Election 2024 Issues Opini Politics & Society

Yang Gagal Dilihat Semua Paslon tentang Isu Perempuan dan Buruh

Dua isu ini tak dianggap 'menjual' untuk mendongkrak suara mereka di Pilpres 2024.

Avatar
  • February 13, 2024
  • 6 min read
  • 694 Views
Yang Gagal Dilihat Semua Paslon tentang Isu Perempuan dan Buruh

Ketiga pasangan calon (paslon) di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 belum cukup serius memprioritaskan nasib buruh dan perempuan. Kendati mereka tipis-tipis menyentil kelompok ini dalam visi misinya, tetap masih ada ruang kosong yang perlu diisi untuk menjawab tantangan diskriminasi dan ketimpangan relasi ke depannya.

Paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, misalnya, menawarkan apa yang mereka sebut sebagai “28 Simpul Kesejahteraan” bagi kelompok buruh dan perempuan. Agenda khusus dalam visi misi mereka ini menjanjikan sistem pengupahan yang adil, bantuan pangan, perlindungan sosial, program pelatihan dan beasiswa, perlindungan bagi buruh hingga pelibatan dalam proses perumusan kebijakan.

 

 

Pasangan ini juga menyatakan komitmennya dalam menjamin pemenuhan hak perempuan dari segi perlindungan terhadap tindak kekerasan, mulai dari proses pencegahan hingga rehabilitasi, implementasi cuti hamil dan melahirkan bagi ibu dan ayah, serta menyediakan fasilitas pengasuhan anak yang terjangkau dan ruang laktasi di ruang publik bagi ibu menyusui.

Paslon Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka, mencanangkan inklusivitas dan kesejahteraan buruh secara umum dari sisi penguatan sumber daya manusia (SDM), penegakan hak asasi manusia (HAM), pemerataan ekonomi, hingga reformasi hukum.

Mereka berkomitmen untuk menerapkan pemutusan kebijakan yang bersifat inklusif dan berperspektif gender serta memprioritaskan upaya pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, salah satunya dari segi penegakan hukum yang berlaku. Penguatan SDM dilakukan dengan memberikan bantuan pendidikan kepada anak-anak petani, nelayan, guru, hingga buruh untuk melanjutkan pendidikan dari jenjang S1 hingga S3.

Sementara itu, paslon Ganjar Pranowo-Mahfud MD menawarkan ide yang sedikit berbeda. Mereka menjanjikan kesejahteraan buruh dan perempuan melalui bantuan hunian dengan mekanisme pembayaran yang mudah dan murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, kesempatan dan perlindungan kerja bagi buruh, fasilitas pengasuhan anak yang terjangkau di sektor formal maupun informal hingga fasilitas cuti melahirkan bagi ibu dan suami dengan jaminan upah dan tunjangan tetap 100 persen.

Visi dan misi setiap paslon sejatinya telah mewadahi sebagian kebutuhan kelompok buruh, utamanya buruh perempuan. Lantas, apa yang kurang dari komitmen mereka?

Baca juga: Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Ambisi Menciptakan Dunia Bebas Narkotika

Masih Ada Kekosongan

Pertama, visi dan misi paslon Prabowo-Gibran tentang isu perburuhan dan perempuan baru sampai pada tahap normatif. Paslon ini baru pada tahap penggunaan terminologi inklusif dan berperspektif gender tanpa kepekaan untuk mewujudkannya dalam rumusan kebijakan yang konkret untuk membantu meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja perempuan.

Isu seperti fasilitas pengasuhan anak maupun kebijakan cuti hamil dan melahirkan bagi ibu dan ayah masih luput dari perhatian.

Paslon ini juga belum mengelaborasi misi penegakan hukum untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Hal yang patut menjadi perhatian adalah mekanisme penegakan hukum seperti apa yang akan dilakukan serta bagaimana memastikan bahwa hal tersebut dapat menjunjung aspek kesetaraan gender.

Kedua, fasilitas pengasuhan anak yang ditawarkan Ganjar-Mahfud diproyeksikan akan menjangkau hingga ke level akar rumput, baik di sektor formal ataupun informal. Namun, paslon ini luput dalam meninjau kebutuhan lain yang tidak kalah penting bagi buruh perempuan, yaitu terkait ruang laktasi yang nyaman di ruang kerja maupun ruang publik.

Ketiga, fasilitas pengasuhan anak yang digagas oleh Anies-Muhaimin baru pada level perkantoran dan perusahaan. Fasilitas ini belum menjangkau buruh perempuan pada sektor informal, seperti buruh pertanian, kehutanan, dan perikanan yang lebih dari 30 persen pekerjanya adalah buruh perempuan.

Tak hanya itu, ketiga paslon masih belum menjamin standar kualitas dan keterjangkauan fasilitas pengasuhan anak bagi kelompok miskin.

Sebelumnya, peraturan standar kualitas tempat pengasuhan anak telah diatur dalam Permendikbud No 137/2004, seperti standar ruangan yang aman dan bersih untuk anak, standar kompetensi staf dan rasio penjagaan staf terhadap anak, media belajar anak yang edukatif, hingga nutrisi yang diberikan. Sayangnya, peraturan ini telah dicabut dan tidak lagi berlaku secara hukum.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sebanyak 20 persen tempat pengasuhan anak memiliki kualitas tidak baik dan 6 persen berada pada standar kualitas sangat tidak baik. Belum lagi, 44 persen tempat pengasuhan anak tidak memiliki izin yang sah secara hukum.

Implikasinya, keselamatan dan kesejahteraan anak-anak tidak terjamin, sehingga dapat mengganggu proses tumbuh kembangnya. Di samping itu, ketiadaan izin yang sah akan menyebabkan minimnya pengawasan dari pihak otoritas terhadap aktivitas tempat pengasuhan anak tersebut.

Tempat pengasuhan anak yang terjangkau seringkali memiliki standar kualitas yang rendah. Sementara, tempat pengasuhan anak yang berkualitas baik kerap dipatok dengan harga tinggi hingga bisa mencapai Rp3.000.000 per bulannya.

Di luar itu semua, ketiga paslon belum memiliki gambaran terkait dengan mekanisme pelaporan apabila terjadi kasus kekerasan terhadap buruh perempuan. Adanya subordinasi–kondisi ketika satu gender dianggap lebih baik dibanding gender lainnya-menempatkan buruh perempuan pada posisi yang sangat rentan.

Akibatnya, penyelesaian kasus kekerasan terhadap buruh perempuan dan pelanggaran HAM lainnya masih belum berpihak kepada korban.

Baca juga: 4 Dampak UU Cipta Kerja dan PP Turunannya Bagi Buruh Perempuan

Secercah Asa buat Buruh Perempuan

Terlepas dari kekurangannya, visi dan misi ketiga paslon menjadi secercah harapan bagi titik awal upaya perlindungan dan peningkatan kesejahteraan bagi kelompok buruh perempuan. Selama ini, regulasi yang mengatur dan menjamin kesejahteraan buruh perempuan di sektor informal masih belum optimal.

Ini penting mengingat banyaknya buruh perempuan yang bekerja pada sektor informal dengan risiko tinggi yang kerap terlewat dari upaya perlindungan dan pemenuhan hak.

Sebagai contoh, belum adanya regulasi yang mewajibkan sektor perkebunan untuk menyediakan fasilitas pengasuhan anak menyebabkan buruh perempuan di sektor perkebunan sawit tak memiliki akses terhadap fasilitas yang berkualitas dan terjangkau.

Akibatnya, mereka memilih untuk menitipkan anaknya kepada keluarga atau menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada anak pertamanya. Hal ini membuat pengawasan orangtua terhadap anak menjadi tidak ideal. Penelitian di Sulawesi Tenggara, misalnya, menemukan adanya kasus pelecehan terhadap anak yang disebabkan kurang optimalnya penjagaan anak akibat ketiadaan fasilitas tempat pengasuhann.

Ketimpangan relasi antara kelompok buruh dan pemberi kerja juga memperburuk kasus-kasus pelanggaran terhadap hak-hak buruh perempuan.

Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh The PRAKARSA terhadap buruh perkebunan sawit di Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah menunjukkan masih banyak praktik-praktik pelanggaran.

Hal ini meliputi diskriminasi berbasis gender dari segi upah serta pemenuhan hak untuk mendapatkan cuti haid, kehamilan, melahirkan, dan hak untuk memberikan ASI yang layak. Belum lagi pelanggaran lainnya yang masih menghantui buruh perempuan perkebunan sawit, seperti kurangnya akses terhadap perlindungan dan keselamatan kerja hingga kasus kekerasan di tempat kerja.

Pemimpin ke depannya harus menjadikan isu buruh perempuan dalam agenda pembangunan secara konkret, bukan hanya isu-isu politis. Mengingat, di ranah praktis, masih banyak buruh perempuan yang bekerja pada sektor berisiko tinggi yang berhak mendapat perlindungan dan pemenuhan kesejahteraan sebagai hak dasarnya.

Eka Afrina Djamhari, Peneliti Kebijakan Sosial, The Prakarsa and Eksanti Amalia Kusuma Wardhani, Junior Researcher, The Prakarsa.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Eka Afrina Djamhari and Eksanti Amalia Kusuma Wardhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *