Culture Opini Screen Raves

Melihat Pembungkaman Perempuan lewat Hidup Jeng Yah di ‘Gadis Kretek’

Lewat Jeng Yah, kita bisa bercermin apakah hidup perempuan tahun 60-an dan sekarang sudah banyak berubah?

Avatar
  • November 27, 2023
  • 6 min read
  • 3365 Views
Melihat Pembungkaman Perempuan lewat Hidup Jeng Yah di ‘Gadis Kretek’

Dalam salah satu adegan pada series Netflix, Gadis Kretek, Jeng Yah atau Dasiyah tampak bersitegang dengan PakBoedi, pemasok tembakau untuk pabrik kretek milik Pak Idroes Moeria, ayah Dasiyah. Jeng Yah menuduh Pak Boedi memalsukan tembakau yang ia pasok. Bukannya berusaha meyakinkan Dasiyah, ia malah mengungkit-ungkit kehidupan personal Dasiyah dengan mengatakan bahwa Jeng Yah seharusnya mencari suami saja, daripada mengurusi tembakau.

Pada adegan tersebut, Pak Boedi membungkam Jeng Yah dengan megingatkan bahwa Jeng Yah adalah seorang perempuan, yang perannya hanya pada ranah domestik, sehingga pendapatnya tidak pantas didengar.

 

 

Adegan tersebut adalah salah satu adegan di mana Jeng Yah, sebagai seorang perempuan, adalah anggota dari kelompok yang sering mengalami pembungkaman (muted group) di masyarakat.

Baca Juga: ‘Gadis Kretek’ dan Citra Perempuan Merokok: Melawan atau Sekadar Keren-kerenan?

Muted group: Grup yang Dibungkam Sistem Masyarakat

Muted group theory adalah sebuah sebuah teori yang dikemukakan oleh ahli antropologi Edwin dan Shirley Arderener pada 1975, yang menggambarkan bahwa sistem komunikasi dirancang untuk mengakomodir kelompok yang memiliki posisi lebih dominan di masyarakat, sehingga kelompok yang lebih rentan kesulitan untuk mengekspresikan dirinya. Kelompok yang dominan tersebut juga yang menguasai diskursus utama di masyarakat, sehingga kelompok yang lebih rentan harus beradaptasi dengan diskursus tersebut.

Kelompok rentan dapat berasal dari berbagai kalangan, akan tetapi dalam muted theory yang menjadi sorotan adalah perempuan. Hal tersebut dimulai dari polarisasi gender yang muncul ketika dunia memasuki era Revolusi Industri. Era Revolusi Industri menyebabkan terjadi pembagian kerja yang cukup jelas antara perempuan dan laki-laki, di mana laki-laki berada pada ranah publik, sedangkan perempuan berada pada ranah domestik. Sebelumnya, tidak ada pembagian kerja berdasarkan gender karena umumnya keluarga memperoleh pendapatan dari sumber daya milik mereka, seperti lahan pertanian, peternakan, dan sebagainya.

Berdasarkan asumsi dari MGT, pengalaman hidup seseorang berpengaruh terhadap kemampuan mereka mengekspresikan diri. Seorang perempuan yang sehari-hari lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga tentu memiliki kemampuan artikulasi yang berbeda dengan laki-laki yang menghabiskan waktu selama 8 jam dalam 5 hari setiap minggu di kantor.

Baca Juga: 6 Film Adaptasi Novel Indonesia yang Angkat Isu-isu Sosial

Perempuan Tidak Artikulatif: Efek Hanya Diberikan Ruang pada Ranah Domestik

Peran perempuan yang hanya berkutat pada ranah domestik menyebabkan mereka tidak bisa melihat dirinya sebagai individu yang utuh. Hal tersebut didukung juga pengkondisian yang dilakukan oleh keluarga. Perempuan hanya dipandang sebagai perannya terkait relasinya dengan lingkungan terdekatnya,yaitu sebagai ibu, anak, dan menantu, sehingga mereka terdidik dan terkondisikan untuk patuh dan mengabdi.

Perempuan tidak terbiasa untuk menjadikan diri mereka sendiri sebagai pusat dari  alam semestanya sendiri. Segala tindak lakunya didorong oleh asas untuk menjalankan perannya, bukan atas aspirasinya sendiri. Oleh karena itu, ketika mereka tidak setuju dengan keputusan yang dibuat atas kehidupannya, mereka merasa tidak memiliki kuasa untuk menolak.

Dasiyah digambarkan sebagai perempuan yang progresif dan memiliki cara pandang yang melampaui zamannya. Ia sudah memiliki kesadaran yang kuat akan dirinya sendiri, akan tetapi karena tumbuh pada lingkungan yang patriarkis, ia mengalami kesulitan untuk mengekspresikan diri.

Pertama, mengenai kemampuannya sebagai peracik saus kretek yang andal.

Jeng Yah memiliki ketertarikan yang mendalam dengan proses produksi kretek. Cita-citanya adalah memproduksi kretek dengan saus terbaik yang ia ciptakan.

Akan tetapi, ketertarikan Dasiyah tersebut tidak dapat disalurkan. Di zaman itu hanya laki-laki yang diperbolehkan untuk meracik saus kretek. Perempuan hanya boleh berada pada tahap melinting produk kretek.

Dalam hal ini, bahkan Dasiyah tidak mampu menyampaikan keinginannya untuk meracik saus kretek kepada ayahnya. Ia hanya bisa mencuri-curi pandang ruang saus dari jauh. Lewat bantuan Soeraja, baru ia bisa mencuri-curi kesempatan untuk berada di ruang saus dan meracik saus impiannya.

Saat ketahuan menggunakan ruang saus, Dasiyah dimaki-maki oleh Pak Dibyo, yang mengatakan bahwa kreteknya akan bau asam. Idroes dan Soeraja tidak menyanggah perkataan Pak Dibyo—menandakan bahwa pada masa itu, apa yang dikatakan oleh Pak Dibyo merupakan suatu norma yang dianut oleh masyarakat secara umum.

Bakat Dasiyah dalam mengolah pun produk kretek tidak pernah diapreasiasi. Ayahnya justru mengecilkan bakatnya tersebut.

“ Ya.. bukan sesuatu yang sebenarnya bisa saya banggakan. Ya, seharusnya, sih, selayaknya, Dasiyah ini melakukan pekerjaan yang selayaknya dilakukan perempuan,” kata Pak Idroes saat menjelaskan bakat Dasiyah.

Ayahnya baru memberi Dasiyah kesempatan setelah diyakinkan oleh Soeraja—yang mana adalah seorang laki-laki

Kedua, Jeng Yah tidak bisa menyampaikan penolakan ataupun ketidaksetujuan terhadap keputusan yang dibuat untuk dirinya.

Saat akan dinikahkan dengan Seno, Jeng Yah tidak bisa serta merta menyampaikan penolakannya. Ia bahkan sempat mengikuti segala proses yang dilakukan menuju pernikahan, seperti belajar memasak. Di detik-detik terakhir, Dasiyah baru berani mengungkapkan penolakannya.

Demikian juga saat Soeraja ditunjuk menjadi mandor pabrik. Dasiyah sebenarnya tidak setuju. Akan tetapi, ia tidak terbiasa untuk mengungkapkan ketidaksetujuannya. Ia hanya bisa memberikan signal lewat bahasa tubuh, yang tidak dimengerti oleh ayahnya.

Ketiga, posisi  Dasiyah semakin terbungkam pasca menjadi tahanan politik.

Setelah keluar dari penjara, posisi Dasiyah semakin sulit. Selain ia merupakan anggota dari kelompok yang dibungkam, ia kini juga menjadi kelompok yang diberi label sebagai “musuh negara” atau secara sadar dibuat sebagai pihak yang terpinggirkan. Bagian ini merupakan bagian dari proses silencing dalam MGT, yang disebut dengan ridicule. Ridicule adalah pemberian label tertentu terhadap tindakan yang dilakukan oleh kelompok marginal, sehingga apa yang mereka lakukan menjadi tidak valid.

Apakah Pembungkaman terhadap Perempuan Masih Terjadi Hingga Kini?

Saat ini, perempuan memang sudah diberikan ruang yang lebih luas untuk berkarya di ranah publik. Akan tetapi, pembungkaman masih terjadi, dalam bentuk perlakuan yang tidak kentara. Sebagai contoh, di dunia kerja, banyak perempuan yang mengalami mansplaining saat mengungkapkan pendapat di muka umum, di mana pendapat mereka dikerdilkan. Ada juga perempuan yang mengalami fenomena glass ceiling, di mana mereka kesulitan untuk mendapatkan promosi jabatan, sekalipun kompeten.

Baca Juga: 5 Hal Seputar Peristiwa 1965 yang Sungkan Kamu Tanyakan

Lalu, apa yang perlu dilakukan?

Perempuan perlu berkumpul untuk saling berbagi, sehingga dapat menemukan validasi terhadap pengalaman mereka. Dasiyah digambarkan merasa terisolasi karena memiliki cara pandang yang berbeda dengan orang-orang di sekelilingnya. Ia sulit menemukan teman yang bisa diajak berbagi aspirasinya.

Padahal, pada era itu, sudah muncul pergerakan perempuan yang berfokus pada pemberdayaan perempuan. Akan tetapi, informasi tersebut tidak sampai kepada Dasiyah. Andai waktu itu Jeng Yah bertemu dengan teman yang se-frekuensi, tentu dia tidak akan terjebak dalam percintaan yang rumit dengan Soeraja, hanya karena pria itu adalah satu-satunya yang bisa memahami seorang Jeng Yah.



#waveforequality


Avatar
About Author

Rizkiya Ayu Maulida

Rizkiya Ayu Maulida adalah seorang akademisi di bidang komunikasi. Ia tertarik pada isu keadilan sosial, keseteraan gender dan pengembangan diri. Di luar kegiatan akademisnya, Rizkiya juga merupakan Editor-in-Chief dari Indonesia Mengglobal, sebuah platform yang memberikan informasi untuk pemuda Indonesia berkarya di kancah global.