Hoaks Pelecehan Seksual Mahasiswa UNY, Bahayakan Korban dan Gerakan Anti-Kekerasan
Hoaks pelecehan seksual mahasiswa UNY dengan motif sakit hati, berdampak besar bagi korban dan gerakan anti-kekerasan terhadap perempuan.
Mahasiswa baru Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Negeri Yogyakarta berinisial RAN, 19, ditetapkan sebagai tersangka hoaks pelecehan seksual, (13/11). Dikutip dari Liputan6, Direktur Reskrimsus Polda DIY, Kombes Idham Mahdi menuturkan, pengungkapan kasus tersebut bermula dari unggahan akun @UNYmfs di X tentang pelecehan seksual mahasiswa baru oleh salah satu pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tiga hari sebelumnya.
Dalam unggahan yang sama, RAN menyebarkan nomor induk mahasiswa MF yang dinarasikan sebagai pelaku kekerasan seksual. Polisi berupaya mencari korban, namun tidak kunjung menemukan sampai akhirnya melakukan penyelidikan dan memeriksa sejumlah saksi.
Hasilnya diketahui, itu cuma karangan RAN yang ia unggah di akun palsu @AkunSambatUeu dengan tautan email langsung ke akun X tersebut. RAN sendiri mengaku motifnya menyebarkan hoaks pelecehan seksual lantaran ia sakit hati.
“Motifnya adalah sakit hati. Saat itu saudara RAN mendaftar di salah satu komunitas mahasiswa dan dia ditolak, sedangkan saudara MF diterima. Kemudian berlanjut, RAN jadi panitia festival politik FMIPA dia ditegur oleh MF melalui japri WA, sehingga RAN ini sakit hati,” kata Idham dikutip dari sumber yang sama.
Baca juga: Mengenal Definisi Pencabulan, Pelecehan Seksual, dan Pemerkosaan
Kenapa Pelecehan Seksual Jadi Bahan Hoaks?
Tindakan RAN menyebarkan hoaks pelecehan seksual tak luput dapat kecaman masyarakat. Di X, banyak warganet yang enggak habis pikir bagaimana seseorang bisa menggunakan pengalaman traumatis korban nyata dari pelecehan seksual untuk kepentingan pribadi. Lebih penting lagi, kenapa RAN sengaja menggunakan isu pelecehan seksual untuk mencemarkan nama baik seseorang yang ia tak suka?
Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG), kolektif advokatif beranggotakan 14 pengacara dan paralegal dalam akun resmi Instagramnya menjelaskan, kesengajaan menggunakan isu pelecehan seksual bisa ditelusuri dari tren keberpihakan masyarakat pada korban pasca-terbitnya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang terbelah dua.
Tren keberpihakan pertama adalah dengan mendukung penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Tren ini berorientasi pada korban dengan menanyakan apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan mereka, seperti konseling psikologis, layanan kesehatan, serta bantuan hukum.
Tren kedua adalah melakukan cancel culture pada pelaku. Lewat tren ini, masyarakat beramai-ramai membatasi ruang gerak pelaku dengan menyerang individunya langsung. Menurut KAKG, tindakan ini problematik karena meski terlihat membela korban, sebenarnya justru berorientasi pada pelaku yang secara bersamaan tidak mengindahkan kebutuhan korban. Keberpihakan ini biasanya akan berbalik menyerang korban, jika perilakunya dianggap tidak menunjukkan gambaran korban ideal.
Keberpihakan yang problematik inilah yang disalahgunakan RAN dalam menyebarkan berita hoaks untuk mencemarkan nama baik. Tren keberpihakan masyarakat Indonesia yang lebih mengarah pada cancel culture dilihat sebagai “peluang” bagi RAN untuk melancarkan tujuannya.
Sementara itu, Eni Simatupang, anggota kolektif Purple Code dan pendamping di TaskForce KBGO berpendapat, kesengajaan pelaku menggunakan isu pelecehan seksual terjadi karena moralitas selalu menjadi tolok ukur. Khususnya dalam memahami dan menyerap informasi terkait pelecehan atau kekerasan seksual.
“Bahkan korban saja bisa dihakimi karena tolok ukurnya selalu standar moral. Karena moral panic masyarakat sangat besar terhadap isu ini (pelecehan dan kekerasan seksual) maka bisa dibilang untuk menghabisi seseorang, lebih efektif dan lebih besar dampaknya ya dengan memakai isu ini juga,” kata Eni.
Jika bicara soal pelecehan dan kekerasan seksual, imbuh dia, ada memori yang akan terus terpantik. Contohnya, saat ada kasus kekerasan seksual di kampus Y dan kekerasan kembali terulang di masa depan, maka kekerasan sebelumnya akan kembali muncul dalam memori individu maupun kelompok dan bisa jadi bersifat traumatis. Dalam psikologi pernyataan Eni bisa dijelaskan lewat istilah secondary trauma.
Dikutip dari penelitian yang diterbitkan Sage Journal Juni lalu, secondary trauma atau trauma sekunder adalah trauma yang muncul ketika seseorang melalui interaksi, merawat, mendengarkan, atau menyaksikan peristiwa traumatis dari korban serta penyintas.
Biasanya trauma sekunder banyak dialami pendamping atau orang-orang yang bekerja di daerah konflik atau rentan bencana seperti jurnalis atau relawan di pengungsian. Namun, trauma ini juga bisa timbul dari intensitas kita mendengar atau melihat liputan kekerasan seksual dalam berita, media sosial, atau televisi. Inilah yang terjadi pada 81 persen responden penelitian bertajuk Keepers of Trauma: Rape Victim Advocates’ Secondary Traumatic Stress, Burnout, and Coping Techniques itu.
“Jadi memori kita memang dikondisikan saat melihat kekerasan seksual. Dia (pelaku) saya rasa tahu soal kepanikan masyarakat dan jadilah dia mainkan dengan isu ini,” kata Eni.
Baca juga: Kekerasan Seksual Makin Marak di Lingkungan Pesantren: Ini 5 Alternatif Solusi yang Bisa Dilakukan
Berdampak Buruk bagi Korban
Iftitahur Rahmah, pendamping korban yang pernah bekerja di dua lembaga layanan bantuan kekerasan terhadap perempuan bercerita tentang pengalamannya mendampingi korban yang tidak dipercaya pengalaman kekerasannya.
Dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), korban yang ia dampingi, “Puji” tidak dipercaya pernyataannya oleh pihak kepolisian. Saat didampingi melapor, polisi justru mempertanyakan intensi Melati melaporkan suaminya hingga menuduh bahwa kekerasan yang dia alami justru karena salahnya.
“Korban dibilang ‘kegatelan’, ganjen makanya suami cemburu terus melakukan kekerasan. Sudah dibilang begitu, polisi makin menekan korban kenapa masalah rumah tangga seperti ini dibawa-bawa ke ranah hukum,” cerita perempuan yang ramah dipanggil Ita itu.
Hal yang kurang lebih sama juga terjadi para korban KBGO berusia 15 tahun yang ia dampingi. “Anita”, ketika itu jadi korban grooming dan pemerkosaan berulang seorang laki-laki berusia 25 tahun yang ia kenal di Facebook.
Saat didampingi ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) untuk menjalani pendampingan psikologis, korban justru dihakimi. Petugas menurut Ita tidak berperspektif korban, menyalahkan, dan tidak sepenuhnya percaya dengan pengakuan korban.
“Orang-orang di instansi pemerintahan yang fokusnya gender ini sayangnya malah enggak punya pemahaman gender, minimal dia tahu kalau ada korban pasti ada relasi kuasa. Ini enggak paham dan justru dicecar dengan pernyataan kaya ‘Kamu sih begini, harusnya kamu ngelakuin ini,” ungkap Ita.
Sudah dihakimi dan tidak sepenuhnya dipercaya oleh orang-orang yang seharusnya memberikan perlindungan kepadanya, korban juga tak dipercaya oleh masyarakat umum. Sama seperti “Anita”, ia dicap sebagai perempuan “gatel” sehingga kekerasan yang dialami pun diinvalidasi dan otomatis tidak dipercaya. “Mentalnya jadi hancur banget”, kata Ita.
Dengan pengalamannya mendampingi korban inilah Ita pun sangat menyayangkan kasus hoaks pelecehan seksual yang dilakukan RAN. Buat Ita berita hoaks macam ini akan semakin berdampak buruk bagi korban karena hanya akan menebalkan rasa ketidakberpihakan masyarakat pada korban pelecehan dan kekerasan seksual.
“Korban dibuat lebih terpuruk dengan adanya berita hoaks macam ini. Sebelumnya berita hoaks ini saja mereka saja sudah tidak dipercaya, apalagi kalau hoaks ini terus tersebar. Semakin diinvalidasi pengalaman kekerasan mereka,” kata Ita.
Baca juga: Pelecehan Seksual Kian Marak, Termasuk dalam Situasi WFH
Eni menambahkan berita hoaks ini juga berpengaruh besar pada gerakan anti kekerasan terhadap perempuan. Pemerintah dan gerakan masyarakat sipil dalam beberapa tahun terakhir sudah berjuang keras melakukan sosialisasi untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat soal pelecehan dan kekerasan seksual.
UU TPKS dan Peraturan Mendikbud Ristek (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 adalah dua contoh tonggak pencapaian penting dari usaha kolektif ini. Namun, dengan adanya berita hoaks, Eni khawatir, bakal melemahkan gerakan anti kekerasan terhadap perempuan.
“Ini melemahkan gerakan karena bisa membalikkan pola pikir masyarakat yang sudah kita dekonstruksi terkait pelecehan dan kekerasan seksual. Kebayang enggak kalau udah ada hoaks ini nantinya masyarakat balik lagi dengan pola pikir ‘Ah beneran enggak nih, cuma bohongan doang kali’. Ini cukup meresahkan karena semenjak ada UU TPKS saja APH masih berproses,” ucapnya.
Dalam konteks kampus, imbuh dia, berita hoaks ini juga akan mempersulit korban mendapatkan hak pemulihan serta keadilan. Lebih lanjut, Eni bilang belum semua pendamping korban di satuan gugusan tugas (satgas) penanganan pelecehan dan kekerasan seksual universitas-universitas punya pemahaman keberpihakan pada korban.
“Mereka juga masih ada yang belajar. Dalam proses belajarnya ini kalau tiba-tiba dia tau ada kasus berita hoaks pelecehan seksual kaya gini bisa jadi pola pikir lawas (menyalahkan korban dahulu dan menginvalidasi mereka) bakal balik lagi,” sambung Eni.
Namun, di tengah runyamnya situasi ini Eni etap menekankan bahwa salah satu upaya agar berita hoaks ini tak banyak melukai korban dan kerja kolektif gerakan adalah dengan terus percaya pada korban.
“Percaya sama korban sampai terbukti sebaliknya. Karena kepercayaan itu penting kalau enggak percaya, susah untuk kita melangkah ke tahap selanjutnya seperti ke investigasi dan penyidikan kasus,” kata Eni.
Ketika terbukti sebaliknya sekalipun menurut Eni kita punya tugas untuk tetap memvalidasi fakta bahwa pelecehan dan kekerasan itu ada. Kebohongan tidak boleh jadi justifikasi buat kita untuk menginvalidasi ribuan atau bahkan jutaan korban pelecehan dan kekerasan seksual, begitu tutur Eni.