Sindikasi Bentuk Tim Pencari Fakta Eksternal untuk Kekerasan Seksual Internal
Sindikasi membentuk tim independen pencari fakta dari lembaga eksternal untuk memecahkan kasus kekerasan seksual internal.
Menyusul viralnya dugaan kekerasan seksual yang terjadi di dalam Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), organisasi ini membentuk tim independen pencari fakta untuk menyelesaikan kasus ini secara independen.
Tim ini terdiri dari para individu eksternal yang mewakili berbagai lembaga dan akan bekerja selama Agustus-September 2020. Salah satu anggota tim, Azriana Manalu, yang juga mantan Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), mengatakan tim ini akan melakukan investigasi dan menelusuri kembali fakta-fakta yang sudah ditemukan tim pencari fakta internal pada tahun 2018.
“Hal ini akan dilakukan secara menyeluruh, kami akan menggali lebih dalam fakta-fakta yang mungkin terlewat pada proses yang dilakukan oleh tim pencari fakta internal di tahun 2018,” ujar Azriana dalam konferensi pers yang diadakan Sindikasi, Sabtu (15/8).
Selain mengajak Azriana, Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) Sindikasi juga meminta bantuan Asfinawati dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Uly Pangaribuan dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), dan Nenden Sekar Rum dari SAFEnet, organisasi yang berfokus pada kebebasan berekspresi.
Langkah ini dilakukan sebagai upaya lanjutan setelah akun Twitter @Dianratti melemparkan tuduhan melindungi pemerkosa kepada Sindikasi. Dalam cuitan tanggal 21 Juli 2020, Dian mengatakan bahwa sudah sejak 2018 kasus pemerkosaan yang ia alami terbengkalai tanpa ada penyelesaian. Pihak tertuduh dalam kasus ini adalah anggota Sindikasi bernama Nadi Tirta Pradesha (Esha). Pada 21 Oktober 2018, tulisnya, dengan bantuan seseorang, Dian mengirimkan surel tanpa nama ke mitra Sindikasi, bahwa Sindikasi dan Ellena Ekarahendy sebagai ketua lembaga tersebut, sekaligus pasangan Esha, telah melindungi tertuduh.
Baca juga: Pentingnya Organisasi Miliki SOP untuk Tangani Kekerasan Seksual
Azriana mengatakan, proses investigasi yang dilakukan timnya akan mengedepankan keamanan dan anonimitas korban. Setiap informasi yang disampaikan kepada tim dan semua laporan yang masuk akan menjadi dasar tim pencari fakta dalam proses investigasi, ujarnya.
“Jadi tidak ada keharusan menyebutkan atau menyampaikan identitasnya, meskipun anonim. Investigasi dan penggalian informasi ini akan dilakukan dengan berbagai cara, untuk menjaga keamanan dan kerahasiaan korban,” ujar Azriana.
Menanggapi pertanyaan soal apakah twit-twit yang dilontarkan @Dianratti valid, Nenden Sekar dari SAFEnet mengatakan bahwa pihaknya akan menjangkau akun tersebut.
“Karena segala laporan dan twit yang ada di dalam akun tersebut juga menjadi dasar bagi kami untuk menjalankan investigasi, jadi bukan dianggap tidak valid,” kata Nenden.
Azriana mengatakan tim pencari fakta akan membuat lingkar dukungan bersama dengan kelompok gerakan perempuan agar korban merasa aman.
“Untuk siapa pun orang yang mengalami hal ini, kami ingin menyampaikan bahwa dia didukung. Apa yang dia sampaikan kami hargai sebagai sebuah kebenaran dan dia tidak perlu merasa khawatir disalahkan, karena kita tahu tidak mudah bagi korban untuk bersuara,” tambahnya.
Beban kepada korban
Asfinawati dari YLBHI mengatakan, memang banyak proses penanganan kasus kekerasan lingkungan itu sering kali membebani korban, dan korban yang dituntut harus bercerita dan harus membuktikan kasusnya. Dari segi hukum hal ini sudah menyalahi aturan, ujarnya, sehingga banyak kasus tidak selesai dan korban mengalami reviktimisasi .
“Karenanya, pendekatan kami tidak akan memberikan beban tersebut. Dalam hukum pun, korban itu tidak perlu datang secara fisik, dia bisa menceritakan tanpa perlu hadir, dan cerita itu bisa diverifikasi dengan berbagai metode,” ujar Asfinawati dalam konferensi pers yang sama.
Baca juga: Saatnya Aktivis Benahi Isu Kekerasan Seksual dalam Gerakan Sendiri
Dalam praktiknya, Asfinawati mengatakan, memang ada ketimpangan hukum dalam kasus kekerasan seksual. Seharusnya, ujarnya, mengacu pada Undang-Undang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), pernyataan saksi dan pelapor itu valid, namun ini tidak berlaku pada kasus kekerasan seksual.
“Misalnya, dalam kasus korupsi, kita tidak pernah melihat korbannya, dan bahkan korban tidak dipedulikan, mereka fokus pada saksi dan pelapor. Tetapi treatment-nya berbeda ketika kasus kekerasan seksual. Korban yang diberatkan untuk memberikan bukti,” ujar Asfina
Asfina juga menambahkan seharusnya, walaupun bukan korban, pernyataan yang diberikan oleh pelapor atau saksi dalam kasus kekerasan seksual valid secara hukum. Hal ini juga karena kasus kekerasan seksual menyerang integritas tubuh dan stigma, sehingga penting untuk menjaga privasi korban, ujarnya.
Respons Sindikasi terkait berbagai pemberitaan
Anggota MPO, jurnalis Luviana mengatakan, proses investigasi sebelumnya pada 2018 telah menanyakan kepada Esha dan Ellena sebagai pihak tertuduh, dan mereka mengatakan tidak tahu menahu soal ini.
“Perihal pernyataan Dian Ratti bahwa dia sudah melaporkan kasusnya pada proses penyelidikan sebelumnya, kami akan menyerahkan investigasi lebih lanjut ke TIPF,” ujar Luviana dalam konferensi pers tersebut.
Dalam tanggapan lanjutan yang diberikan kepada Magdalene, Rabu (19/8), Luviana mengatakan, seperti pada umumnya penanganan kekerasan seksual, mereka menempuh tiga cara untuk menginvestigasi kasus ini pada 2018. Pertama, mereka menunggu korban melapor secara langsung. Kedua, mereka aktif melakukan pencarian korban dengan menggali keterangan dari berbagai pihak; dan ketiga, Sindikasi juga mencoba menjangkau korban melalui kanal aduan yang disebar di media sosial.
Kasus korupsi tidak pernah membebani korban, hanya fokus pada saksi dan pelapor. Tetapi dalam kasus kekerasan seksual, korban yang diberatkan untuk memberikan bukti.
“Cara pertama ternyata belum efektif karena hingga kasus diputuskan Februari 2019, korban belum datang langsung kepada kami. Setelah itu kami menemui beberapa pihak terkait, kemungkinan adanya saksi-saksi, namun hingga empat bulan masih belum ada titik temu keberadaan korban,” ujar Luviana.
Kanal pengaduan pun kata Luviana, ternyata juga belum efektif menjangkau korban, namun ia menegaskan Sindikasi tidak pernah menutup kasus ini. Salah satu butir putusan MPO SINDIKASI pada Februari 2019 menyatakan, “Apabila setelah keputusan ini ditetapkan dan tuduhan kepada Nadi Tirta Pradesha yang disebut dalam surel menemukan celah pembuktian, maka organisasi akan melakukan pemeriksaan dan penindakan kembali.”
“Untuk itu, kami meminta maaf kepada korban karena belum bisa menjangkau korban. Maka ketika akun @Dian Ratti mencuit tentang kasus ini kami pun memutuskan penelusuran dilanjutkan dengan meminta bantuan pihak eksternal yang kompeten agar dapat menyelesaikan kasus ini,” kata Luviana.
Ia menambahkan, Sindikasi memahami bahwa setiap korban membutuhkan waktu untuk berbicara. Maka besar harapan Sindikasi, korban dapat berbicara kepada tim pencari fakta agar keadilan dapat segera ditegakkan, ujarnya.
Menanggapi artikel Magdalene soal pentingnya standar prosedur operasi standar (SOP), Pelaksana Tugas Ketua Harian Sindikasi, Ikhsan Raharjo mengatakan, Sindikasi membuat SOP baru setelah kasus dugaan pemerkosaan pada tahun 2018 mencuat. Hal ini karena pada 2018, Sindikasi masih berusia satu tahun dengan jumlah anggota 100 orang, dengan fokus advokasi kesehatan mental di dunia kerja dan perlindungan hak pekerja lepas.
Baca juga: Sebagai Penyintas, Ini yang Saya Pelajari dari Kasus Sindikasi
“Sementara untuk isu kekerasan seksual, kami masih dalam proses belajar dan mendalaminya dari berbagai pihak. Akan tetapi, ketika kasus kekerasan seksual ini muncul di penghujung 2018, kami langsung merancang SOP penanganan kekerasan seksual dan juga melaksanakan pendidikan internal terkait anti kekerasan seksual,” ujar Ikhsan pada Magdalene, Rabu(19/8).
Namun ia mengakui, SOP dan pendidikan internal ini masih belum ideal dan perlu dibenahi lagi. Dengan sisa waktu kepengurusan yang tinggal beberapa bulan, Sindikasi akan membuat SOP yang jauh lebih komprehensif bukan saja untuk menangani kasus, tapi juga mencegah terjadinya kekerasan seksual di internal organisasi maupun lingkungan kerja, ujarnya.
Ikhsan mengatakan saat ini pengurus harian, anggota, dan MPO akan bersama-sama merancang tiga dokumen yaitu, kode etik, SOP pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, serta kurikulum pendidikan internal yang juga mencakup isu kekerasan seksual.
“Ketiganya akan menjadi dokumen yang disahkan pada Kongres SINDIKASI awal tahun 2021. Kali ini kami punya dukungan besar dari lembaga dan orang-orang yang kompeten di isu anti kekerasan seksual untuk merancang itu semua,” ujar Ikhsan.
Asfinawati dari YLBHI mengatakan, tim pencari fakta akan membuat rekomendasi-rekomendasi keorganisasian terkait dengan penanganan dan pencegahan kasus kekerasan seksual.
“Rekomendasi ini nantinya bukan hanya untuk pembelajaran organisasi Sindikasi tetapi semua organisasi lain dan juga untuk pembelajaran publik juga. Jadi kita sama-sama belajar,” ujarnya.
Jika korban, pendamping, saksi, atau siapa saja yang mengetahui kasus ini ingin melapor, dapat menghubungi Hotline LBH APIK ( +6281388822669 ), SAFEnet (+628119223375), e-mail [email protected], atau dengan menghubungi para anggota tim pencari fakta secara personal.