Kenapa Serangan Israel ke Palestina adalah Isu Feminis
Sudah saatnya kita melihat serangan Israel terhadap Palestina sebagai isu feminis yang perlu diperjuangkan.
Perayaan Hari Raya Sukkot yang telah berlangsung tujuh hari, mestinya menjadi momen penuh suka cita buat warga Israel. Namun, (7/10) suasana berubah jadi menegangkan saat ribuan rudal diluncurkan militan Hamas dari Jalur Gaza. Tak cuma rudal, Hamas merangsek ke Israel selatan dengan menggunakan sepeda motor, truk pick-up, paraglider, dan speed boat lalu menyerang 22 lokasi.
Komandan militer Hamas Muhammad Deif, menyebut operasi ini sebagai Badai Al-Aqsa. Juru bicara Hamas Khaled Qadomi mengatakan kepada Al Jazeera, operasi militer dilakukan sebagai respons atas kekerasan dan diskriminasi puluhan tahun yang dialami warga Palestina.
Menyusul serangan Hamas, Israel meluncurkan apa yang disebutnya sebagai Operasi Pedang Besi, dengan pesawat-pesawat jet yang mengebom Jalur Gaza. Dalam pantauan Al Jazeera, serangan udara meningkat setelah malam tiba. Dengan menargetkan masyarakat sipil, Israel meratakan bangunan-bangunan tempat tinggal dalam ledakan-ledakan besar, termasuk sebuah menara 14 lantai di pusat Kota Gaza.
Pada (8/10), Israel secara resmi menyatakan perang dan pada (9/10) mengumumkan, akan menghentikan pasokan listrik, makanan, bahan bakar, dan komoditas penting lainnya ke Jalur Gaza. Ini adalah keputusan yang di bawah hukum internasional dianggap sebagai kejahatan perang.
Baca Juga: Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui tentang Isu Palestina-Israel
Bukan Sekadar Konflik, tapi Apartheid dan Kolonialisme Pemukim
Serangan Hamas pada Israel banyak diterjemahkan masyarakat global sebagai aksi terorisme. Dengannya, Israel berhak memberikan perlawanan balik kepada Hamas. Berbagai dukungan dan bantuan kepada pihak Israel berdatangan, mulai dari selebriti papan atas, pimpinan negara, hingga organisasi antarpemerintahan dan supranasional.
Dikutip dari Reuters, Presiden Amerika Serikat Joe Biden bahkan siap menawarkan segala bentuk bantuan kepada Israel. Para pejabat AS dan Israel berkoordinasi mengenai kebutuhan militer Israel setelah serangan tersebut. Pun, Uni Eropa dikabarkan “segera” menangguhkan ratusan juta euro dalam bentuk bantuan untuk otoritas Palestina.
Dukungan sepihak yang diberikan berbagai pihak kepada Israel bisa dibilang salah sasaran. Pasalnya, menurut Amnesty International Indonesia dalam liris terbarunya, (9/10), serangan Sabtu lalu bukan ujug-ujug terjadi. Sebaliknya, ini akibat kekerasan di wilayah pendudukan Palestina yang terus berlangsung.
Pendudukan Israel terhadap Palestina sudah terjadi sejak perang Arab-Israel pada 1948. Okupasi itu semakin meluas dan berdarah sejak Israel menduduki secara ilegal daerah di Jalur Gaza dan Tepi Barat, termasuk Yerussalem Timur sejak 1967.
Data dari United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UN-OCHA) menunjukkan sejak 2008 hingga 19 September 2023 korban jiwa dari Palestina mencapai 6.407 jiwa. Sedangkan sebanyak 250 warga Israel tewas dalam periode yang sama, sementara 5.600 lainnya luka-luka.
Jumlah korban Palestina tercatat selalu lebih tinggi daripada Israel. Jumlah ini menunjukkan adanya dominasi kuasa yang dimiliki Israel terhadap Palestina. Israel telah menindas dan mendominasi warga Palestina di setiap wilayah yang mereka kendalikan, termasuk warga palestina yang di Wilayah Pendudukan Palestina atau Occupied Palestinian (OPT) bahkan pengungsi-pengungsi di negara lain.
Apa yang dilakukan Israel kepada Palestina bukan cuma aksi balas dendam. Amnesty International mengategorikannya sebagai apartheid atau kejahatan kemanusiaan yang berupa sistem segregasi rasial yang dilembagakan.
Dalam laporan pada 2022, Amnesty International mendokumentasikan berbagai bentuk apartheid yang dilakukan oleh Israel. Di antaranya, penyitaan tanah dan properti Palestina secara besar-besaran, pemindahan paksa, pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan penolakan kewarganegaraan terhadap warga Palestina.
Buat para pengamat politik dan akademisi, apartheid yang dilakukan Israel juga dilakukan berbarengan dengan settlers colonialism atau kolonialisme pemukim. Dikutip dari Jadaliyya, e-zine independen yang diproduksi oleh Institut Studi Arab, kolonialisme pemukim beroperasi melalui “logika eliminasi” yang berusaha untuk menghapus keberadaan masyarakat pribumi atau adat di wilayah tertentu. Tentu saja caranya sarat akan kekerasan. Para ahli berpendapat, logika penghapusan umumnya berujung pada genosida penduduk asli.
Pembunuhan di luar hukum terhadap para pengunjuk rasa Palestina menurut Amnesty International bisa jadi contoh. Pada 2018, warga Palestina di Gaza mulai mengadakan protes mingguan di sepanjang perbatasan dengan Israel, menyerukan hak kembali bagi para pengungsi dan diakhirinya blokade.
Bahkan sebelum protes dimulai, para pejabat senior Israel memperingatkan bahwa warga Palestina yang mendekati tembok pembatas akan ditembak. Hingga akhir 2019, pasukan Israel telah membunuh 214 warga sipil, termasuk 46 anak-anak.
Baca Juga: Akhiri Budaya Pemerkosaan di Indonesia
Kolonialisme Berdimensi Gender
Dalam konteks Israel, logika kolonial ini berdimensi rasial dan gender. Berdimensi rasial karena ini membingkai orang Palestina sebagai kelompok berbahaya. Ini terlihat dari kepemimpinan Zionis awal yang berusaha mewujudkan mitos dasar Zionis tentang “tanah tanpa penduduk untuk penduduk tanpa tanah”. Caranya melalui pembersihan etnis secara sistematis terhadap penduduk asli Palestina pada 1948 yang berlanjut hingga saat ini.
Di sisi lain, seperti yang dikatakan oleh para feminis dekolonial, logika kolonial berdimensi gender terletak pada tindakan kekerasan berbasis gender yang dilakukan agen imperialis, terutama laki-laki. Kekerasan berbasis gender kerap menggunakan kekerasan seksual sebagai cara untuk menundukkan, menghilangkan, dan membungkam penduduk asli.
Perempuan penduduk asli dalam hal ini selalu jadi target utamanya. Ahli teori politik Francis Fukuyama dalam Haaretz mengungkapkan, dengan melakukan kekerasan terhadap perempuan, para penjajah dapat mengendalikan orang dengan menciptakan monopoli kekuatan yang sah. Kekerasan seksual termasuk pemerkosaan jadi senjata teror yang ampuh untuk memastikan kuasa tersebut. Ini berhubungan langsung dengan kontrol dan martabat manusia, sehingga dalam konteks kenegaraan mampu jadi ancaman peradaban yang serius.
Buku Militarization and Violence against Women in Conflict Zones in the Middle East A Palestinian Case-Study (2009) menjelaskan, Israel memobilisasi kekerasan terhadap tubuh dan seksualitas perempuan Palestina. Tujuannya tak lain untuk memperkuat struktur kuasa patriarki sekaligus membantu pengusiran warga Palestina dari tanah mereka. Negara dan pasukan militer Israel mengeksploitasi ancaman kekerasan seksual terhadap perempuan Palestina, persepsi patriarki tentang seksualitas dan “kehormatan” untuk menghalangi upaya-upaya perlawanan yang terorganisasi.
Praktik ini telah begitu lazim dalam sejarah, sehingga memiliki istilah tersendiri dalam Bahasa Arab, yaitu isqat siyassy–pelecehan seksual terhadap warga Palestina karena alasan politik. Parahnya lagi, kolonialisme berdimensi gender ini juga dijustifikasi oleh Rabbi dan akademisi.
Dikutip dari penelitian yang diterbitkan Affilia: Journal of Women and Social Work pada 2021, Rabbi Samuel Eliyah berpendapat, Perjanjian Lama mengizinkan kekerasan seksual dan pemerkosaan terhadap perempuan non-Yahudi (Palestina). Mereka harus dianggap sebagai barang rampasan perang dan bersyukur tidak dibunuh atau dijadikan budak seksual.
Sedangkan Profesor terkemuka Israel Mordechai Kedar dari Universitas Bar-Ilan, secara eksplisit menyerukan pemerkosaan terhadap perempuan Palestina untuk menghalangi perlawanan Palestina selama kerusuhan pada musim panas 2014. Kedar berbicara dalam program radio Israel setelah pembunuhan tiga pemukim Israel yang hilang di Tepi Barat yang diduduki.
“Satu-satunya hal yang dapat menghalangi para teroris, seperti mereka yang menculik anak-anak [Israel] dan membunuh mereka, adalah pengetahuan bahwa saudara perempuan atau ibu mereka akan diperkosa,” katanya.
Meskipun sulit untuk memberikan statistik yang akurat mengenai pemerkosaan terhadap perempuan Palestina, mengingat betapa sensitifnya isu ini, dikutip dari Mondoweiss ada beberapa laporan rinci dari para perempuan Palestina. Mereka di antaranya adalah tahanan yang dibebaskan yang telah mendokumentasikan pemerkosaan dan penyiksaan seksual yang disengaja terhadap mereka.
Tahanan Palestina yang dibebaskan Rasmea Odeh, berbicara secara terbuka di pengadilan Amerika tentang bagaimana dia diperkosa oleh interogator intelijen Israel. Odeh, yang ditangkap pada 1969 pada usia 19 tahun, melaporkan selama interogasinya, disiksa secara seksual dengan disetrum. Alat kelamin, payudara, perut, lengan, dan kakinya diikat dengan kawat, dan dalam keadaan bingung, dia diperkosa dengan tongkat, sementara ayahnya dipaksa menonton.
Kesaksian tahanan Palestina lainnya yang telah dibebaskan Aisha Odeh, menceritakan kekerasan seksual brutal yang dialaminya saat dipenjara. Dalam wawancara dengan jurnalis Inggris Arthur Neslen dan dalam memoarnya yang berbahasa Arab, Dreams of Freedom, ia kerap dihina dan menerima kekerasan seksual oleh para interogator.
Asumsi Zionis sendiri di sisi lain, membingkai “budaya Arab” sebagai sesuatu yang terbelakang, misoginis, dan berakar pada gagasan tentang kehormatan keluarga. Sehingga, menjadikan perempuan sebagai sasaran pencegahan, dan sebagai sarana untuk menghancurkan keinginan masyarakat Palestina untuk melawan. Lebih penting lagi, logika tersebut telah menjadikan penduduk Palestina sebagai liyan, sehingga dapat diperkosa dan diperlakukan semena-mena.
Baca juga: Mei 1998 yang Mengubah Saya
Palestina adalah Isu Feminis
Angela Davis, profesor dan aktivis politik Amerika pernah mengatakan dalam wawancaranya dengan jurnalis Perancis Frank Barat, sampai kini kita masih dihadapkan pada tantangan rumit terkait ras, kelas, gender, seksualitas, dan bangsa. Sayang, banyak dari kita masih belum mampu memahami semua hal ini berhubungan satu sama lain.
Berbicara tentang rasisme contohnya, menurut Davis tak pernah bisa dipahami dalam satu lensa saja. Dalam rasisme pasti ada diskriminasi dan kekerasan berbasis kelas, gender, seksualitas, dan bangsa. Buat para feminis, inilah yang disebut sebagai interseksionalitas. Feminisme interseksionalitas beririsan dengan sistem serangan yang menghadirkan pengalaman ketertindasan.
Menggunakan lensa feminisme interseksional juga berarti mengenali konteks historis yang melingkupi isu. Sejarah panjang kekerasan dan diskriminasi sistematis telah menciptakan ketidaksetaraan mendalam yang merugikan bagi sebagian orang atau kelompok. Ketidaksetaraan ini saling bersinggungan satu sama lain, menghalangi hak-hak dan kesempatan yang sama bagi masyarakat, terutama bagi kelompok perempuan. Dampaknya pun meluas hingga lintas generasi.
Hal ini menunjukkan kepada kita, memperjuangkan kesetaraan tidak hanya berarti membalikkan ketidakadilan gender, tetapi juga membasmi semua bentuk penindasan. Dengan interseksionalitas, kita membayangkan dan menciptakan kembali sebuah dunia yang bebas dari sistem eksploitasi gender, ras, dan ekonomi yang menghilangkan hak hidup warga Palestina.
Davis sendiri bilang, memahami rasisme di Amerika Serikat dan penindasan Israel terhadap warga Palestina adalah proses feminis. Ini karena kita tengah bersolidaritas, mempertanyakan struktur kekuasaan, dan berbicara menentang akar penyebab ketidaksetaraan. Seperti apa yang dikatakan aktivis Amerika Serikat Fannie Lou Hamer: “Tidak ada yang benar-benar bebas sampai semua orang bebas.”