Screen Raves

Muak dengan Film ‘Reboot’? Kenapa Industri Film Cuma Jualan Nostalgia?

Apakah betul film-film reboot memang selaku itu, atau kita dibikin tidak punya pilihan?

Avatar
  • June 18, 2024
  • 5 min read
  • 673 Views
Muak dengan Film ‘Reboot’? Kenapa Industri Film Cuma Jualan Nostalgia?

Jika kamu seorang Milenial atau Gen Z dan tenggelam dalam obsesi budaya kita saat ini terhadap reboot, peragaan ulang, sekuel, dan prekuel, maka kamu mungkin mulai lelah bernostalgia dan bertanya pada diri sendiri: “Ini kan sudah pernah ya?”

Dari reboot Mean Girls baru-baru ini hingga sekuel film seperti Megamind dan Moana yang akan datang, hiburan populer kontemporer tampaknya berakar pada pembuatan (ulang) memori yang berkelanjutan. Praktik memanfaatkan kenangan indah masa lalu demi keuntungan ini disebut dengan nostalgia-baiting atau memancing nostalgia. Kata nostalgia berasal dari bahasa Yunani nostos yang berarti “pulang”, dan algos yang berarti “sakit”. Dengan kata lain, kata nostalgia mengacu pada bentuk rasa sakit spesifik yang dirasakan ketika kita mencoba, tapi tidak mampu, kembali ke rumah.

 

 

Nostalgia tak lain adalah kerinduan.

Saat kita bernostalgia lewat media, pada dasarnya kita sedang berupaya “pulang ke rumah”. Kepulangan ini seringnya adalah ke masa kanak-kanak, saat kita tidak terbebani dengan tekanan di masa dewasa, atau bahkan ke masa yang dianggap sederhana, yang mana kita mungkin tidak mengalaminya sendiri. Masa lalu dibingkai sebagai tempat perlindungan dari kekacauan masa kini.

Seperti Dorothy dalam cerita klasik Wizard of Oz, kita mengetukkan kedua hak sepatu berwarna merah delima dan berbisik “tidak ada tempat seperti rumah.” Namun, seperti yang tersirat dalam kalimat tersebut, kita tidak benar-benar bisa pulang ke rumah.

Baca juga: Aku Tahu Ghibli Jualan Nostalgia, tapi Aku Menikmatinya

Kerinduan pada Rumah Adalah Profit!

Pada tanggal 15 Mei, trailer teatrikal untuk Wicked terbit. Apakah ini merupakan bagian lain dari kisah memancing nostalgia? Film ini menampilkan Ariana Grande, sosok yang mungkin akan membangkitkan nostalgia bagi kita yang pertama kali melihatnya bernyanyi dan menari di Nickelodeon.

Namun, tren memancing nostalgia tidak terbatas pada generasi Milenial dan Gen Z.

Wicked adalah adaptasi dari musikal Broadway tahun 2003, yang merupakan adaptasi dari novel tahun 1995. Buku tersebut merupakan penceritaan ulang yang berakar pada film klasik tahun 1939 The Wizard of Oz, yang diadaptasi dari novel asli tahun 1900 karya L. Frank Baum. Selain karya-karya paling terkenal ini, ada banyak cerita ulang, pembuatan ulang, dan kebangkitan lainnya sejak tahun 1900.

Perjalanan Wicked ini menggambarkan bagaimana nostalgia telah lama menjadi strategi industri budaya. Bagaimanapun, ada logika finansial dalam mendaur ulang produk, cerita, dan gaya yang sudah sukses.

Namun, jika kamu merasa praktik memancing nostalgia lebih dominan saat ini, itu karena platform digital membuat tren yang sudah berlangsung lama ini lebih terlihat oleh pengguna, terutama pengguna muda.

Dalam beberapa jam setelah dirilis, trailer Wicked telah diedarkan dan didaur ulang secara online, menjadi objek komentar dan diskusi, dan dengan cepat menyebar melalui YouTube, X, Instagram, dan TikTok. Belum lagi foto, cuplikan pengerjaan, lagu, dan teaser yang beredar sejak tahun lalu.

Anggaran iklan film ini dirancang untuk memastikan bahwa Wicked tidak dapat dihindari oleh siapa pun yang online. Strategi komersial yang luas ini telah membantu memperkuat keberadaan nostalgia saat ini. Kelelahan nostalgia akut yang mungkin mulai kamu rasakan berakar pada fakta bahwa generasi Milenial dan Gen Z adalah konsumen utama konten digital.

Baca juga: Hollywood Suka ‘Remake’ Film Asia, Apakah Ini Problematik?

Kelegaan Sementara

Kita tahu bahwa nostalgia dapat memberikan kelegaan di saat-saat penuh tekanan. Sebuah penelitian, misalnya, menunjukkan bahwa pada masa-masa awal COVID-19, nostalgia adalah salah satu cara memerangi kesepian.

Dalam bukunya Past Forward, psikolog Clay Routledge menjelaskan bahwa nostalgia dapat berfungsi sebagai latihan hubungan sosial. Media nostalgia menekankan hubunganmu dengan masa lalu kolektif dan preferensi bersama, sehingga dapat mengurangi perasaan terisolasi.

Jika kamu termasuk dalam kelompok ini, kamu mungkin pernah mengalami shutdowns akibat COVID-19 di tahun-tahun pertumbuhanmu, serta krisis iklim yang selalu terjadi, krisis biaya hidup dan tambahan tekanan kesehatan mental akibat meningkatnya keterlibatan digital—selain perasaan kesepian yang akut.

Dengan semua itu, masuk akal untuk mencari perlindungan dari masa kini dengan merangkul masa lalu. Keinginan “pulang” adalah hal yang logis dan normal.

Namun, karena didukung oleh perusahaan-perusahaan bernilai miliaran dolar, para pemasar tahu bahwa kamu—dan anggota kelompok Milenial dan Gen Z lainnya yang rawan kecemasan—sangat rentan terhadap daya tarik nostalgia dan lebih cenderung mencari obat penenang yang ditawarkan oleh konten semacam ini.

Pertanyaannya adalah, bagaimana kamu bisa bernostalgia secara wajar baik dalam budaya maupun mental? Kesadaran dan tindakan adalah kuncinya.

Hidup pada Saat Ini

Pelopor hubungan masyarakat Edward Bernays—yang mengembangkan teori pamannya, Sigmund Freud—berpendapat bahwa untuk berhasil merekayasa persetujuan massa, kamu perlu menarik emosi bawah sadar mereka. Dengan kata lain, strategi pemasaran bekerja paling baik jika kita tidak menyadarinya.

Dengan menyadari bahwa nostalgia masa lalu tidak lebih dari sekadar fiksi yang menguntungkan, kita bisa menghilangkan pengaruhnya. Ini sama dengan membuka tirai dan melihat Oz yang hebat dan berkuasa sebagai manusia biasa.

Nostalgia itu sendiri tidaklah buruk. Namun, kita harus ingat bahwa kita cenderung mengalaminya. Sebab, hal itu telah dikemas ulang sebagai fiksi yang lebih menarik daripada aslinya.

Terkadang, kerinduan pada masa lalu bisa mengakibatkan ketidakpuasan terhadap masa kini.

Ingatlah bahwa perasaan sakit tertanam dalam kalimat: nostalgia adalah kerinduan—sebuah konsep yang membangkitkan penyakit. Dengan mengingat ini, jika nostalgiamu disebabkan oleh—atau terjalin dalam—kekecewaan terhadap masa kini, gunakan emosi negatif ini untuk memotivasi perubahan. Selalu waspada terhadap kekuatan yang mencoba memanfaatkan emosi nostalgiamu demi keuntungan mereka sendiri. Daripada tenggelam dalam lamunan nostalgia, tanyakan pada dirimu apa yang ada di masa lalu yang kamu bayangkan begitu menarik. Pikirkan juga, bagaimana kamu bisa mencapai sesuatu yang serupa di masa sekarang? Proses refleksi ini memungkinkanmu secara aktif memperbaiki masa kini daripada mencari perlindungan di masa lalu.

Bagaimanapun, bahkan Dorothy kembali ke Kansas sebagai orang yang berubah.The Conversation

Selma A. Purac, Assistant Professor of Media Studies, Western University

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Selma A. Purac

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *