‘Wayfinding’, Penunjuk Jalan yang Berguna Sekaligus Inklusif
Sering dianggap remeh, papan penunjuk jalan atau ‘wayfinding’, bermanfaat buat mendukung kelancaran pengguna moda transportasi umum.
Sebagai commuters yang kerap bepergian dengan moda transportasi umum, saya senang sekali bisa transit dengan mudah. Kemudahan itu terutama karena didukung oleh banyaknya wayfinding atau sistem penunjuk jalan yang ada di stasiun, halte, dan fasilitas publik lainnya. Tanpa wayfinding, orang yang tak familier dengan arah dan lokasi di perkotaan, rentan kesasar atau salah tujuan.
Saya sendiri pernah mengalaminya. Sebagai warga Jakarta coret, mendatangi sebuah tempat adalah tantangan tersendiri. Terlebih kota ini punya banyak persimpangan jalan dan rute transportasi beragam. Saat itu, saya bermaksud pergi ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta dari rumah di Depok. Setelah turun dari Stasiun Kereta Listrik (KRL) Gondangdia, saya panik. Ponsel mati, saldo uang elektronik pun cuma sisa sedikit. Beruntungnya, ada wayfinding yang menuntun saya ke arah yang semestinya. Dari wayfinding pula, saya tahu, setelah turun di Stasiun Gondangdia, perlu lanjut menaiki Transjakarta rute 2P demi sampai ke RSPAD.
Meskipun kerap dianggap sepele, papan vertikal penunjuk jalan itu punya manfaat besar buat warga. Enggak cuma bikin halte atau ruang publik tampak rapi tapi juga menjadi penopang kelancaran saat menaiki transportasi umum. Terlebih buat orang-orang yang tak selalu bisa mengandalkan ponsel demi membuka Google Maps atau terlalu malu bertanya pada orang sekitar.
Meski bermanfaat, sayangnya sejumlah wayfinding justru beralih fungsi jadi papan iklan promosi film. Di X, fenomena ini tertangkap oleh seorang commuter @adriansyahyasin pada (21/7). Ia mencuit, tak semestinya papan informasi transportasi umum di halte tergantikan oleh papan iklan promosi seperti itu. “Cukup kecewa melihat @DKIJakarta, sepertinya lebih mementingkan uang revenue iklan dengan menutupi informasi transportasi umum di halte ini dengan iklan kayak gini. Kayak enggak ada space lain aja apa? Bukan kali pertama juga bahkan. Di halte Sampoerna Strategic pun sama. Ini halte buat orang nunggu bus atau apa?”
Cuitan itu membuat respons netizen pengguna transportasi umum terbelah. Ada yang mewajarkannya, tapi banyak pula yang keras mengritik. Mereka yang mengritik berpendapat, wayfinding adalah penyelamat saat mereka transit dengan moda transportasi umum. Wayfinding juga jadi salah satu penanda, apakah layanan transportasi publik sudah cukup inklusif atau belum.
Baca juga: Ada Alasan Struktural di Balik Malasnya Orang Indonesia Jalan Kaki
Wayfinding di Jakarta dan Manfaatnya
Wayfinding memuat informasi penunjuk arah, sehingga pengguna transportasi umum bisa menemukan rute dan akses tercepat untuk sampai ke tujuan. Di Jakarta, pengadaan wayfinding dijelaskan dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2022 tentang Pedoman Sistem Informasi Petunjuk Arah (Wayfinding). Di sana disebutkan, wayfinding wajib hadir untuk menyelaraskan transportasi umum. Selain itu, dilansir dari laman Pemerintah Provinsi Jakarta, wayfinding juga memudahkan warga untuk berpindah dari satu moda transportasi satu ke lainnya.
Adriansyah Yasin Sulaeman, Co-Founder dari Forum Diskusi Transportasi Jakarta (FDTJ) – Transport for Jakarta menuturkan, wayfinding khususnya di Jakarta, menjadi penanda citra inklusif sebuah kota. Kata dia, inklusivitas itu tak melulu soal aksesibilitas tapi juga kemudahan penanda jalan yang bisa dimengerti semua orang.
“Selama ini inklusivitas lebih sering dikaitkan dengan infrastruktur. Padahal ini bukan hanya perkara aksesibilitas. Transportasi umum yang inklusif harus bisa digunakan dengan mudah dan bisa dipahami oleh semua orang,” papar Adrian.
Meskipun wayfinding di Jakarta masih belum mengakomodasi kebutuhan kawan-kawan disabilitas penglihatan, tapi keberadaannya tetap jadi keharusan. Inklusivitas wayfinding itu sendiri tercantum dalam Prinsip Umum dalam “Buku Panduan Ikonografi dan Wayfinding Transportasi Jakarta” (2020). Buku ini merupakan kolaborasi antara Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia dan Forum Diskusi Transportasi Jakarta (FDTJ). Adrian sendiri terlibat dalam penyusunannya.
Selain perlu ditempatkan pada lokasi-lokasi strategis, wayfinding harus bisa dijumpai di tiap titik jalan dengan jarak tempuh 5-10 menit berjalan kaki. Itu bisa diletakkan secara vertikal atau dipasang di tiang-tiang yang sudah tersedia, seperti tiang lampu atau listrik. Tingkat keterbacaannya pun harus tinggi.
Dari segi konten, orientasi arah harus dimulai dari titik di mana wayfinding berada. Artinya, wayfinding perlu memuat jarak ke titik transit atau fasilitas umum terdekat, agar bisa memberikan rekomendasi dan informasi transit yang tepat kepada pengguna.
Baca juga: Batuk Pejabat, Polusi, dan Upaya Setengah Hati Perbaiki Transportasi
Meski Bermanfaat tapi Penerapannya Tak Ideal
Selain mengakomodasi kebutuhan commuters dalam menavigasi angkutan umum, wayfinding juga bermanfaat buat ekonomi. Riset Neil Douglas bertajuk “Valuing Public Transport & Wayfinding Information” (2018) menemukan, sistem penunjuk jalan yang baik dapat memicu peningkatan ekonomi lokal. Sebab, wayfinding dapat meningkatkan lalu lintas pejalan kaki, sehingga berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi kawasan tersebut.
Sudah bernilai ekonomi, menjadi penanda inklusivitas, lalu kenapa pemerintah belum mengoptimalkan wayfinding?
Adrian mengatakan, kebutuhan terhadap transportasi umum sudah semestinya jadi perhatian semua orang. Sayang, di Indonesia, kebutuhan transportasi untuk mobilisasi sering kali dibebankan secara penuh kepada masyarakat saja. Padahal, ada peran siginifikan pemerintah di sana.
Misalnya, di Depok dan Bekasi yang notabene jadi kota penyangga Jakarta, keberadaan wayfinding belum cukup memadai. Jangankan wayfinding, transportasi umum di daerah itu juga belum layak dan tertata dengan baik.
Baca juga: Membangun Kota Ramah Gender: Lelaki juga Diuntungkan
Padahal Adrian memaparkan, kebutuhan akan wayfinding perlu didahului dengan penataan transportasi umum yang terintegrasi. Ada PR besar soal pembenahan sistem di sana. Alih-alih membuat sebuah sistem baru, imbuhnya, pemerintah kota sudah semestinya bersinergi agar angkutan umum yang aman dan nyaman bisa tersedia buat semua orang.
“Sering kali, pemerintah lebih memilih untuk membuat sistem (transportasi umum) baru yang pada akhirnya enggak berjalan maksimal. Pemerintah perlu lebih memberi perhatian pada komunikasi dua arah antara masyarakat dan juga pembuat kebijakan terkait penataan transportasi umum,” jelas Adrian.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari