Issues

Yang Tak Dibicarakan dari Darurat Judi ‘Online’: Kekerasan hingga Nihilnya Perlindungan Korban

Sering kali, yang jadi korban dalam judi 'online' bukan cuma orang sekitar tapi juga pelaku. Pemerintah harus memikirkan pendampingan psikologi yang tepat buat keduanya.

Avatar
  • June 25, 2024
  • 6 min read
  • 1247 Views
Yang Tak Dibicarakan dari Darurat Judi ‘Online’: Kekerasan hingga Nihilnya Perlindungan Korban

*Peringatan Pemicu: Kekerasan fisik dan psikologis.

Ini merupakan tahun ke-14 “Adi”, 35 bermain judi online. Berawal dari iseng, ia menganggap judi online adalah cara mencari pemasukan tambahan untuk mencukupi kebutuhan pribadi. Lama-lama, Adi memainkannya untuk mengisi waktu luang, lantaran enggak ada kegiatan atau hobi untuk dilakukan. Berbagai jenis judi online pun pernah dilakukan: Slot, kartu, dan bola. 

 

 

Seperti pemain lain, Adi pernah merasakan euforia kemenangan. Dari modal Rp3 juta, ia meraih untung hingga ratusan juta. Uang itu digunakan untuk mengganti uang kantor yang sempat digunakan. Sisanya dipakai untuk biaya hidup, belanja, dan modal deposit. 

Namun, keuntungan itu enggak sebanding dengan nominal yang dikeluarkan untuk deposit. Adi mengaku kerugiannya lebih besar, yang kerap membuat frustrasi dan kecewa—terutama jika kondisi finansial sedang tidak stabil. 

“Kalau uangnya lagi ada sih enggak terlalu mikirin (pas kalah). Pusingnya kalau pakai uang pinjaman. Niatnya kan mau ngebalikin (uangnya),” cerita Adi. 

Selain menggunakan pinjaman online (pinjol), Adi mengatakan pernah meminjam uang ke teman dan keluarga. Bahkan pernah menggunakan uang perusahaan tempatnya bekerja, sampai menimbulkan masalah. 

Meminjam uang untuk modal deposito pernah membuat relasi Adi dengan teman, keluarga, dan perusahaan rusak. Karenanya, Adi memilih memutus hubungan dari teman-teman supaya enggak punya kesempatan meminjam uang. Ia tersadar, tidak memegang uang adalah kunci agar berhenti main judi online. 

Pengalaman Adi menunjukkan, judi online berdampak pada relasi pemain dengan orang-orang di sekitar. Yang luput dari pandangan adalah mudahnya aksesibilitas terhadap permainan tersebut—lewat aplikasi pesan, game, dan situs. Belum lagi iklan di platform medsos yang gencar mempromosikan. 

Dalam wawancara bersama Magdalene pada (15/6), Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Dirjen IKP Kominfo), Usman Kansong menyatakan, teknologi seperti pinjol dan budaya instan di medsos berperan pada masifnya korban judi online di Indonesia. 

Sementara riset Febri Jaya dan Delfi Kuasa pada 2022 menyebutkan, faktor ekonomi merupakan alasan lain seseorang bermain judi online. Terutama setelah pandemi COVID-19, ketika banyak orang kehilangan pekerjaan di tengah sedikitnya lapangan pekerjaan. Alhasil, judi online dianggap sebagai jalan pintas untuk mendapatkan uang secara instan. 

Kedua faktor tersebut menjelaskan banyaknya jumlah pemain judi online di Indonesia—yakni 3,2 juta orang berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sedangkan total transaksi sekitar Rp200 triliun, dengan kerugian Rp27 triliun per tahun.  

Besarnya transaksi dan jumlah pemain judi online menunjukkan, Indonesia darurat judi online. Bahkan, dampaknya tidak hanya menyebabkan rusaknya relasi, melainkan terjadinya kekerasan. 

Baca Juga: Bagaimana Pinjol Jerat Anak Muda lewat ‘Mobile Games’ 

Efek Domino Judi Online dan Pentingnya Pendampingan 

Selama 1,5 tahun berpacaran, “Arin”, 24 menanggung akibat setiap kali “Rayhan” kalah main judi online. Arin dipukul, ditendang, dilempar ponsel, dan dibentak lantaran mantan pacarnya itu tak mampu mengontrol emosi. Belum lagi stres karena tak punya uang untuk dana deposit. 

Bagi Arin, dampak perlakuan Rayhan bukan hanya memar dan lebam. Melainkan mood yang enggak stabil, tiba-tiba menangis, dan mempertanyakan keberhargaan diri. Malah sampai mengganggu Arin beraktivitas. 

“Dulu aku lagi magang di klinik. Rayhan nangis dan langsung minta disamperin setelah kalah main judi online. Katanya mau cutting kalau aku nggak datang,” ungkap Arin. 

Menurut Psikolog Klinis Syazka Narindra, pemain judi online merasa frustrasi dan mudah emosi karena kehilangan kontrol atas situasi. Sebab, mereka terbiasa menang di beberapa permainan awal dan menganggap bisa mendapatkan uang dengan cepat—yang sebenarnya dimanipulasi oleh sistem untuk terus bermain. Jika demikian, yang terdampak adalah orang-orang di sekitar, seperti Arin. 

Sejumlah perbuatan Rayhan meninggalkan trauma bagi Arin. Ia mengaku, mendengar cerita soal judi online sering menyebabkan pusing, lemas, dan jantung berdebar. Sampai sekarang, Arin pun masih melihat Rayhan sebagai sosok menyeramkan. 

Melihat berbagai dampak, Usman menuturkan pemerintah akan memberikan pendampingan terhadap korban judi online. 

“Di polsek dan polres ada lembaga psikologi yang bisa didatangi oleh korban judi online yang butuh pendampingan. KemenPPPA juga akan mendampingi, kalau ada laporan dari korban perempuan dan anak,” kata Usman. 

Sebagai korban, Adi mengaku membutuhkan bantuan dari pemerintah agar berhenti main. Pada 2019, Adi sempat direhabilitasi selama 1,5 bulan, lantaran kecanduan judi online. Meski terbuka untuk pasien dengan adiksi lain, panti rehabilitasi milik swasta itu lebih fokus untuk pecandu narkoba. 

“Selama rehab, pendampingan dan kegiatannya lewat pendekatan agama. Tapi saya ngerasa nggak cocok,” ucap Adi. 

Sebagai psikolog, Azka pun menyarankan agar orang-orang di sekitar korban judi online memberi rujukan ke layanan psikologi. Nantinya, korban akan mengikuti konseling, untuk mengetahui latar belakang adiksinya—apakah masalah impuls, regulasi emosi, atau perihal mindfulness. 

Masalahnya, di Indonesia, belum ada regulasi maupun lembaga yang mendampingi korban judi online. Sedangkan Pasal 27 Ayat 2 juncto Pasal 45 Ayat 2 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pun berlaku untuk bandar.  

Adi juga mengharapkan, pemerintah menyediakan rehabilitasi untuk korban judi, agar mereka mendapatkan pendampingan dan penanganan yang sesuai. 

“Selama ini saya sadar kecanduan, tapi enggak tahu mesti ke mana. Paling dinasihati orang tua dan orang gereja, cuma enggak ngaruh. Harusnya ada support system dari luar,” tambahnya. 

Seperti Singapura, yang menyediakan pendampingan bagi korban judi. Mereka memiliki National Council on Problem Gambling (NCPG), lembaga yang terdiri dari ahli di bidang psikiatri, psikologi, konseling, layanan sosial, serta hukum dan rehabilitatif. Selain mencegah dan memberikan perawatan bagi korban dan keluarga, NCPG bertanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat terkait perjudian. 

Sedangkan perhatian pemerintah Indonesia masih terletak pada pemberantasan situs dan platform. 

Baca Juga: Bagaimana Pandemi Tingkatkan Risiko Kecanduan Belanja ‘Online’ Anak Muda 

Pemblokiran Situs dan Pembentukan Satgas 

Berdasarkan keterangan Usman, sampai saat ini Kominfo telah memblokir 2,1 juta situs judi online. Pemblokiran tersebut diawali dengan tracking melalui tiga mekanisme: Pencarian konten judi online dengan Artificial Intelligence (AI), patroli siber yang memantau medsos, dan laporan dari masyarakat lewat situs aduankonten.id. 

“Setelah diidentifikasi, kami meminta platform untuk take down dan mereka harus mau, karena tercatat dalam UU ITE. Kalau berupa situs, Kominfo bisa memutus akses langsung dengan menutup IP Address,” jelas Usman. 

Ia mengamini adanya hambatan dalam memberantas judi online. Di antaranya kemampuan membuat situs dengan IP Address baru setelah diblokir, dan lokasi server bandar yang berada di luar negeri membuat Kominfo tidak dapat menutup aksesnya—lantaran peraturan perundang-undangan yang tidak memungkinkan. Kemudian juga rendahnya literasi masyarakat terkait judi online. 

Sebagai upaya penanganan pemerintah, Presiden Joko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Perjudian Daring pada Jumat, (14/6). Harapannya, penindakan judi online lebih intensif sekaligus pencegahan lewat literasi digital. 

Baca Juga: Balada ‘PayLater’ Gen Z: Selesaikan Masalah dengan Masalah  

“Untuk penindakan, Polri bekerja sama dengan Interpol untuk menangani bandar di luar negeri. Lalu Kementerian Luar Negeri juga kooperasi dengan negara  Asia Tenggara lain supaya mendukung Indonesia dalam hal ini,” ungkap Usman. 

Di samping itu, Kominfo bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk pemblokiran rekening mencurigakan—baik bank maupun e-wallet. Sejauh ini, ada lima ribu rekening yang dibekukan. 

Terlepas dari upaya penindakan pemerintah, Usman pun berharap masyarakat bersikap kooperatif dalam pemberantasan judi online. Contohnya lewat pengawasan orang tua, edukasi di sekolah, khotbah oleh tokoh agama, dan pelaporan jika menemukan konten terkait judi online di berbagai platform. 

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *