Culture Screen Raves

‘Legally Blonde The Musical’: Kisah Elle Woods yang Sayang Sekali Masih Relevan

Elle Woods jadi karakter yang populer pada 2001 karena dianggap progresif. Sayang sekali, kisahnya masih relevan hingga hari ini.

Avatar
  • December 11, 2023
  • 3 min read
  • 1142 Views
‘Legally Blonde The Musical’: Kisah Elle Woods yang Sayang Sekali Masih Relevan

Si fashionista dan anggota sorority, Elle Woods diajak pacarnya, Warner Huntington III makan malam mewah. Dia berharap dilamar, tapi malah diminta putus. 

Alasannya, karena Warner ingin masuk kampus hukum terbaik dan jadi pengacara. Menurut pria itu, perempuan macam Elle—yang selalu pakai pakaian berwarna pink, pirang, dan cuma mengerti fashion dan budaya pop—tidak cukup “serius” dan mampu hidup bersamanya.

 

 

Patah hati, Elle justru terpecut untuk giat belajar dan masuk Harvard Law School. Kerja keras itu terbayar, dan untuk sesaat, Legally Blonde terasa seperti romcom tentang perjuangan seseorang yang patah hati untuk merebut kembali cinta kekasih lamanya.

Baca juga: ‘Rent: the Musical’, Cerita di New York yang Relevan di Jakarta

Yang mengejutkan, cerita ini jauh lebih besar dari itu. Ia adalah cerita tentang menemukan diri sendiri; tentang perempuan yang mendobrak dunia dominasi laki-laki; tentang solidaritas para perempuan melawan kekerasan seksual di tempat kerja; sekaligus sindiran pada sistem hukum yang sering kali tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Cerita ini pertama kali terbit dalam bentuk novel, pada 2001, ditulis Amanda Brown. Kisah Elle Woods lalu difilmkan pada tahun dan judul yang sama. Ia meledak hebat, lalu diadaptasi jadi musikal pada 2007, yang juga meledak, dan diadaptasi setidaknya 14 negara lain, termasuk Indonesia.

Jakarta Performance Arts Community (JPAC) mementaskan Legally Blonde di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 24 dan 25 November kemarin. Semua dibawakan dalam bahasa Inggris, lengkap dengan lagu-lagu kenamaan yang populer dari pertunjukan musikal ini. 

Baca juga: ‘Jatuh Cinta Seperti di Film-film’: Membedah Seraya Mengkritik Genre ‘Romcom’

Elle Woods yang Masih Relevan

Salah satu hal yang bikin Legally Blonde meledak di awal 2000-an adalah karena kejutan-kejutan dalam plot dan penceritaannya. Di masa itu, karakter protagonis utama perempuan film-film Hollywood sering kali adalah mereka yang kalem, cantik, tidak pecicilan, elegan, dan tahu bersikap—lemah lembut jadi tambahan ciamik. Terutama dalam genre romcom.

Elle yang pecicilan, super-feminin, dan sangat karikatur jadi anomali. Sekuens-sekuens pertama Legally Blonde akan mengecoh penonton dan membuat kita berpikir bahwa film ini akan melulu tentang lucu, lucu, lucu. 

Sehingga, efek kejut yang muncul ketika tiap belokan plot mulai membawa isu-isu serius akan sangat jitu menohok. 

Terutama ketika di salah satu adegan, Vivienne, rival Elle tiba-tiba mendukungnya dan berubah jadi ally saat Elle jadi korban pelecehan. Ini yang bikin Legally Blonde jadi salah satu tontonan paling progresif di eranya. Meski di saat bersamaan, ia juga dikritik karena punya adegan outing seorang homoseksual di ruang pengadilan. 

Namun, seiring perkembangan zaman dan pengetahuan, adaptasi Legally Blonde pun turut diubah. Dalam adaptasi JPAC, otokritik tentang outing dan prejudice pada orientasi seksual orang lain juga diselipkan dalam dialog-dialog yang tetap dikemas jenaka. Tawa penonton kian pecah, ketika sesekali celetukan-celetukan berbahasa Indonesia juga ditabur dalam beberapa momen.

Baca juga: Review ‘La Luna’: Kala Pemberontakan Dimulai dari Celana Dalam

Meski dikenal sebagai karakter progresif dan segar pada awal 2000-an, menonton Elle Woods lagi di atas panggung teater tak bisa tak bikin miris. Sebab, apa yang dialaminya masih rampant pula terjadi sampai hari ini. 

Salah satu yang paling unggul dalam pertunjukan ini adalah penampilan dan peforma Aisyah Fadhila yang didapuk jadi Elle Woods. Manerism: kibasan rambut, suara melekit, cara jalan, langkah pendek, dan suara merdu Elle Woods berhasil ia hidupkan lewat lakon memukau. Susah sekali rasanya tak bernostalgia mengenang filmnya yang dipopulerkan Reese Witherspoon. 

Rasanya, tak ada yang salah dari berharap kelak Aisyah bisa sebesar Reese.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aulia Adam

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramaditha.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *