Tentang Romi dan Yuli, Dosa, dan Pak Samin
Dua puisi dan satu fiksi mini yang menyentuh hati.
Analisa
Kita duduk dekat sekali
Serapat Romi dan Yuli
Supaya ini terang
Sekelumit maksudku,
cerebrum disederhanakan
Aku selesai
Berhenti,
menunggu reaksimu
Hasilnya..
Sebuah bola mata dan bibir penuh
Detail di kertas itu,
sesuatu yang lebih mudah kau pahami
Aku mengerti,
pikiran mungkin lapuk,
hanya daya rangsang tak mudah usang
Ini sia-sia
Sial!
Kau buang-buang waktuku
Selatan, 23/1/2018
Kau Berdosa
Aku percaya…. ucapnya lirih,
Kau sudah berdosa atas langit dan bumi pada mereka,
mencuri sosoknya lewat pelupuk matamu,
mencium senyumnya dalam khayalan harian,
menghadirkan wajahnya di sudut kesunyian malam,
dalam awangmu kau genggam jemarinya,
meremas anak-anak rambutnya begitu kasarnya,
menariknya hingga berpindah tangan di jemarimu
Demi segala sesuatu yang ada dan tiada,
atas perampasan jiwa mereka dalam alam pikirmu,
kau telah menggodanya, ular! Penista alam semesta,
melumat aura, memantrai di ujung lidahnya,
kau bisikan namanya di antara nafas lenguh dan kata ‘ayang’
menghisap denyut nadi dan menggerayangi aliran darahnya,
menghirup nafas masa lalu dan masa depannya,
kau rajai tubuhnya dalam mimpi-mimpi liarmu
Aku percaya…. ucapnya lirih,
Kau berdosa, kau sungguh berdosa!
Oleh sebab itu mohonkanlah segala ampun,
atas dosa indrawi yang kau biarkan terbungkus waktu,
atas gairah terjalin rapi diikat pita warna merah hati
Saat raga telah lelah – penuh peluh, ingin rebah, tanpa sisa
kau tengadah demi pengampunan agar kudus kembali?
Sungguhlah, kau sudah berbuat dosa
Mintalah pengampunan, agar jangan berbuat dosa lagi!
Si gadis keluar dari bilik ruang pengampunan dosa, mata lelaki paruh baya nan teduh, pejantan terakhir yang baru ditemuinya membuat jantungnya berdegup kencang tanpa ampun, ia sadar dan bertanya-tanya, apakah ia baru saja berbuat dosa lagi?
7 Februari 2019
Pak Samin (fiksi mini)
Pagi itu sekitar pukul 8.15, tidak seperti biasanya, Pak Samin ikut dalam antrean para pegawai yang menunggu lift di lantai satu gedung bertingkat 14. Sesaat setelah pintu lift ditutup, masing-masing pegawai menekan tombol sesuai lantai kantor mereka berada. Tiga, lima, delapan, sembilan, 11, dan 14. Cepat-cepat Pak Samin menekan tombol lantai lift yang belum dipilih, dua, enam tujuh, 10, 12 dan 13. Beberapa pegawai menatapnya penuh heran, sebagian berpandang-pandangan satu dengan yang lain, tetapi tidak seorang pun yang mengucapkan sepatah kata atas apa yang ia lakukan.
Laki-laki berusia hampir 50 tahun itu bekerja sebagai petugas sekuriti lantai dasar sejak sembilan tahun yang lalu. Posnya berada di pintu gerbang belakang dekat tempat parkir motor gedung. Pak Samin keluar dengan segera dan tertunduk persis ketika pintu lift terbuka di lantai dua.
“Kampungan, enggak pernah naik lift!”
“Ngapain sih tuh sekuriti!?! Kurang kerjaan!”
“Dia yang pencet?”
“Iya, emang lu enggak lihat tadi? Aneh.”
“Enggak ngerti orang buru-buru.” Mereka mulai menggerutu baik yang sendiri, rekan satu kantor atau celetukan sesama orang asing.
Seorang laki-laki perlente yang sejak masuk lift sudah menggunakan bluetooth handsfree, segera keluar saat lift berhenti di lantai tiga, ia mendengus kesal. Sepertinya dia yang menekan tombol 14. Ada juga pegawai yang tersenyum-senyum menunggu giliran sampai di lantainya.
“Piye, Pak? Uwis?” terdengar suara cempreng perempuan berumur dua puluhan tahun dari seberang saluran ponsel. “Bapak bertahan sampai lantai piro?”
“Piye, piye! Bapak ya malu! Lantai dua langsung keluar saja!” jawabnya. “Sudah jangan aneh-aneh mintanya!”
“Ish gitu aja sengit!
Dua hari sejak kejadian itu, di sebuah rumah petak yang disulap menjadi kantor dadakan, kesibukan lain berlangsung.
“Tulis saja satu bulan dari sekarang,” ujarnya sambil menatap serius komputer berlayar cembung yang sedang dioperasikan seorang perempuan muda berhijab.
“Pak Samin karyawan tetap loh, Pak! Terus gima…”
“Iya saya tahu, pihak manajemen gedung sudah setuju untuk membayarkan 70 persen pesangonnya.” Laki-laki yang sepertinya pemilik kantor itu memotong, “Mereka sudah lama menunggu alasan yang tepat buat memberhentikannya.”
“Tapi kenapa tidak kita salurkan ke tempat lain saja, pak?”
“Siapa yang mau ambil orang tua macam dia jadi sekuriti? Zaman sekarang banyak anak muda yang lebih cocok buat keamanan, bisa rugi saya! Lagian katanya adikmu mau jadi sekuriti? Sudah, buat saja suratnya! “
“Iya, tapi ya ampun, kasihan Pak Samin,” katanya sambil berpura-pura merapikan hijabnya untuk menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. “Tapi, Pak, istri Pak Samin kan lagi hamil tua, nanti..”
“Kamu ini! Tapi, tapi! Tahu apa kamu! Itu istri kedua, kita enggak ada urusan!”
4 April 2018