Issues Opini

Ridwan Kamil dan Perkara Jejak Digital: Apa yang Bisa Ortu Pelajari dari ini?

Jejak digital bisa menjadi beban sekaligus aset di masa depan. Karena itu, penting mengajari anak-anak membangun jejak digital positif.

Avatar
  • September 3, 2024
  • 5 min read
  • 927 Views
Ridwan Kamil dan Perkara Jejak Digital: Apa yang Bisa Ortu Pelajari dari ini?

Belakangan warganet ramai-ramai “menguliti” jejak digital sejumlah politisi, termasuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta Ridwan Kamil (RK)-Pramono Anung. Beberapa cuitan dua politisi ini di X dinilai seksis dan misoginis. Misalnya cuitan RK yang merendahkan dan mengobjektivitasi tubuh perempuan pada 1 April 2011, “Tips Bank: Sblm buka rek, lihat ukuran lingkar dada customer service anda. Kl terlalu besar, curigai. Segera pindah ke Bank lain. #MD.” 

Pun, cuitan Pramono Anung pada 8 Oktober 2011 yang berbunyi, “Cewek berbaju seksi itu aneh, dilihatin dibilang kita kurang ajar, kalau kita cuekin, dibilang kita homo #Nyantai ah,” dan 12 November 2010, “Kesamaan LOKET dan T*KET.. Kalau pengen tahu sama2 DIINTIP..#nyantai ah.”

 

 

Jejak Digital: Pisau Bermata Dua

Belajar dari kasus RK dan Pramono Anung, jejak digital bisa saja merugikan ketika konten-konten lama bernuansa negatif. Karena itulah, sebagai orang tua, ketimbang hanya mengajarkan anak-anak mengenai keamanan internet dan mengurangi jejak digital, harusnya juga mendorong untuk mengelola jejak digital positif. Pasalnya, mengelola jejak digital positif nantinya akan menjadi aset bagi mereka di masa depan.

Anak-anak zaman sekarang adalah pengguna internet yang produktif. Orang-orang semakin mencemaskan dampak jejak digital di masa depan yang sedang mereka buat sekarang. Sementara banyak diskusi soal ini fokus pada menjaga anak-anak tetap aman, hanya sedikit yang diketahui tentang bagaimana anak-anak mengelola jejak digital mereka.

Meski jejak digital dianggap sebagai beban, bila dikelola dengan baik, bisa menjadi aset. Jejak digital bisa menunjukkan identitas, keterampilan, dan minat. Ini penting dalam era di mana perusahaan “meng-google” pelamar untuk memeriksa identitas mereka dan memverifikasi kesesuaian data mereka. Dalam konteks ini, tidak memiliki jejak digital bisa sama tidak menguntungkannya dengan jejak digital yang dikelola dengan buruk.

Proyek “Best Footprint Forward” menyelidiki apa yang anak-anak ketahui soal jejak digital. Dalam proyek ini, dibentuk focus group yang terdiri dari 33 anak berusia 10-12 tahun dari tiga sekolah di daerah New South Wales. Analisis pada focus group mengungkapkan, anak-anak memiliki strategi untuk tetap aman dalam jaringan, tapi mereka memerlukan pedoman lebih jauh tentang bagaimana membangun jejak digital yang positif.

Baca juga: Literasi Digital Penting Diterapkan sejak Sekolah Dasar

Apa yang Anak-anak Ketahui dan Lakukan soal Jejak Digital

Proyek ini menemukan, meski anak-anak menggunakan internet untuk berbagai tujuan (misalnya mengerjakan PR, bermain, menonton video), aktivitas daring yang paling populer adalah berkomunikasi dengan teman.

Anak-anak tahu bahwa jejak digital itu:

  1. Apa yang kamu taruh di jaringan akan tetap berada di sana
  2. Orang bisa menemukanmu bila kamu meninggalkan informasi yang mengidentifikasi, seperti alamat atau nama lengkap
  3. Bos akan memeriksa media sosialmu.

Mereka membicarakan soal keamanan kata sandi, jangan menempatkan detail pribadi daring (seperti nama, alamat dan tanggal lahir mereka), memblok orang yang mengganggu mereka, mendapatkan saran dari orang tua, tidak mengklik sesuatu yang bodoh, dan tidak mengunggah foto wajah mereka. Mereka menunjukkan kesadaran akan kemungkinan konsekuensi dari tindakan mereka.

Implikasi dari kesadaran jejak digital membuat mereka mencoba meminimalkan tindakan-tindakan tersebut, atau dengan kata lain mencoba tidak terlihat secara daring. 

Mereka utamanya berkomunikasi dengan satu sama lain melalui Instagram, menggunakannya sebagai layanan pesan. Semuanya kecuali satu anak, mengatur akun mereka privat, dan mengunggah foto yang sangat sedikit. Mereka menggunakannya hanya untuk berbicara.

Meski anak-anak dalam studi ini memiliki tingkat kesadaran jejak digital yang tinggi, mereka hanya menyadarinya sebagai liabilitas. Respons mereka tidak meliputi diskusi apa pun tentang manfaat yang ditawarkan oleh jejak digital. Penggunaan Instagram mereka sebagai layanan pesan menunjukkan pendekatan yang cerdas dan pragmatis terhadap masalah ini, seperti yang dikatakan oleh seorang anak perempuan dalam studi, “Internet selalu menyimpannya”.

Baca juga: Ketimpangan Digital di Indonesia Pengaruhi Kemampuan Orang Bertahan Saat Pandemi

Cara Mengajarkan Anak soal Jejak Digital yang Positif

Anak-anak bisa diajarkan untuk mengkurasi kehadiran daring mereka. Mereka bisa diajarkan secara eksplisit bahwa tidak semua yang mereka lakukan daring perlu disembunyikan. Kurasi adalah soal mengetahui apa yang perlu ditampilkan di publik, dan apa yang harus tetap pribadi.

Sementara ini, sudah banyak yang tahu tindakan yang tepat adalah menyimpan percakapan dengan teman dari publik. Tetapi anak-anak juga harus diajarkan bahwa artefak digital yang menunjukkan minat, pencapaian, dan keterampilan mereka bisa bersifat publik dan bisa dikenali. Proyek sekolah, penghargaan, potongan tulisan, dan karya seni digital adalah contoh hal yang baik untuk ditampilkan.

Mengajari anak-anak untuk mengkurasi pencapaian mereka, keterampilan, dan beberapa aspek dari identitas digital mereka akan membantu mereka bersiap untuk kebebasan daring yang lebih luas, yang akan datang seiring dengan periode sekolah menengah.

Kapan Edukasi Jejak Digital Positif Sebaiknya Dimulai?

Ada empat alasan mengapa dua tahun terakhir sekolah dasar akan menjadi waktu yang ideal untuk mulai mengajari anak tentang jejak digital positif:

  1. Mereka kekurangan informasi mengenai hal ini dan tidak sadar bahwa jejak digital bisa menjadi aset positif untuk masa depan mereka.
  2. Anak-anak pada usia ini sedang bertransisi dari yang tadinya dominan main game dan menonton video ke penggunaan internet dan media sosial yang lebih kreatif dan menghasilkan karya.
  3. Gaya pengasuhan yang berbeda berarti tidak semua anak akan mendapatkan informasi ini di rumah.
  4. Kekuatan dari pesan keamanan siber yang mereka dapatkan dari sekolah menunjukkan bahwa pengetahuan ini bisa dibangun sehingga anak-anak diberikan pilihan tentang aktivitas daring mana yang sebaiknya tetap tidak terlihat, dan mana yang akan menguntungkan bila ditampilkan.

Ketika ditanya apa yang ingin kamu ketahui tentang internet, seorang anak perempuan di studi ini bertanya, “Bagaimana internet bisa mengubah masa depan kamu?”

Ini tepat kena ke jantung masalah. Jejak digital bisa menjadi aset atau beban untuk anak-anak. Membangun pengetahuan dengan memberi mereka pedoman untuk mengkurasi kehadiran daring yang positif bisa sangat membantu mereka membentuk masa depan mereka sendiri.

Rachel Buchanan adalah Senior Lecturer in Education, University of Newcastle.

Artikel ini telah diperbarui pada 3 September 2024 di bagian pengantar paragraf 1-2 untuk tujuan pendidikan publik.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Rachel Buchanan