History Issues Opini

Dari Domestifikasi ke Alat Perlawanan, Sejarah Politik Kebaya di Indonesia

Kebaya pernah jadi simbol anti-kolonial, identitas bangsa, tapi juga domestifikasi perempuan yang memakainya.

Avatar
  • August 6, 2024
  • 4 min read
  • 634 Views
Dari Domestifikasi ke Alat Perlawanan, Sejarah Politik Kebaya di Indonesia

Siapa, sih anak muda zaman sekarang yang enggak familier dengan kebaya? Ada perempuan yang mengenakan kebaya untuk bergaya di acara formal dan kasual. Di perayaan Hari Kartini, kondangan, bahkan jadi outfit ke kantor setiap hari. Ada pula yang ingin membuat pernyataan politik tertentu dengan kebayanya. Tujuan yang beragam ini mengingatkan kita pada pemaknaan kebaya yang sejak lama terus dibongkar pasang. 

Jika dilihat dari sejarahnya, kebaya berasal dari kata serapan Arab, qaba yang artinya pakaian. Meski sejarahnya cukup simpang siur, Lies Marcoes dalam artikel di Rumah KitaB “Politik Kebaya” mencatat, kebaya muncul sejak 1817. Tak cuma dipakai oleh perempuan Jawa, Bali, China, Minang, Manado, atau Ambon, kebaya juga diminati perempuan di negara Melayu lain, seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Modelnya pun beragam dengan warna dan motif yang khas. 

 

 

Di era revolusi kemerdekaan, jurnalis perempuan S. K. Trimurti termasuk salah satu pionir busana kebaya. Dalam salah satu foto legendaris pembacaan naskah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus, Trimurti mengenakan kebaya dan berdiri di sebelah kanan Fatmawati Soekarno. 

Di era Orde Lama, menurut Lies Marcoes, kebaya banyak digunakan aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Aisyiyah, Muslimat NU, dan golongan nasionalis seperti Partai Nasional Indonesia. Di era ini pula, tepatnya pada 1940-an, Presiden Soekarno menetapkan kebaya sebagai simbol busana nasional untuk menyatukan keragaman identitas di Indonesia. Busana ini pun dipakai rutin oleh istrinya, Fatmawati dalam kunjungan kenegaraan. 

Baca juga: Jilbab Salah, Terbuka Salah: Perempuan yang ‘Dipenjara’ karena Busana 

Kebaya juga Terdampak Ibuisme Orde Baru 

Di masa Orde baru, pemaknaan terhadap kebaya berubah. Kebaya di era itu identik dengan perempuan kelas menengah yang patuh. Berbusana kebaya pada akhirnya direduksi menjadi hal-hal domestik saja. 

Misalnya, kebaya dijadikan seragam resmi untuk organisasi perempuan, seperti Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) serta Dharma Wanita. Organisasi inilah yang jadi perpanjangan tangan hegemoni Orde Baru di Indonesia. Lewat Orde Baru, perempuan Indonesia dijebak dalam narasi “ibuisme” seperti dijelaskan Julia Suryakusuma dalam “Ibuisme Negara” (2003). 

Dalam organisasi-organisasi ini, perempuan diharuskan mengerahkan tenaganya secara cuma-cuma, tanpa mengharapkan prestise atau kekuasaan. Enggak heran jika semua istri pegawai negeri saat itu diwajibkan mengabdi di Dharma Wanita secara sukarela. Para perempuan didomestikasi demi ketertiban, pembinaan, dan stabilitas negara ala Orde Baru. Mereka diajari cara memasak, merawat suami, menjahit, dan kerja-kerja domestik lainnya.

Politisasi kebaya semakin kentara lewat perayaan Hari Kartini yang identik dengan perempuan berkebaya. Mereka diikutkan dalam lomba peragaan busana, memasak, dan sejenisnya. Dalam hal ini, berkebaya yang harusnya punya makna emansipasi, anti-feodalisme, dan anti-kolonialisme seperti diperjuangkan R.A Kartini, malah direduksi jadi sebatas pakaian yang mensubordinasi posisi perempuan. 

Pasca-Reformasi, makna kebaya jadi agak kabur. Sebagian masih setia memaknainya sebagai simbol kepatuhan perempuan. Namun, untungnya tak semua punya pemikiran serupa. 

Baca juga: Tubuhku Bukan Milikku: Moralitas dan Kontrol Perempuan di Indonesia 

Antara Fesyen dan Politik 

Saya termasuk yang percaya bahwa fesyen tidak berdiri sendiri: Ia tak bebas nilai dan bisa bermakna secara politis. Ini berlaku pula dalam kebaya. Dulu memang fesyen kebaya kerap jadi alat pemisah kelas sosial. Misalnya antara kelas priyayi, kolonialis, dan rakyat. Sementara di era Orba, kebaya yang rutin dikenakan Tien Soeharto secara politis dimaknai sebagai identitas perempuan ideal. 

Hari-hari ini kita melihat kebaya sebagai simbol perlawanan. Meskipun kelompok kapitalis mengapitalisasi kebaya untuk tujuan bisnis, tapi kita tahu, makna kebaya tak sesederhana itu. Kini banyak anak muda yang berkebaya sebagai simbol perlawanan mereka atas tren berpakaian yang harus selalu manut didikte tren para kapitalis. 

Sebagian anak muda menganggap kebaya sebagai identitas budaya anti-kemapanan. Kebaya tak sekadar fesyen tapi juga alat politik. Di Indonesia, bahkan ada komunitas Perempuan Berkebaya yang rutin mengenakan kebaya sehari-hari, dipadukan dengan baju kasual, kain, atau pakaian lainnya. Semangat komunitas ini adalah untuk mengingatkan kembali bahwa kebaya bisa jadi alat yang memberdayakan perempuan, alat perlawanan seperti dulu disuarakan oleh Kartini dan direduksi rezim Orba. 

Baca juga: Stop Nilai Diri dan Perempuan Lain dari Penampilan Fisik 

Pada akhirnya, semakin populernya kebaya kembali di era sekarang, buat saya tetap perlu dirayakan. Bahwa kebaya ternyata bermakna sebagai representasi dari identitas sebagai perempuan berdaya. Yang bisa tetap memilih bekerja atau menjadi ibu rumah tangga, memilih sekolah tinggi, dan lepas dari represi atau batasan-batasan ibuisme. 

Katarina Dian adalah mahasiswa sarjana yang tertarik pada isu minoritas dan kajian budaya. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Katarina Dian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *