Masih dalam semangat memperingati Hari Perempuan Internasional, DD Gallery, menggaet sepuluh seniman perempuan untuk bergabung dalam pameran bertajuk ‘The Subject of Herstory’. Dibuka dari (9/4) hingga (9/5), pameran ini bertujuan mengangkat pengalaman personal seniman perempuan pada tiap karyanya.
Bini Fitriani, program manager pameran bilang, ekshibisi kali ini memang sarat akan subjektivitas perempuan. Di sini, para seniman perempuan juga dibebaskan untuk mengekspresikan diri sendiri. Mereka juga berhak jujur menceritakan pengalaman dan trauma pribadi sebagai bagian identitas perempuan.
“Konsepnya, setiap seniman ini merupakan subjek yang berbeda dengan subjektivitas, bahkan kepercayaan mereka yang berbeda. Jadi, mereka berkarya dengan media yang berbeda-beda juga. Ada yang video, ada yang sculpture, ada yang painting, bahkan ada juga yang fotografi. Pameran ini benar-benar mengangkat subjektivitas para senimannya” ujar Bini di DD Galery, (27/4).
Baca juga: Seni Bersikap Bodo Amat
Ia menambahkan, frasa ‘Herstory’ dalam judul ekshibisi juga jadi kritik terhadap penulisan sejarah yang kerap meminggirkan perempuan. Mereka tak dikenal identitasnya, dilupakan, dan dianggap tak ada. Berangkat dari situlah, semua instalasi di pameran ditampilkan sepaket dengan rincian riwayat hidup dan identitas dari seniman.
“Kita mau memberikan konteks bahwa seniman tuh punya identitas dan dimensi lain. Selain dia adalah seniman tapi juga perempuan, punya banyak cerita di baliknya” ucap Bini.
Meski acara dihelat dalam rangka Hari Perempuan Internasional, Bini mengaku menghindari praktik tokenisme. Ia memastikan pameran ini ditujukan dari dan untuk perempuan. Karena itulah tak lupa, sebelum pameran diadakan, ia dan pihak galeri memberi bekal nilai-nilai feminisme dasar kepada para senimannya.
Baca juga: Tubuhku Bukan Milikku: Moralitas dan Kontrol Perempuan di Indonesia
Bagaimana Menjadi Perempuan?
‘The Subject of Herstory’ juga dilengkapi gelar wicara bersama beberapa seniman tersebut. Di antaranya Putri Taufik, Rahayu Joedawinata, dan Beatrix Hendriani. Dalam diskusi itu, Putri bercerita, karyanya Womb adalah usahanya mendekonstruksi pemaknaan identitas perempuan yang cuma diukur dari rahim mereka. Padahal kata dia, perempuan lebih dari sekadar rahim.
“As if being a woman itu untuk punya anak, untuk menikah, dan juga punya pacar lalu suami itu, diibaratkan like it’s an end goal. Padahal menurutku itu it’s not an end goal. Us, as women, kan bisa punya opsi untuk enggak punya anak, untuk enggak nikah, untuk enggak bawa pacar ke rumah, untuk dikenalin ke keluarga, dan menurutku, it’s something personal aja yang kita punya sebagai manusia. Harusnya kita juga punya opsi yang sama dengan laki-laki” ungkap Putri.
Sementara itu, Rahayu merefleksikan kerapuhannya sebagai ibu dalam goresan cat akrilik di kanvas ukuran 100 cm x 100 cm. Diberi nama ‘Bisik’, karya itu menggambarkan betapa sulitnya bagi perempuan untuk mendefinisikan dirinya sendiri, apalagi saat menjadi ibu.
“Bisik ini sebenarnya bercerita tentang curhatan ibu-ibu. Ibu-ibu yang terlalu overthinking. Ibu-ibu yang terpenjara dalam dirinya sendiri” jelas Rahayu saat menceritakan karyanya.
Menurut dia, ada banyak ‘bisikan’ berupa norma-norma sosial yang harus dipatuhi perempuan saat sudah menjadi ibu. Hal ini menjadi berbahaya karena tak jarang itu justru akan membawa perempuan pada kebingungan. Perempuan akhirnya sulit mengaktualisasikan diri sendiri.
“Akhirnya kita jadi ngejudge diri kita sendiri. Jadi, kita enggak bisa maju” ucapnya.
Selain Putri dan Rahayu, Beatrix Hendriani, juga mengutarakan pengalaman personal melalui karya bertajuk ‘Closed/Open’. Itu berangkat dari trauma objektifikasi perempuan yang muncul dari pandangan laki-laki (male gaze).
“Saat SMP, badan Saya mulai berkembang. Sejak itu, saya banyak mengalami catcalling” ucap Beatrix membuka penjelasannya.
Baca juga: Setop Beri Identitas Perempuan dari Siapa Pasangannya
Karya berbentuk tiga dimensi ini merupakan luapan kekesalannya pada pandangan laki-laki yang hanya melihat perempuan sebagai objek. Beatrix juga menyesali perilaku laki-laki yang suka menjadikan tubuh perempuan sebagai bahan bercandaan.
“Saya pikir, apa sih lucunya teman laki-laki mempersoalkan tubuh perempuan? Sebel saya. Padahal baju yang saya pakai juga biasa banget. Cukup menutup tubuh tapi masih aja kadang dapat catcalling,” ucapnya.
Ia membuat karya dari kertas pola yang biasa digunakan untuk membuat baju. Pola itu merepresentasikan pola baju tertutup dengan berbagai macam bentuk tubuh. Di atasnya, ia menambahkan banyak lukisan mata sebagai penggambaran male gaze yang selama ini membelenggu perempuan.
Baca Juga: ‘Election Beats, Voices of Our Generation’: Suarakan Pentingnya Hak Pilih Lewat Musik
“Udah. Jangan jadiin perempuan objek lagi. Kita sudah pakai pakaian tertutup pun masih aja diobjektifikasi,” tutupnya.