Kenapa Kita Harus Berhenti Merisak Rey Utami
Perhatian publik dan media terhadap Rey Utami yang menikah kilat dengan pengusaha kaya menunjukkan masih kentalnya labelisasi dan stigma terhadap perempuan dalam masyarakat kita.
Baru-baru ini laman Facebook saya dipenuhi tautan berita mengenai seorang perempuan bernama Rey Utami yang menikah dengan pengusaha muda sukses bernama Pablo Putera Benua. Konon proses pernikahan itu cukup singkat, hanya berlangsung tujuh hari setelah mereka bertemu di aplikasi kencan Tinder. Swap, janji ketemuan, dan jadilah pasangan.
Berita ini membuat sebagian orang merasa takjub sekaligus tertohok. Ngaku aja deh, sudah berapa kali pacaran kita jalani tapi tak pernah berujung ke pelaminan? (Disclaimer: ini untuk kita yang menganggap pacaran bertujuan untuk mencari pasangan hidup) Kalau bukan karena beda agama, ya beda keyakinan. Satu yakin, satu tidak yakin.
Kabarnya lagi, Rey yang seorang Muslim berhasil membuat Pablo yang non-Muslim untuk pindah agama. Rey pun jadi bulan-bulanan berita, mulai dari kanal gosip sampai koran nasional berbahasa Inggris The Jakarta Post. Cerita cinta Rey jadi fenomenal.
Namun cerita bahagianya tidak berhenti sampai di situ. Netizen dan media mulai panas setelah mengetahui bahwa Pablo, sesaat setelah bertemu, memberikan sebuah mobil dan perhiasan bernilai miliaran rupiah. Hal ini memicu sebagian netizen untuk berkomentar, dan pernyataan yang paling pedas tentu saja: “Rey kamu matre!”
Saya dan sebagian besar dari anda, tidak kenal Rey, bukan? Siapa Rey? Apa latar belakangnya? Apakah dia punya penyakit tertentu? Atau dia pernah berkeluarga? Apakah dia pernah menipu? Atau dia seorang pekerja keras dan suka membantu orang tua?
Kita sama sekali tidak tahu siapa Rey sebenarnya, bukan? Tapi netizen tetap setuju bahwa Rey matre, alias materialistis. Pokoknya matre.
Sesungguhnya perkaranya bukan Rey matre. Perkaranya menurut saya adalah komentar itu telah berujung pada bullying alias perisakan, sekaligus stigma dan labelisasi terhadap perempuan.
Apa itu perisakan?
Perisakan adalah tindakan atau perilaku berulang dalam bentuk verbal, fisik, sosial, atau psikologis yang agresif oleh seseorang atau kelompok yang ditujukan pada orang lain yang memiliki daya lebih lemah atau kelompok dan dapat menyebabkan bahaya, kesulitan, penderitaan, kesedihan, maupun keadaan sukar, hingga ketakutan.
Perisakan dapat dilakukan dalam bentuk verbal yakni tulisan yang bermuatan humor, atau bahkan poster; ancaman kekerasan; pelecehan seksual; homofobia; hingga diskriminasi yang berujung rasial. Terakhir adalah dalam bentuk daring atau cyberbullying.
Setelah membaca ini, coba anda perhatikan akun Instagram atau komentar di tautan berita yang memuat berita tentang Rey. Apa kata netizen?
@ayusitoningrum “Gapapa, supaya terkenal hahaha.. lanjutkan makin pamer makin terkenal makin tajir makin yahudddd.”
@futh__ “Coba kalau laki-nye pakai sendal jepit terus naik motor vespa mana mau ye dese dikawinin baru kenal 7 hari. Money talks guys wakakakak.”
@rynnaaaustin “Udah deh pake banyak alasan, bilang aja kebelet harta tuh cowok, pake ngebantah segala, munafik banget deh.”
@loe_maniez “Kalau orang kere pasti gak mau, iya kan mbak?”
Dan banyak lagi komentar tentang pernikahan Rey di instagramnya.
Saya pribadi menilai komentar ini bukan hanya risakan, tapi mengandung nilai-nilai diskriminatif yang serius terhadap perempuan.
Pertama, labelisasi dan stigma. Perempuan di seluruh dunia, terutama di Indonesia menerima stigma yang cukup berat. Jika dia berpenampilan menarik, maka masyarakat dengan semena-mena memberinya predikat materialistis.
Apa penyebab masyarakat melakukan pelabelan? Menurut teori, labelisasi tak bisa lepas dari apa yang disebut interaksi simbolis. Kita secara tidak sadar telah membangun kontruksi sosial dari interaksi sosial sehari-hari.
Dalam kajian sosiologi, labelisasi terjadi karena ada perilaku yang dianggap ‘menyimpang’. Kelompok yang dominan di masyarakatlah yang menciptakan nilai-nilai yang dianggap menyimpang tersebut, kemudian memberi label kelompok subordinat lainnya. Karena itu labelisasi biasanya menimpa kelompok subordinat seperti perempuan dan kelompok minoritas.
Dalam kasus Rey, sebagian besar masyarakat kita, termasuk perempuan, masih menganggap perempuan bergantung secara ekonomi pada laki-laki. Jadi kalau Rey menikah dengan Pablo, itu karena dia kaya. Padahal, fakta bahwa perempuan punya daya ekonomi sudah dijawab oleh sebuah tulisan di Jurnal Perempuan.
Menurut artikel tersebut, tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan terus meningkat dalam tiga dekade terakhir. Pada tahun 1980 sebesar 32,43 persen, tahun 1990 sebesar 38,79 persen, dan pada tahun 2014 TPAK perempuan mencapai 50,22 persen. Angka ini melaju pesat setiap tahunnya dan dinilai sebagai kemajuan pembangunan, serta termasuk dalam laporan peningkatan kualitas hidup kaum perempuan.
Lalu kenapa perempuan masih menanggung stigma bahwa mereka lemah secara ekonomi? Prediksi saya, karena masyarakat kita malas untuk mencermati, membaca, atau bahkan mengamati lingkungan sekitarnya.
Kalaupun Rey menginginkan harta dari laki-laki itu, hal itu merupakan keputusan pribadi dan apakah itu harus diperdebatkan di ruang publik? Apalagi Rey tidak “merebut” suami orang lain — laki-laki ini lajang dan sukses.
Media juga ikut melabeli dan merisak Rey. Kasus Rey ini telah menambah daftar panjang dosa-dosa media terhadap perempuan. Di Indonesia misalnya, media kerap menulis dengan judul “pramugari cantik”, “polwan cantik”, atau “guru cantik”. Belum lagi berita pemerkosaan yang bukannya mengkritisi hukum yang lalai memberikan ruang keadilan pada korban, namun media malah menyalahkan perempuan yang berpakaian “mengundang” menurut versi mereka.
Dalam kasus Rey, media melakukan glorifikasi, dengan misalnya menulis bahwa perawatan gigi Rey mencapai setengah miliar rupiah. Berita ini hanya akan memicu pembaca untuk menjadikannya sebagai bahan risakan lanjutan. Ini media atau kanal gosip? Sungguh berita yang sia-sia.
Perisakan dan glorifikasi berita pernikahan Rey ini harus dihentikan. Pertama, untuk menghargai keputusan seseorang, terutama perempuan. Kedua, untuk mengalihkan fokus pemberitaan dan memberikan porsi pada berita lain yang lebih penting.
Jika anda tak ingin Rey ‘berjualan’ kehidupan pribadinya, anda seharusnya juga berhenti merisaknya dan membicarakannya di ruang-ruang publik. Masih ada banyak berita tentang perempuan yang perlu anda baca, misalnya kisah perempuan-perempuan pahlawan pangan yang baru saja mendapat penghargaan. Penasaran? Silakan di-googling.
Febriana Firdaus adalah seorang jurnalis lepas dan relawan di International People Tribunal 1965 dan Produser Podcast di @Ingat65.