Issues

Enggak Melulu Soal Viralitas, 3 Tips Beritakan Kasus Kekerasan Seksual

Dalam memberitakan kasus kekerasan seksual, penggunaan bahasa sampai perlindungan korban harus benar-benar dipahami jurnalis.

Avatar
  • June 25, 2024
  • 5 min read
  • 567 Views
Enggak Melulu Soal Viralitas, 3 Tips Beritakan Kasus Kekerasan Seksual

“Terlanjur Jatuh Cinta, Seorang Pemuda Nekad Rudapaksa Gadis Pujaan Hatinya”. 

Begitulah tajuk pemberitaan kasus pemerkosaan perempuan, pada (20/4) lalu di Sangkapura, Gresik, Jawa Timur. Meskipun tampak harmless alias biasa saja, nyatanya itu rentan mereviktimisasi korban. Enggak hanya itu, berita ini pun berpotensi memunculkan tanggapan pembaca yang bernada victim blaming. Paling fatal, kekerasan yang dimaksudkan sebagai hal buruk, bisa dinormalisasi atau dimaafkan dengan alasan tertentu. 

 

 

Penelitian Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bertajuk “Analisis Media: Sejauh Mana media Mempunyai Perspektif terhadap Korban Kekerasan Seksual?” mengonfirmasi ini.  

Dari sana didapatkan, masih terdapat banyak pelanggaran kode etik jurnalistik dalam penulisan berita kekerasan seksual terhadap perempuan. Setidaknya terdapat 40 persen pelanggaran kode etik berupa pencampuran fakta dan opini yang masih muncul dalam pemberitaan kasus kekerasan seksual. Selain itu, sebanyak 21 persen pemberitaan masih memuat informasi cabul dan sadis. Pun, 38 persen pemberitaan masih mengungkap identitas korban dengan terang benderang.  

Merespons hal ini, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) bersama Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia, mengadakan workshop terkait urgensi pedoman pemberitaan kekerasan seksual bagi jurnalis. Tujuannya guna membekali jurnalis dalam pemberitaan kekerasan seksual.

Workshop ini sendiri dihadiri oleh Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan; Uni Lubis, Ketua Umum Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI); serta AKBP Ema Rahmawati, SIK, Kepala Unit PPA Kabareskrim Polri.  

Workshop yang dilakukan pada (20/6) di IDN Media Headquarters tak cuma meliterasi jurnalis soal kaidah pemberitaan kasus kekerasan seksual. Lebih dari itu, workshop juga dilakukan untuk memperbaiki wajah media dalam pewartaan kekerasan seksual, serta mendorong perusahaan media untuk menerbitkan prosedur operasional standar (SOP) terkait penangan Kekerasan Seksual dan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di kantornya. 

Baca juga: Agar Tak Lenyap dalam Senyap: Begini Media Seharusnya Beritakan Femisida 

Selama workshop berjalan, ketiga narasumber secara bergantian menjelaskan pandangan dan pedoman penulisan berita kasus kekerasan seksual. Berikut Magdalene rangkum beberapa poin penting yang perlu diperhatikan jurnalis ketika mewartakan kasus kekerasan seksual.  

Kenali Bentuk Kekerasannya 

Ketika mewartakan kasus kekerasan seksual, mengenali bentuk/jenis kekerasannya adalah hal mendasar yang perlu diperhatikan jurnalis. Andy Yentriyani bilang, jurnalis wajib memastikan dan paham frasa yang digunakan dalam mewartakan kasus kekerasan seksual.  

“Wartawan perlu memastikan term yg digunakan sesuai dengan kasus yang terjadi. Jadi, kalau belum yakin dengan apa yg terjadi, silahkan tulis kekerasan seksual, karena kekerasan seksual itu adalah payung besarnya,” jelas Andy, membuka sesi materi.  

Penyebutan jenis kasus adalah hal yang krusial. Hal ini berkaitan dengan penekanan konsekuensi yang disangkutkan pada pelaku. “Penyebutan itu penting untuk menentukan konsekuensi yang akan diberikan pada pelaku,” tambah Andy.  

Andy juga menjabarkan tips agar jurnalis bisa mengenali kekerasan seksual secara komprehensif. Pertama, jurnalis perlu melihat relasi kuasa yang ada di tengah sebuah kasus kekerasan seksual. Setelah itu, jurnalis bisa mengenali bentuk dan alasan tindakannya. Hal ini penting untuk memberikan latar belakang yang jelas terkait kasus kekerasan seksual yang terjadi. Terakhir, jurnalis perlu memerhatikan konteks peristiwa. 

“Coba diperiksa dulu. Pelaku ini sebenarnya personal atau pelaku negara? Kemudian, siapa aktornya? Bagaimana dia menggunakan kuasanya? Bagaimana konteks kasusnya? Semua itu perlu dipahami terlebih dahulu,” papar Andy.   

Baca juga:  Ancaman Deepfake: KBGO dan Gerak Perempuan yang Makin Rentan

Pastikan Pemenuhan Hak Korban 

Tidak hanya memahami kasus secara komprehensif, dalam menuliskan berita kekerasan seksual, jurnalis juga perlu menjamin pemenuhan hak korban. Uni Lubis mengucapkan, jurnalis sebenarnya sudah punya payung hukum dalam kode etik jurnalistik (KEJ) terkait hal ini.  

Pengaturan ini tertuang pada Pasal 5 dan juga Pasal 9 KEJ. Di sana secara jelas menyebutkan hak-hak korban apa saja yang perlu dipenuhi jurnalis. Dalam Pasal 5, dijelaskan wartawan Indonesia tidak boleh menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila, serta tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Selain itu, kehidupan personal korban juga jadi hal penting yang perlu dihormati. Sesuai Pasal 9, Kode Etik Jurnalistik, dituliskan bahwa wartawan Indonesia juga perlu menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. 

“Sebenarnya semua ini sudah tertuang di kode etik jurnalistik. Jadi kembali lagi ke sini, semua jurnalis wajib mematuhi aturan yang ada,” ungkap Uni. 

Andy menambahkan, ada akses keadilan dan pemulihan yang perlu dijamin oleh jurnalis. Menurutnya, kita tidak boleh hanya mengejar viral. Ramainya respons masyarakat juga bisa memengaruhi proses pemulihan korban. Maka dari itu, jurnalis perlu peduli terkait hal satu ini. 

“Jangan hanya mengejar viral, karena sebenarnya, viralnya pemberitaan juga secara tidak langsung bisa memengaruhi kondisi korban. Pastikan akses keadilan dan pemulihannya. Cermati hal ini dan dorong penanganan yang tuntas,” tambah Andy.        

Gunakan Diksi yang Tepat 

Ketika mewartakan kasus kekerasan seksual, pemilihan diksi juga jadi hal yang penting untuk diperhatikan. Uni berpendapat, siapa pun yang menulis berita kekerasan seksual, perlu menghindari pemilihan kata yang bisa berujung pada reviktimisasi terhadap korban.

Baca juga: Semua Mau Jadi ‘Content Creator’: Profesi Jurnalis Sepi Peminat, Masa Depan Jurnalisme Suram?

“Misal, gunakanlah frasa ‘tidak sadarkan diri’ ketimbang ‘mabuk’. Hal semacam ini penting sekali,” jelasnya.  

Selain itu, imbuhnya, wajib bagi jurnalis untuk menghindari  penggunaan kata yang bisa memberikan stigma dan stereotip kepada korban. Penggunaan kata yang bisa memberikan stigma seperti ‘Janda Cantik’, atau semacamnya, wajib dihindari dalam penulisan berita kekerasan seksual mana pun.  

Pemilihan kata yang bisa berimplikasi tone-down pada kasus kekerasan seksual juga wajib dihindari. Tidak ada satu kasus kekerasan seksual pun yang punya kadar lebih rendah dari kasus yang lainnya. Menurut Uni, berat dan besarnya kasus perlu dijabarkan dengan komprehensif. Tujuannya agar masyarakat bisa paham, kasus yang terjadi adalah tindak kejahatan besar. 

“Hindari itu kata-kata yang bisa membuat kasusnya jadi tone-down. Sering kali kita suka mengecilkan kasusnya gitu. Itu sangat tidak disarankan. Kita harus secara jelas menyebutkan seperti apa kasus dan dampak dari kejahatan ini,” tegas Uni. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *