#BasaBasiReformasiPolri: Dugaan Penganiayaan Anak 13 Tahun oleh Polisi Mandek, Keluarga Masih Cari Keadilan
Polisi menghentikan penyelidikan kasus kematian Afif Maulana, yang diklaim sebagai pelaku tawuran. LBH Padang: “Tidak ada yang bisa membenarkan pembunuhan.”
Penyelesaian kasus Afif Maulana, bocah 13 tahun yang ditemukan tewas di bawah jembatan Batang Kuranji, Kecamatan Kuranji, Kota Padang pada 9 Juni lalu, mandek. pada tanggal 30 Juni lalu, kasus ini dihentikan penyelidikannya oleh Polda Sumatera Barat (Sumbar), dengan kesimpulan Afif jatuh dari jembatan. Namun, temuan keluarga dan hasil investigasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang berkata lain.
Dalam laporan LBH Padang, Afif Maulana diduga tewas karena disiksa. Dari keterangan beberapa saksi yang juga jadi korban hantaman polisi, menyadur dari Kompas, Afif bahkan sampai meminta ampun dan pingsan setelah dihajar berkali-kali. Mereka dituduh akan melakukan tawuran saat Sabhara Polda Sumbar tengah berpatroli pada 8 Juni dini hari. Di tubuhnya ditemukan luka pukulan. Menurut LBH Padang, TKP kejadian juga sempat berubah.
Keluarga Afif dan LBH Padang juga sempat dibuat geram ketika Kapolda Sumatera Barat Irjen Suharyono mengatakan bahwa Afif adalah anak yang bandel. Melalui CNN Indonesia, Kapolda Sumatera Barat ini berdalih telah berhasil membuka ponsel Afif, dan menemukan video Afif tengah memegang pedang, serta membingkai Afif sebagai pelaku tawuran.
“Video itu menggambarkan bahwa Afif Maulana membawa pedang. Jam 10 malam itu dia menanyakan dulu ke Adhitya, ‘Ada tawuran enggak malam ini?’ Itu sudah jelas mau berangkat tawuran,” tutur Irjen Suharyono, Kapolda Sumbar, dikutip dari CNN Indonesia.
Baca juga: Ke Mana Melapor Kalau Polisi yang Membunuh?
Indira Suryani, Direktur LBH Padang kecewa dengan pernyataan Irjen Suharyono. Saat ditemui melalui saluran telepon, Indira mengungkap bahwa keterangan Kapolda Sumbar tentang Afif adalah keliru. Menurutnya, ini adalah tindak pembunuhan karakter. Sekalipun Afif memang melakukan tawuran, penyiksaan terhadap anak tetap bukan satu tindakan yang bisa dibenarkan.
Polda Sumbar juga sempat fokus mencari siapa yang memviralkan kasus kematian Afif, dan mengumumkan fokus mencari orang pertama yang menyebarkannya. Tindakan itu dapat protes luas dari publik. Tempo bahkan sempat mengeluarkan pernyataan publik untuk mengkritisi sikap Polda Sumbar yang malah fokus mencari siapa yang memviralkan berita ini.
“Kamilah yang memviralkan kematian Afif Maulana. Dengan demikian, Pak Polisi dapat menyalurkan energi perburuan yang tak terpakai untuk menjalankan tugas utama Polri: Menegakan hukum serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat,” tulis Tempo.
“Sakit hati, terluka, kecewa, campur aduk lah perasaannya. Apalagi keluarga, merasa terpukul sekali ketika anaknya yang sudah meninggal malah dibunuh karakternya. Dari awal juga kami katakan, kami menyayangkan sikap dan menindak keras penyiksaan dari polisi terhadap anak-anak. Apa pun kesalahannya, setiap orang bebas dari penyiksaan, kan aturannya begitu,” tutur Indira pada 12 Juli.
Menurut catatan LBH Padang, kasus dugaan penyiksaan oleh polisi yang menimpa Afif bukanlah yang pertama. Upaya pembunuhan karakter terhadap korban dugaan penganiayaan polisi sudah sering dilakukan Polda Sumbar. Sejak 2014, banyak korban dugaan penganiayaan oleh polisi yang tewas dan justru distigma hingga kasusnya tidak pernah selesai sampai sekarang.
“Sebenarnya kasus-kasus penyiksaan yang lain sejak 2014 juga terjadi seperti ini. Hanya saja, karena terjadi pada orang dewasa dan pelaku kriminal, mereka jadi lebih mudah melakukan pembunuhan karakter. Ini penjahat ini misalnya, gitu ya. ‘Wah, dia paling jahat’, jadi pantas dihajar begitu,” jelasnya.
Seribu Cara Polisi Mengelak: Pembunuhan Karakter dan Justifikasi Penganiayaan
Berdasarkan definisi yang termuat pada laman resmi kamus merriam-webster.com, pembunuhan karakter sendiri adalah sebuah tindakan pencemaran nama baik seseorang yang dilanggengkan dengan maksud untuk menghancurkan kepercayaan publik terhadap orang tersebut.
Pembunuhan karakter sendiri bukanlah tindakan baru yang dimunculkan oleh pihak kepolisian. Dikutip dari The Guardian, di Amerika, kejadian serupa juga sering muncul ketika penganiayaan terjadi, khususnya pada laki-laki berkulit hitam.
Mereka yang menjadi korban justru dituduh sebagai penjahat yang berbahaya dengan konotasi rasis. Tindakan ini kerap dilakukan sebagai upaya pembenaran atas tindak penyiksaan yang terjadi. Alih-alih fokus pada proses pidana pelaku (yang memang dilakukan pihak kepolisian sendiri), pada konteks ini, polisi justru cenderung melabeli korban dengan berbagai stigma dan stereotip buruk.
Baca juga: #KeadilanBuatAfif: Anak 13 Tahun di Padang Ditemukan Meninggal, Diduga Disiksa Polisi
Pada kasus yang menimpa Afif, pihak kepolisian Sumbar melakukan upaya pembunuhan karakter dengan menebarkan tuduhan terkait perilaku Afif yang bandel karena terlibat dalam tawuran, bahkan memegang sebuah pedang—foto yang menurut kesaksian Ibu Afif adalah foto lama, bukan diambil di malam Afif meregang nyawa.
Sebagai pendamping hukum keluarga Afif, Indira Suryani menambahkan bahwa barang yang dipegang Afif dalam video tersebut bukanlah sebuah pedang. Potongan besi tersebut adalah sebuah bagian teralis jendela. Berdasarkan hasil investigasi LBH Padang, foto tersebut sudah diambil sejak lama, ketika Afif ikut salah satu keluarganya yang sedang membetulkan jendela. Bahkan, warna kuning yang terlihat seperti pegangan pedang dalam video tersebut adalah sebuah bendera partai, yang memang sengaja dililitkan agar berbentuk menyerupai pedang.
“Beberapa dari tim investigasi kami menemukan, ternyata kemungkinan itu diambil akhir April sampai Mei, dan itu terjadi di rumah salah satu keluarganya Afif. Jadi saat itu keluarganya itu memperbaiki teralis. Keluarganya itu memperbaiki teralis jendela. Kemudian, teralis yang panjang itu diperbaiki, dibongkar. Dan potongan itulah yang digunakan (sebagai pedang) begitu. Jadi itu teralis dan di bawahnya itu ada warna kuning. Itu bendera Partai Golkar,” papar Indira.
Pada kasus ini, evaluasi publik adalah output yang tidak bisa terhindarkan dari tindak pembunuhan karakter. Dalam bukunya The Implications of Character Assassination and Cancel Culture for Public Relations Theory (2023), Sergei A Samoilenko menulis bahwa penyerangan reputasi ini merupakan satu tindakan yang dapat mengubah pendapat masyarakat. Publik pun akan cenderung menyoroti apa yang sudah dilakukan korban daripada menilai tindakan yang menimpa korban.
Masyarakat Harus Jeli Dalam Menilai Kasus
Penilaian publik jadi hal yang krusial dalam upaya pembunuhan karakter. Pada kasus Afif, kemampuan masyarakat untuk melihat kasusnya secara utuh merupakan satu hal yang penting agar upaya penyelesaian kasusnya dapat berjalan secara maksimal.
Indira mengatakan publik perlu bijak menilai kasus yang terjadi (khususnya pada kasus dugaan penganiayaan oleh polisi), agar proses pencarian pelaku dapat jadi prioritas. Kembali pada prinsip penegakan hukum adalah hal terbaik yang bisa dilakukan oleh masyarakat.
“Bagi saya kemudian rakyat harus cerdas ya. Masyarakat harus bisa kembali lagi ke prinsip penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) pada setiap kasus,” tegas Indira. Selain itu, menurutnya, hukum harusnya mengajarkan adab dan kemanusiaan. “Tidak mungkin hukum itu mengajarkan kekerasan, pembunuhan, dan penyiksaan. Itu tidak mungkin. Jadi, meskipun ada upaya-upaya pembunuhan karakter korban seperti ini, kita harus tetap berpegang teguh pada prinsip, sekalipun korban melakukan kesalahan, setiap orang tetap harus bebas dari penyiksaan,” tambah Indira.
Kembali pada prinsip penegakan hukum yang ideal adalah hal yang penting untuk dilakukan. Hal ini juga semakin krusial mengingat belakangan ini, upaya pelebaran kewenangan Polri di ruang siber mulai masuk dalam wacana revisi Undang-Undang Polri. Dengan kewenangan yang cukup besar dalam mengatur siklus ruang siber, kemampuan masyarakat untuk terus melihat kasus secara ideal sangatlah dibutuhkan. Mengomentari hal ini, Indira menambahkan, masyarakat memang perlu memproses informasi yang dikeluarkan polisi dengan jauh lebih bijak. Tidak mudah termakan hoaks dan opini sepihak adalah hal yang krusial.
Baca juga: Deretan Aksi Kekerasan Polisi di Berbagai Negara, Prancis Bukan Satu-satunya
“Kita semua memang perlu terus mencari dan berpikir secara ideal. Kita benar-benar perlu cerdas menyikapi situasi seperti ini. Tidak mudah termakan hoaks-hoaks dan opini yang dibangun secara sepihak jadi hal penting buat saat ini,” ujar Indira.
Indira sendiri berharap kasus kematian Afif Maulana dapat cepat terselesaikan. Menurutnya, perlu ada perubahan besar pada tubuh kepolisian, apalagi, ini bukan kali pertama kasus kematian akibat dugaan penganiayaan oleh oknum polisi mencuat ke muka publik. Polisi perlu memperkuat mekanisme pengawasan terhadap institusinya sendiri.
“Seharusnya kepolisian memang membuat sebuah mekanisme pengawasan yang ketat terhadap institusinya sendiri. Ini penting agar kemudian, catatan-catatan tentang kepolisian soal pelanggaran di institusi mereka itu dibereskan. Misal, seperti yang terjadi pada kasus Afif ini, polisi tuh suka melakukan perlambatan kasus secara sembarangan gitu. Kayak yang terjadi sekarang ini lah. Hal ini yang perlu dibereskan,” tambahnya.
Dalam rangka HUT Bhayangkara, Magdalene merilis series liputan bertajuk #BasaBasiReformasiPolri yang akan tayang sepanjang Juli 2024.