo lagi. Bahkan kami pernah dipaksa menandatangani surat kalau kami enggak akan pakai tempat itu lagi,” kata Sardo kepada kami.

Magdalene berusaha menghubungi Kepala Desa Gudangkahuripan Agus Karyana, Kecamatan Lembang, Jawa Barat, untuk menanyakan perihal IMB yang dipersulit. Namun, hingga artikel ini diterbitkan belum ada respons dari pihak terkait.

Baca juga: Ibadah Seharusnya Milik Semua, Termasuk Siswa Agama Minoritas di Sekolah

Izin Mendirikan Bangunan Ibadah yang Terus Dipersulit

Di Indonesia, syarat mendirikan rumah ibadah diatur dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2006 dan No 8 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Pendirian Rumah Ibadah. 

Syaratnya mencakup empat hal: minimal 90 tanda tangan jemaat; 60 dukungan warga sekitar; rekomendasi FKUB; dan rekomendasi dari Kementerian Agama di masing-masing daerah. 

Namun, pada praktiknya, syarat pendirian rumah ibadah ini sulit dilakukan apalagi oleh penganut agama minoritas, penganut kepercayaan, dan juga ajaran agama yang dituduh sesat, seperti Ahmadiyah. Laporan lembaga peneliti untuk demokrasi dan perdamaian SETARA Institute tahun 2021 menunjukkan, dari 171 peristiwa dan 318 tindakan pelanggaran kebebasan beragama, enam isu yang paling sering terjadi adalah tindakan intoleransi penolakan pendirian tempat ibadah (20 kasus), penyerangan (12 kasus), dan perusakan tempat ibadah (10 kasus). 

Peneliti HAM dari SETARA Institute Sayyidatul Insiyah mengatakan meski aturan pendirian rumah ibadah itu penting untuk memenuhi unsur legalitas, tapi pada implementasinya, IMB ini sangat dipersulit karena masyarakat yang resisten dan diskriminatif. Ini juga yang membuat IMB jadi bola panas yang sering dimainkan untuk menjustifikasi pelarangan hingga penolakan rumah ibadah.

“Enggak adanya IMB ini kan sering dijadikan alasan ya. Tapi sekarang bagaimana mau dapat IMB kalau masyarakatnya aja menolak? Sedangkan ada aturan 60-90 tanda tangan itu yang harus dipenuhi supaya bisa mendapat rekomendasi,” ujar Sayyidatul kepada Magdalene

Penolakan dari masyarakat ini juga yang jadi alasan utama kenapa HKBP Lembang sulit mendapat IMB. Sardo mengatakan jika sejak 2017 pihak gereja sudah berupaya membeli lahan kosong dan bahkan berhasil mendapat 60 tanda tangan warga, serta 90 tanda tangan jemaat. Tapi, walau syarat sudah hampir dipenuhi, masih ada saja yang keberatan dan menolak pendirian gereja. 

“Padahal, kami hanya ingin beribadah dengan nyaman, enggak pindah-pindah,” kata Sardo.

Situasi yang sama juga dialami oleh jemaat Pos Parmingguan HKBP Betlehem di Cilebut Barat, Kecamatan Sukaharja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Perjuangan mendapat izin pendirian rumah ibadah sudah hampir 10 tahun dilakukan, tapi hasilnya nihil. 

Pimpinan Jemaat Bibelvrouw Masnaria Pasaribu mengatakan kalau mereka sudah berusaha memenuhi syarat IMB dengan membeli lahan seluas 1.226 meter persegi. Komunikasi dan pendekatan pada warga pun terus dilakukan agar bisa mendapat persetujuan. Sayangnya, kendala utama masih terletak pada sikap masyarakat yang keberatan dengan adanya kegiatan gereja termasuk juga RT/RW setempat yang menolak saat jemaat melapor adanya kegiatan beribadah. Alhasil, sekarang ini, Masnaria dan jemaat pun hanya meminta izin ke tetangga sekitar tanpa memberi tahu RT/RW saat melakukan beribadah di rumah. 

“Di sekitar sini saja tidak semua mau menerima. Kami menyiasatinya dengan enggak bilang ke RT karena kalau bilang pasti tidak diizinkan. Kalau terus ditolak, kami kebaktian di mana lagi?” ujar Masnaria kepada Magdalene.

Tak punya rumah ibadah menetap, membuat 100 KK jemaat Pos Parmingguan HKBP Betlehem Cilebut harus berpindah-pindah tempat. Mereka sempat menetap selama dua tahun sejak 2020 di Jl. Batu Gede, Cilebut. Namun, pada 2022 harus kembali hengkang setelah ibadah perayaan natal yang sedang berlangsung tiba-tiba ditolak warga sekitar.

Menurut Masnaria, pada saat itu, sekelompok orang tiba-tiba datang dan memaksa jemaat yang tengah kebaktian untuk bubar dengan alasan belum adanya IMB. Semenjak itu mereka harus mencari tempat baru untuk beribadah setiap minggunya. Selama setahun ini, mereka sudah berpindah ke 72 lokasi karena terus mengalami penolakan. 

“Padahal yang di Batu Gede itu cukup luas. Kami rencananya mau seriusin bikin izin di situ. Tapi apa daya ada kejadian itu,” tambahnya.

Saat dikonfirmasi soal ini, Kepala Desa Cilebut Barat, Dasuki mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan mediasi bersama dengan RT/RW setempat, FKUB, dan pihak kepolisian. Namun sampai sekarang belum ada solusi yang disepakati bersama. Selama ini, Dasuki juga sudah melaporkan soal masalah pendirian rumah ibadah ke pemerintah kota dan provinsi agar bisa difasilitasi. 

“Kewenangan kami hanya sampai di sini saja. Karena memang harusnya ini diputuskan semua pihak,” kata Dasuki. 

Ia tak setuju jika masyarakat Cilebut disebut menolak atau melarang jemaat HKBP beribadah, hanya saja mereka mengadukan soal rumah yang dijadikan tempat ibadah di tengah pemukiman padat penduduk. Selain itu, banyak jemaat di luar Cilebut yang ikut dan membawa kendaraan sehingga mengganggu kenyamanan masyarakat sekitar, katanya. 

“Seringnya yang masuk laporan dari warga itu soal kendaraan yang parkir,” ujar Dasuki pada Magdalene (21/9/23).

sulitnya mendirikan rumah ibadah seperti gereja di Indonesia
Jemaat Pos Parmingguan HKBP Betlehem Cilebut beribadah di rumah. Sumber: Tommy Triadikara/Magdalene

Menurut Masnaria, pihaknya selama ini selalu berusaha untuk tak mengganggu fasilitas publik saat beribadah. Ia misalnya, selalu meminta jemaat untuk tak membawa kendaraan pribadi dan mengatur agar kendaraan terparkir tak menghalangi jalan utama. Mereka juga sengaja meminta speaker cuma digunakan di dalam ruangan dan hanya saat beribadah.

Masnaria juga menambahkan, tujuan pendirian Pos Parmingguan HKBP di Cilebut Barat sendiri untuk memfasilitasi jemaat sekitar Cilebut yang tak bisa beribadah ke gereja di Bojong Gede dan Kota Bogor. 

“Ya bayangin aja orang mau beribadah harus menempuh satu sampai dua jam. Banyak jemaat yang jadinya ke gereja hanya pas mau baptis, natal, atau SIDI. Belum lagi yang bawa anak. Sekarang kita mau mendirikan di area yang enggak padat penduduk juga tetap ada yang keberatan. Jadinya serba salah,” ujarnya.

Soal sulitnya mendapat dukungan tanda tangan pendirian rumah ibadah, Dasuki juga mengakui bahwa masyarakat Desa Cilebut Barat memang belum begitu paham soal hak kebebasan beragama dan isu keberagaman sehingga masih sulit untuk mendapat dukungan pendirian rumah ibadah dari warga sekitar. Tekanan dari masyarakat ini menurutnya berimbas pada RT/RW yang mau tak mau mengikuti suara mayoritas warga dan jadinya tak memberi izin. 

“Kita juga sudah memanggil RT/RW tersebut. Tapi kenyataannya RT/RW juga ditekan oleh masyarakat sehingga kita juga enggak bisa menyalahkan beliau. Lagi-lagi karena kita di kampung, beda dengan di Jakarta yang mungkin sudah paham hukum. Kami pun dari pemerintahan desa tak bisa membantu banyak,” tambahnya. 

Baca juga: Intoleransi Sistematis Halangi Komunitas Sunda Wiwitan Jalankan Keyakinan

Pemerintah Daerah dan Aparat Tak Tegas, Masih Memihak Mayoritas

Meski tindakan penolakan dan penyerangan kegiatan beribadah masih sering terjadi di berbagai daerah, pemda dan aparat penegak hukum yang harusnya punya peran penting untuk mengurai masalah ini masih belum bertindak tegas. Padahal menurut Sayyidatul, masalah IMB yang sulit didapat karena sikap masyarakat yang masih diskriminatif harusnya bukan jalan buntu.

Dalam SKB 2 Menteri sendiri, sudah diatur soal peran pemda dan FKUB yang wajib memfasilitasi jika IMB ini sulit didapat oleh kelompok umat beragama maupun penghayat kepercayaan. Meski FKUB masuk dalam kategori inisiatif pemerintah, tapi posisinya bersinergi dan dekat dengan pemerintah daerah.

“Negara harusnya hadir untuk memfasilitasi,” ujarnya.

Namun realitasnya peran negara tak pernah benar-benar ada. Masnaria membenarkan pernyataan Dasuki bahwa setelah kejadian penolakan perayaan natal tahun lalu viral, memang sempat ada mediasi yang dilakukan pemerintah Kabupaten Bogor bersama dengan FKUB dan aparat penegak hukum. Dari mediasi tersebut, ada rekomendasi agar jemaat pindah ke rumah toko (ruko) sementara. Tapi, setelah mendapat tempat untuk disewa, pihak pemerintah justru kembali mengatakan bahwa ruko tersebut tetap tak bisa dijadikan rumah ibadah, tambah Masnaria. 

“Padahal kami sudah melapor ke daerah setempat dan (pemerintah) Kabupaten Bogor untuk difasilitasi. Entah itu di balai desa atau di mana. Tapi sampai sekarang enggak ada,” ujarnya.

sulit membangun rumah ibadah
Pos Parmingguan HKBP Betlehem di Cilebut beribadah di rumah. Sumber: Tommy Triadikara/Magdalene

Masnaria melihat, sama seperti halnya RT/RW yang masih takut dengan masyarakat mayoritas, mediasi yang dilakukan pemerintah daerah dan aparat juga sering kali hanya formalitas untuk menenangkan suasana alih-alih mencari solusi memenuhi hak-hak jemaat beribadah dengan aman dan menindak tegas sikap intoleran.

“Jadinya ke kita ngomongnya apa, ke pihak mayoritas juga ngomongnya beda lagi,” tambahnya. 

Hal yang sama terjadi di HKBP Lembang, Sardo mengatakan setiap kali ada pengusiran, pemerintah daerah seperti RT/RW dan Kepala Desa sering kali hanya menyuruh perwakilan dan diserahkan pada Kapolsek dan Keamanan Lingkungan. Masalahnya, setiap mediasi yang dilakukan, tak pernah ada solusi atau jalan keluar yang diberikan. Alhasil, gereja pun harus mencari jalan sendiri untuk tetap bisa beribadah. 

“Kami enggak minta macem-macem, hanya ingin beribadah dengan tenang aja. Tapi kesannya di masyarakat diusir, tapi pemerintah juga enggak bisa bersikap tegas saat itu terjadi,” imbuh Sardo. 

Paulus Wijono, anggota FKUB Jawa Barat mengatakan bahwa FKUB sebagai lembaga yang terdiri dari berbagai pemuka agama, memang punya peran penting dalam memediasi. Namun, pemberian solusi soal pendirian rumah ibadah tetap harus dibarengi dengan RT/RW, pemerintah daerah, dan aparat penegak hukum yang harusnya berpegang pada UU dan berani bersikap tegas jika ada hak orang lain yang dilanggar. 

“Polri, aparat pemerintahan setempat seperti RT/RW harus tegas berpegang pada aturan dan UU. Jangan kalah hanya karena desakan orang-orang tertentu atau kelompok tertentu. Kalau gak gitu, hukumnya gak bisa ditegakkan,” kata Paulus kepada Magdalene.

Baca juga: Non-Muslim hingga Tionghoa Ramai-ramai Dibenci, Bukti Kita Intoleran

Dua Sisi Ranperpres Pendirian Rumah Ibadah yang Akan Disahkan

Makin sulitnya pendirian rumah ibadah dan meningkatnya sikap intoleran ini sebetulnya sudah jadi perhatian Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas. Pemerintah pun sekarang ini sedang menggodok Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. 

Dalam Ranperpres syarat pendirian rumah ibadah masih mengharuskan 90-60 tanda tangan dari jemaat dan warga sekitar. Tapi, nantinya hanya perlu rekomendasi pemerintah daerah, tanpa rekomendasi tertulis FKUB. Selain itu, di pasal 26 juga mengatur soal pemberian izin rumah ibadah sementara jika persyaratan pendirian rumah ibadah belum terpenuhi. 

Meski ini bisa dibilang langkah progresif yang dilakukan pemerintah, menurut Sayyidatul Ranperpres tetap punya dua sisi mata pisau karena di dalamnya memuat aturan baru soal pembentukan FKUB Nasional—yang nantinya akan berkoordinasi dengan FKUB Provinsi, dan FKUB Kabupaten/Kota.  

“Pembentukan FKUB Nasional ini kita lihat sebagai sebuah tantangan atau kelemahan karena fungsinya sendiri juga belum jelas. Justru yang sebaiknya dioptimalkan lagi itu FKUB di daerah yang perannya selama ini masih belum ideal. Apalagi penolakan rumah ibadah itu banyak terjadi di daerah-daerah tertentu,” kata Sayyidatul. 

Jika wacana pembentukan FKUB Nasional ini benar-benar dilakukan, tambahnya, maka perumusan fungsi dan perannya harus dibuat sejelas mungkin supaya tidak mudah disalahgunakan jadi wadah penyaluran kepentingan pihak tertentu. 

Selain itu draf Ranperpres PKUB juga dikritik Jaringan Masyarakat Sipil dan Penganut Kepercayaan karena masih memuat beberapa hal yang mendiskriminasi kelompok minoritas. Dalam pers rilis yang diadakan Koalisi Advokasi Keberagaman bersama Mitra YKPI Aceh dan NTT (14/9/23) dikatakan bahwa Ranperpres PKUB belum memasukkan unsur penghayat kepercayaan dalam keanggotaan FKUB.

Padahal Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 sudah memberikan afirmasi bagi Kepercayaan yang setara dengan Agama. Mereka juga mengkritik syarat 60-90 tanda tangan yang masih menyulitkan dan rentan menyulut konflik antar-umat beragama.

Sayyidatul melihat bahwa saat ini lebih penting bagi pemerintah untuk lebih merangkul gerakan kolektif yang mendukung keberagaman di daerah seperti Majelis Umat Beragama yang tersebar di 12 kecamatan di Bekasi, Jawa Barat.

“Mereka-mereka ini sebetulnya yang lebih dekat dengan masyarakat langsung karena levelnya di kecamatan. Kenapa harus membuat FKUB tingkat nasional, kalau yang di daerah saja masih jauh dari kata optimal,” tukas Sayyidatul. 

Sebagai anggota FKUB di tingkat provinsi, Paulus justru melihat pembentukkan FKUB Nasional ini bukan gagasan yang buruk jika diimplementasikan dengan benar. Apalagi selama ini tak ada hubungan hierarkis yang jelas di tingkat FKUB kota/provinsi di Indonesia. Hal tersebut berimplikasi pada terbatasnya intervensi yang bisa dilakukan oleh FKUB mengingat selama ini benar kata Sayyidatul, kasus intoleransi dan penolakan pendirian rumah ibadah banyak terjadi di daerah. 

