15 Menit Urusan Privat ‘Basri dan Salma dalam Komedi yang Terus Berputar’
Khozy menelanjangi masyarakat kita yang sering kali masih toksik dalam menyebarkan agenda prokreasi mereka.
Sejak kapan manusia menikah? Sejak kapan manusia menikah harus punya anak? Dan kenapa tidak menikah atau memilih tak punya anak punya konsekuensi dianggap tidak normal?
Salahkan perkawinan antara patriarki dan kapitalisme.
Dalam masyarakat patriarki, syarat dianggap lengkap dan utuh ada dalam pedoman hidup bernama heteronormatif. Dalam konsep itu, jadi heteroseksual adalah satu-satunya orientasi yang sahih. Laki-laki dan perempuan adalah dua gender mutlak dan satu-satunya yang diakui. Hierarki antara dua gender ini juga jelas: Laki-laki pemimpin, perempuan adalah pengikut yang harus patuh. Semua yang tidak mengikuti heteronormativitas, layak didiskriminasi, dikucilkan.
Lalu, kapitalisme datang dan meminang patriarki. Aturan-aturan dalam patriarki diikat dengan kacamata kuda yang melihat manusia sebagai angka semata. Sederhananya, jika mau bertahan di sistem ekonomi hari ini, kamu harus punya keluarga lengkap yang minimal terdiri dari sepasang orang tua (ayah dan ibu) serta seorang anak. Jalur hidupmu dijamin jelas: Lahir, sekolah, lulus, cari kerja, menikah, lalu punya anak.
Tentu tidak semua orang bisa memenuhi syarat-syarat itu. Sebab, tidak semua orang heteroseksual, tidak semua orang punya keluarga utuh, tidak semua orang pula selalu ingin prokreasi. Siapa yang tidak bisa mengikuti (keep up) semua aturan ini akan otomatis dianggap gagal. Mereka “wajar” ditindas.
Penjelasan di atas, tentu saja, tidak gamblang dilempar Khozy Rizal dalam Basri & Salma In a Never Ending Comedy. Namun, kritik terhadap sistem kacau-balau itu, dalam film ini justru hadir sebagai satire yang kadang kita tertawakan, kadang bikin dahi mengernyit. Hebatnya, semua sindiran dan kekocakan itu dikemas Khozy cuma dalam 15 menit.
Baca juga: Kampanye ‘Tunda Dulu’ Ajarkan Gen Alpha Tak Buru-buru Menikah
Ditulis, Diarahkan, dan Disunting Sendiri
Kunci keberhasilan filmnya ada pada kejelian Khozy menuliskan dua karakter utama ini. Basri (Arham Rizky Saputra) dan Salma (Rezky Chiki) adalah sepasang suami-istri korban aturan beracun di masyarakat toksik itu. Dalam film berjudul asli Basri & Salma dalam Komedi yang Terus Berputar tersebut, kita sebetulnya tak punya banyak informasi tentang keduanya.
Nukilan singkat yang biasanya hadir di media kit atau bio singkat di bawah filmnya—jika ditonton lewat layanan streaming, cuma menjelaskan bahwa keduanya bekerja sebagai tukang odong-odong di karnaval. Informasi tambahannya, mereka telah menikah lima tahun dan tidak punya anak.
Tantangan utama dalam film pendek adalah menciptakan karakter kuat, menarik, dan memikat untuk memaksa penonton tetap tinggal, dalam waktu yang amat ringkas. Aturan itu sepertinya amat dipahami Khozy. Sehingga di tiap adegan, Khozy bukan cuma mengupas konflik apa yang ingin ia sajikan, tapi juga menjejali kita dengan infromasi-informasi penguat karakter Basri dan Salma. Dan menjawab kenapa mereka berdualah protagonis kita.
Sejak adegan pertama, kita diperlihatkan sepasang suami istri yang menatap ke arah berbeda. Salma, sang istri, duduk, sementara Basri, sang suami berdiri—di depan odong-odong mereka. Film langsung mengenalkan konflik yang dialami keduanya: Ada cara pandang berbeda.
Namun, dalam detik berikutnya, pandangan mereka langsung tertuju pada arah yang sama: Kedatangan gerombolan anak-anak yang menyerbu odong-odong mereka. Bocah-bocah yang sebetulnya adalah sumber rejeki mereka (secara harfiah, karena berperan sebagai konsumen odong-odong itu), justru ditatap dengan penuh keresahan oleh Basri dan Salma.
Apa pun konflik yang tadinya dipandang berbeda oleh keduanya, disatukan dengan keresahan mereka pada anak-anak. Atau, mungkin anak-anak adalah keresahan mereka bersama. Jawabannya tidak langsung diberi.
Adegan berikutnya beranjak ke latar sore. Langit menguning, dan sepasang suami-istri ini siap-siap pulang kerja. Di sana, kita akan melihat keintiman keduanya. Basri tak sungkan ponselnya dipegang Salma, sementara Salma tak sungkan sebal dan mengancam “menghajar” sang suami. Detail kecil ini muncul sebentar sekali, tapi penting untuk melihat pergerakan batin yang dialami masing-masing protagonis.
Di adegan ringkas itu, kita juga akan diberi informasi lewat visual Salma yang mengenakan jilbab sebelum pulang. Di sepanjang film, kelak kita akan sadar bahwa satu-satunya momen Salma tak masalah melepas jilbab adalah ketika bersama Basri, tapi di tempat umum. Bukan di dalam rumah, di muka keluarga sendiri.
Adegan berikutnya, mereka menunjukkan kemesraan di atas odong-odong yang sedang berjalan. Salma merekam momen itu lewat ponselnya, menggunakan filter, dan memanggil Basri dengan sebutan “Ayang”. Belum dua menit, kita sudah diberi banyak sekali informasi tentang dinamika pasangan suami-istri ini. Bagaimana mereka bisa menjadi diri sendiri saat berdua saja, atau bagaimana imaji yang ingin mereka tonjolkan pada orang-orang di luar mereka.
Sekuen berikutnya adalah wide shot odong-odong kerlap-kerlip mereka yang kontras dengan langit maghrib dan persawahan gelap. Lengkap dengan latar suara azan. Semua informasi yang kita butuhkan untuk mengetahui di semesta mana pasangan ini tinggal.
Tak mau membuang ruang, adegan berikutnya langsung dibawa Khozy ke meja makan—yang dalam kebanyakan film hadir sebagai simbol keluarga ideal, terutama dalam tatanan masyarakat heteronormatif. Namun, adegan meja makan itu justru jadi tempat konflik ditanam dan meledak. Tanda pertamanya muncul lewat ekspresi resah Basri yang untuk kedua kalinya kembali.
Di sana, Basri duduk di tengah. Dikelilingi keluarganya sendiri yang tertawa dan menertawai pernikahannya yang belum “dikarunia anak”. Saat keluarganya amat frontal dan cerewet mengomentari hidupnya, kita juga bisa melihat perubahan sikap dua protagonis utama. Basri jadi pribadi yang senyum-senyum saja sebagai respons komentar keluarga, sementara Salma—sang menantu di rumah itu—bahkan tidak duduk di meja makan. Ia hadir sebagai anggota pasif. Cuma “melayani” kebutuhan orang-orang di meja makan, dan tidak “ikut campur” percakapan tentang hidupnya dan Basri.
Lewat hidup Basri dan Salma, kita bisa melihat betapa lucunya pernikahan di mata orang Indonesia.
Baca juga: Yang Lebih Penting dari ‘Childfree’: Hargai Pilihan Masing-Masing
Ada Basri dan Salma dalam Diri Kita
Adegan meja makan jadi kekuatan lain Basri & Salma dalam Komedi yang Terus Berputar. Lewat dialog-dialog yang dilempar dalam adegan itu, hidup pasangan yang memilih tak punya anak (childless) adalah lelucon. Tapi, caranya dipresentasikan film justru sebaliknya.
Kontras itu disajikan lewat ketidakmampuan keluarga Basri melihat perbedaan childless dan childfree. Buat mereka, dua hal itu sama. Tidak punya anak buat mereka, bisa disebabkan hal-hal biologis seperti penis Basri yang dituding impotensi atau dicurigai berukuran kecil. Tapi, tak pernah karena hal-hal prinsipal seperti sekadar tak ingin.
Percakapan-percakapan tidak berdasarkan sains juga keluar lancar di atas meja makan itu. Mulai dari keyakinan bahwa banyak anak-banyak rejeki, sampai penis mikro yang dianggap tidak bisa membuahi karena sperma, seperti kata Firman (adik Basri), “Tidak sampai ke rahim.”
Semuanya dilempar dengan nada olok-olokan.
Lewat percakapan itu, kita bisa melihat keluarga Basri (Ibunya, adik, abang, dan kakak iparnya) sebagai bagian masyarakat yang turut melanggengkan perkawinan patriarki dan kapitalisme. Di mata mereka, pasangan suami istri yang tidak memilih prokreasi adalah kejanggalan, ketidakwajaran. Maka dari itu berhak dikucilkan. Kalau dalam bahasa ibu Basri, “Yang tidak punya anak, kita taruh di tengah, ya!”
Percakapan di meja makan itu mencapai eskalasinya, ketika Firman ingin memamerkan anak bayinya yang baru lahir pada Basri, tapi ditolak sang istri, Risma. Firman langsung naik pitam, dan menyebut Risma pemalas. Ucapan itu dibalas Risma yang mendumel, “Yang tidak punya kerja siapa, yang pemalas siapa.” Firman lalu berdiri dan menghantam istrinya, di depan muka keluarga sendiri. Semuanya ikut melerai, kecuali Salma, yang sekarang diikuti kamera Khozy.
Dengan sigap, ia menggiring anak-anak kakak dan adik iparnya ke luar rumah. Menaikkan mereka ke odong-odongnya, yang memutar lagu anak klasik, Sayang Semua. Saat suara berkelahi sepasang suami-istri dari dalam rumah makin kencang, Salma meninggikan volume musik. Bukan cuma bermain lewat satire dan humor dalam naskah kritisnya, Khozy juga memanfaatkan ruang audio untuk mempertajam kritik itu.
Di awal adegan meja makan, pilihan Basri dan Salma yang tak ingin punya anak jadi lelucon. Namun, dalam mata kamera Khozy, keluarga Basri lah yang jenaka. Ketidakkonsistenan omongan, logika, dan sikap Firman jadi sesuatu yang mengerikan, sekaligus ironis. Ia yang bangga dengan pilihan prokreasinya, ternyata tidak bisa bertanggung jawab menjalankan peran pemberi nafkah yang ia amini sebagai pengikut heteronormativitas.
Pilihan sang Ibu, yang lebih merayakan Firman ketimbang pilihan Basri, juga menggambarkan betapa menahunnya keyakinan yang diimani keluarga Basri. Di atas meja makan itu, kita juga bisa melihat bagaimana patriarki bukan cuma mengakar tajam di kepala laki-laki—sebagai gender yang diuntungkan. Ada juga perempuan yang ikut mengolok-olok penderitaan perempuan lain, dalam hal ini direpresentasikan Ibu dan Kakak Ipar Basri.
Baca juga: Hantu Orba yang Bangkit dalam ‘KKN di Desa Penari’
Beban Patriarki Juga Tajam ke Laki-laki
Adegan berikutnya berganti ke latar siang hari. Nyanyian Sayang Semua masih berlanjut, tapi latar odong-odong sudah berganti, Basri dan Salma kembali ke karnaval. Di tengah siang bolong itu, sambil menatap anak-anak, Basri melamun.
Musik koplo khas pantura muncul. Keluarga Basri, lengkap dengan pakaian seragam khas pembawa nasyid berwarna merahmuda dan biru, muncul di depan odong-odongnya.
Ayo, bikin ko anak. Hidup sejahtera, kontol jadi enak. Ayo bikin yang banyak. Masa tua enak, tidur lebih nyenyak. Ayo, ayo Basri. Hidup harmonis dengan sang istri tercinta. Banyak anak stres hilang. Hidup indah bagai bunga telang. Padat penduduk tidak apa. Yang penting kita bahagia.
Lagu singkat itu dibawakan keluarga Basri lengkap dengan tarian slebew khas TikTok.
Buat saya, adegan lamunan Basri ini adalah kejutan kedua yang bikin Khozy layak diberi gelar pendongeng ulung. Dalam sekuen singkat itu, Khozy bukan cuma berhasil menggambarkan tekanan patriarki yang hadir lewat satire dalam lirik dan warna pakaian keluarganya yang sinematik. Tapi juga keresahan Basri sebagai seorang laki-laki, yang jadi teralienasi karena pilihan berbedanya untuk tidak punya anak.
Saking seringnya diolok-olok dan direndahkan kelelakiannya karena memilih untuk tidak prokreasi, Basri jadi dibayang-bayangi—dihantui—beban tekanan dari keluarganya.
Lamunan itu kemudian dipecahkan oleh lemparan bola dari seorang anak yang naik odong-odong Basri. Tak terima kepalanya dilempar sang bocah—atau mungkin murkanya pecah karena terus-terusan dipermalukan atas pilihan tak ingin punya anak—Basri mendatangi anak itu sambil marah, menurunkannya paksa dari odong-odong. Sebuah pilihan yang memecah konflik berikutnya: Sang Ibu mengamuk dan menjambak Basri.
Lagi-lagi Khozy menyelipkan sebuah adegan segar. Saat Basri terlibat konflik dengan ibu-ibu, Salma—seorang istri dan perempuan—hadir sebagai pelindung, sebuah peran yang biasanya dilakukan seorang laki-laki atau suami dalam masyarakat patriarki-heteronormatif. Salma yang membela Basri, melepaskannya dari jambakan si ibu, dan berujung jadi tempat keresahan Basri berpulang.
Saat malam, dan resahnya masih penging di kepala, Salma yang hadir memecah situasi itu. Dengan menyalakan odong-odong mereka dan rembetan lampu kerlap-kerlip yang jadi kontras dengan malam. Salma hadir sebagai pelukan yang menenangkan.
Kecermatan Khozy menulis dua protagonis ini ditutup dengan adegan pamungkas yang menjawab pertanyaan, kenapa Basri dan Salma tak mau punya anak?
Tak lain tak bukan, jawaban itu ialah sebuah adegan seks yang dikemas sinematik. Buat saya pribadi, adegan itu adalah puncak humor dalam komedi yang terus berputar di hidup Basri dan Salma. Bagaimana tak lucu? Setelah menyajikan konflik demi konflik, mulai dari adegan meja makan, adegan lamunan lagu nasyid featuring joget tiktok, sampai adegan jambak-jambakan dengan ibu-ibu, Khozy sengaja menutup filmnya dengan sebuah jawaban klimaks—yang dikemas betul-betul secara harfiah dengan adegan orgasme Basri.
Sesaat sebelum orgasme itu, ada dialog singkat dari kedua protagonis kita tentang keputusan mereka untuk “keluar dalam” atau “keluar di luar”. Keputusan yang mereka buat di ruang privat (di atas odong-odong sendiri, dan di malam hari), ternyata jadi sumber rentetan konflik dan ketidaknyamanan hidup mereka. Siapa sangka, urusan privat seperti keluar dalam apa tidak, bisa jadi masalah berkepanjangan yang menghantui. Well, Khozy paham hal itu. Ia bahkan bisa mengemasnya jadi 15 menit penuh ketegangan, sekaligus kelucuan.