‘Victim Blaming’ dalam Femisida Anak Anggota DPR: Bahkan Perempuan Mati Masih Disalahkan
Budaya menyalahkan korban dalam kasus pembunuhan yang dilakukan anak anggota DPR, jadi sorotan. Pelaku ‘victim blaming’ justru kebanyakan adalah wartawan.
Peringatan pemicu: Penggambaran adegan kekerasan.
Pada (4/10) lalu viral rekaman closed circuit television (CCTV) yang memperlihatkan perempuan yang dianiaya laki-laki. Usut punya usut, ternyata laki-laki tersebut adalah GR, anak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Kebangkitan Bangsa. Ia diduga menyiksa sang pacar DSA hingga tewas.
Dilansir dari CNN Indonesia, sebelum pembunuhan terjadi, mereka berdua sempat makan malam hingga diundang teman GR untuk datang ke tempat hiburan malam setempat. Di sana beberapa kali GR melakukan tindak kekerasan. Ia menendang DSA hingga korban jatuh dan terduduk. Ia juga memukul kepala korban dengan botol minuman keras sebanyak dua kali. Setibanya di parkiran mobil, korban digilas oleh mobil pelaku hingga terseret sejauh lima meter.
Polisi menduga adanya pertengkaran sebelum terjadi peristiwa pembunuhan tersebut. Namun sampai sekarang belum diketahui apa pemicunya.
Femisida
Meski terlihat seperti kasus pembunuhan biasa, nyatanya kasus penyiksaan hingga berujung pada kematian DSA termasuk dalam bentuk femisida. Komisioner Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Siti Aminah Tardi kepada Magdalene mengatakan, femisida adalah puncak dari kekerasan terhadap perempuan yang disebabkan oleh ketidakadilan gender.
Femisida kebanyakan dilakukan oleh orang terdekat, seperti pacar, pasangan hidup, atau mantan suami. Bahkan anggota keluarga seperti ayah, kakak atau adik laki-laki, sepupu laki-laki dan paman bisa menjadi pelakunya.
Baca juga: Komnas Perempuan: Kasus Kekerasan NWR adalah Femisida
Tak hanya itu kasus ini juga masuk ke dalam kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) atau dating violence. Laporan Komnas Perempuan mengungkapkan, dari 2015 hingga 2020 termasuk kekerasaan ranah privat.
Femisida ini sebenarnya bukan kali pertama terjadi. Dua tahun lalu, kita dihebohkan dengan kasus kematian NWR, mahasiswa Universitas Brawijaya. Perempuan tersebut ditemukan meninggal dunia di makam sang ayah setelah diduga mengonsumsi racun. NWR sendiri mengakhiri hidup karena menjadi korban kekerasan sang pacar yang seorang anggota kepolisian. Ia dipaksa melakukan aborsi sebanyak dua kali dengan meminum pil kontrasepsi dan jamu penggugur kandungan. Namun NWR menolaknya.
Ia sempat meminta agar hubungan mereka bisa menikah, tapi orang tua pihak laki-laki menolak karena beralasan akan mengganggu karier kepolisian anaknya. Akibatnya, NWR merasa tak berdaya karena mesti menanggung masalah ini sendiri dan berakhir memutuskan untuk menyakiti diri sendiri.
Budaya Victim Blaming dalam Femisida
Ketika kasus ini mencuat ke publik dan banyak menyebar di media sosial, netizen ikut menyampaikan rasa duka dan simpati kepada korban. Beberapa komentar yang dilayangkan mayoritas menyayangkan kenapa hal ini bisa terjadi lagi.
Namun, saat orang-orang bersimpati pada kasus ini, masih ada saja yang justru menyalahkan korban karena berpacaran dengan sang pelaku. Fenomena ini dinamakan sebagai victim blaming dalam femisida.
“Itulah kalo perempuan enggak ada harga diri. Jadilah perempuan terhormat semoga kita dikumpulkan dengan orang-orang yang soleh dan soleha. Dan lakiknya kok kaya idiot gitu gak sih, cara bicaranya juga manja banget, mau-mau aja ya itu cewe dipacarin orang kayak gitu. Upss mungkin dompetnya ya yang tebel.”
Di atas adalah sepenggal komentar yang terdapat dalam postingan salah satu akun gosip Indonesia. Hal ini menjadi penanda, orang masih gemar menyalahkan korban, seolah penderitaan itu muncul lantaran kesalahan ia dalam mengambil keputusan.
Pertanyaannya, bagaimana menghentikan budaya victim blaming? Setidaknya, ada sejumlah hal yang bisa dilakukan, mengutip dari 16 Days The Pixels Project. Misalnya, percaya pada korban, sampaikan komentar dan pernyataan dengan tepat, pastikan pelaku tak punya ruang untuk menyalahkan korban, call-out orang-orang yang berkomentar tak simpati pada korban, terakhir awasi media yang membuat berita dengan memojokkan korban kekerasan seksual dan femisida.
Baca juga: Bagaimana Akhiri ‘Victim Blaming’? Jadikan Kekerasan Seksual Masalah Sosial
Mengritik Media yang Mengobjektifikasi Korban
Menariknya, banyak pemberitaan media yang justru sibuk menyalahkan korban. Itu tampak dalam sejumlah judul. Di antaranya, “Janda Muda Ditemukan Tewas di Jakarta”, “Janda Muda Sukabumi Diduga Dibunuh Anak Anggota DPR”, “Motif Anak Anggota DPR Bunuh Janda Beranak Satu”, “Janda Muda Tewas Dianiaya”, dan “Janda Cantik Asal Sukabumi Disiksa Hingga Mati oleh Anak Anggota DPR”.
Ini adalah sebagian pernyataan yang dibuat oleh beberapa media Indonesia ketika menggambarkan kasus femisida DSA. Hal ini perlu menjadi sorotan karena sering kali perempuan janda masih diseksualisasi.
Ini senada dengan pendapat Purnama Ayu Rizky, Redaktur Pelaksana Magdalene di artikelnya, bahwa media kerap membingkai janda secara negatif. Penyebabnya, perempuan di mata media yang patriarkal masih dilihat sebatas objek dagangan alias pendulang klik. Sehingga, semakin bombastis dan sensual penggambaran mereka di berita, semakin banyak orang yang tertarik membaca.
Baca juga: Femisida: Perempuan-perempuan yang Dibunuh Karena Gendernya
Karena itulah, butuh keberanian untuk mengritik media agar melihat persoalan dengan lebih manusiawi dan mengedepankan perspektif gender. Masih dikutip dari tulisan yang sama, hal ini dilakukan dengan menuliskan judul dan isi berita tanpa memicu persepsi negatif terhadap janda. Lalu memaksa seluruh media menggunakan kata janda dalam tendensi positif jika tak bisa menggantinya dengan frasa perempuan kepala keluarga. Terakhir, mendorong media untuk lebih adil gender dan tak membuat stigma janda makin subur.