“Kadang kita yang di level provinsi itu gak bisa banyak ikut terlibat kalau ada kasus di lokal (daerah). Jadi, struktur yang jelas soal peran FKUB sampai ke tingkat nasional itu menurut saya ada baiknya juga,” ujarnya. 

Pentingnya Edukasi Masyarakat Soal Keberagaman

Selain revisi aturan dan penguatan lembaga-lembaga terkait pendirian rumah ibadah, menurut Paulus hal yang tak kalah penting untuk dilakukan adalah edukasi soal isu keberagaman. Ia melihat bahwa sikap-sikap intoleran dan penolakan pendirian rumah ibadah juga dipengaruhi dan dilanggengkan oleh oknum-oknum tertentu yang kerap memakai narasi provokatif. 

Misalnya, sering ada anggapan kalau masyarakat mendukung pendirian gereja, berarti mereka melawan agama atau bahkan murtad, katanya. 

“Saya yakin masyarakat kita itu toleran, hanya saja perlu edukasi. Mereka ini yang gak teredukasi jadinya takut dengan keberagaman,” kata Paulus. 

Sejalan dengan yang dikatakan Paulus, narasi tak bertanggung jawab seperti itu nyatanya dialami langsung oleh jemaat Pos Parmingguan HKBP Cilebut. Masnaria mengatakan keengganan masyarakat memberi tanda tangan dukungan pendirian rumah ibadah salah satunya karena ada narasi mereka akan jadi murtad atau keluar dari Islam. Belum lagi adanya sikap diskriminatif yang menganggap bahwa mereka sebagai pendatang tak tahu diri karena mau mendirikan rumah ibadah di sana, ujarnya. 

Tantangan yang sama dihadapi jemaat HKBP Lembang. Pendirian rumah ibadah mereka yang dilakukan di tengah mayoritas umat Muslim dianggap warga sekitar sebagai kristenisasi terselubung. 

“Yang bisa menggerakan orang mengimani sesuatu itu hanya Tuhan. Kami sih hanya ingin beribadah dengan aman saja,” tambah Sardo. 

FKUB sendiri menurut Paulus, sudah terus melakukan edukasi lewat program-programnya. Menurutnya, masalah utama adalah jumlah masyarakat Indonesia yang ratusan juta, sedangkan tenaga dan fasilitas yang bisa dilakukan FKUB sangat terbatas. Di sinilah peran keluarga, lembaga pendidikan, dan tokoh agama jadi krusial. 

“Sekolah dan kampus punya peranan penting untuk mengedukasi soal etika, moral, dan spiritualitas yang siap menerima perbedaan. Jadi edukasi itu harusnya dilakukan semua pihak,” ujar Paulus. 

Sebagai negara dengan agama, ras, dan latar belakang yang beragam, tambah Paulus, masyarakat Indonesia tak seharusnya melihat perbedaan sebagai sebuah ancaman atau permusuhan. Sebaliknya, perbedaan dan keragaman itu harusnya dilihat sebagai kekuatan untuk bisa saling menghargai. 

“Kita bisa menghargai keberagaman tanpa harus menjelekkan apalagi merasa paling benar. Jadi mari kita bangun bangsa ini di tengah keragaman, kalau kita tidak bisa menyikapinya, kita enggak akan bisa maju. Persoalan bangsa masih banyak, jadi jangan stuck di situ saja,” kata Paulus. 

Liputan dan produksi ini menjadi bagian dari liputan kolaborasi #SemuaBisaBeribadah oleh 12 media lokal dan nasional bersama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang terlaksana atas dukungan International Media Support (IMS).



#waveforequality


Avatar
About Author

Siti Parhani

Hani adalah seorang storyteller dan digital marketer. Terlepas dari pekerjaannya, Hani sebetulnya punya love-hate relationship dengan media sosial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *