Issues Lifestyle

Anak Muda Terlilit Pinjol: Enggak Semua demi YOLO dan FOMO

Anak muda sering dicap pakai pinjol untuk foya-foya. Kenyataannya, ada yang berusaha menopang keluarga.

Avatar
  • August 10, 2024
  • 9 min read
  • 1008 Views
Anak Muda Terlilit Pinjol: Enggak Semua demi YOLO dan FOMO

“Orang gila mana yang di umur 20 punya utang puluhan juta gara-gara pinjol (pinjaman online)?” tulis Linda, 25 di video TikTok-nya. 

Video yang ditonton lebih dari empat juta kali itu, sempat ramai dibicarakan di media sosial (medsos) beberapa bulan lalu. Di TikTok, orang-orang seumuran Linda menceritakan keluh kesah soal pengalaman serupa. Ada yang punya utang puluhan hingga ratusan juta, ada yang berhasil melunasi, ada juga yang gagal bayar. 

 

 

Lain lagi di X. Netizen bertanya-tanya penyebab anak muda punya tagihan pinjol sebesar itu. Bahkan, enggak sedikit menyalahkan gaya hidup mereka—kayak mentingin gengsi dan foya-foya, tuduh mereka. 

Masalahnya, Linda enggak masuk ke dua kategori di atas. Selama enam bulan, ia terpaksa menggunakan delapan aplikasi pinjol demi memenuhi kebutuhan hidup. Sebab, ayah tiri Linda kabur, sedangkan ibunya—yang bekerja sebagai guru Pegawai Negeri Sipil (PNS)—mengalami gangguan kesehatan mental. Mau tak mau, Linda harus menopang hidup ibu dan adiknya yang saat itu masih di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). 

Dari Upah Minimum Regional (UMR) Ciamis waktu itu sejumlah Rp1,8 juta, gaji Linda sebagai wartawan yang sebesar Rp700 ribu, jelas tak memenuhi keperluan hidup mereka. Penghasilan bulanan itu hanya cukup untuk uang makan. Sementara Linda harus membiayai keperluan rumah tangga lainnya, kebutuhan pribadi, uang sekolah adik, dan berobat ibu ke psikiater. Kalau ditotal, jumlahnya lebih dari Rp5 juta. 

Faktor itulah yang menggerakkan Linda untuk memanfaatkan pinjol pada awal 2022—ditambah enggak ada anggota keluarga lain yang bisa membantu. Alhasil, ia “gali lubang tutup lubang” dari satu aplikasi pinjol ke lainnya, demi menyambung hidup sekaligus menyelesaikan utang. Padahal, sebelumnya Linda sangat menghindari berutang. 

“Mau nggak mau pake pinjol gara-gara udah mentok,” ujarnya. “Total (pinjaman) sampai Rp25 juta.” 

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Maret 2024, penerima pinjaman online yang memiliki kredit macet didominasi oleh orang-orang di bawah 34 tahun, yakni sebesar 54,46 persen. Mereka terdiri dari generasi Z dan milenial, yang kerap dinarasikan oleh media maupun netizen, sebagai generasi FOMO (Fear of Missing Out) atau YOLO (You Only Live Once). 

Bahkan, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica W. Dewi mengatakan hal yang sama.  

“Saya dapat info, anak-anak muda yang terjerat pinjol dan beranak utangnya, enggak punya cukup uang pas makan di kafe dengan gaya hidupnya. Dengan cepat, mereka pakai pinjol yang cair dalam 15 menit,” kata Frederica dilansir dari Detik.com. 

Kalau pun ada anak muda yang memenuhi gaya hidup, enggak dimungkiri ada anak muda seperti Linda yang berupaya menopang hidup keluarga dengan memakai pinjol. Dan di baliknya ada permasalahan berlapis. 

Baca Juga: UKT Mahal, Pinjol Jadi Jalan Ninja Saya 

Mudahnya Akses Pinjol dan Peran Negara 

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengamini, gaya hidup adalah salah satu faktor anak muda terjerat pinjol. Namun, ia menyinggung sejumlah faktor lain seperti top up judi online, modal usaha, dan memenuhi biaya hidup yang terus meningkat tapi tak sebanding pendapatan. 

“Anak muda memang bekerja, tapi mereka generasi sandwich. Akhirnya cari alternatif pembiayaan lewat pinjol biar cepat,” terang Bhima. 

OJK mencatat, lonjakan penyaluran pinjaman dari perusahaan pinjol legal berawal pada 2020. Tepatnya saat pandemi COVID-19. Waktu itu, jumlah pinjaman mencapai Rp194,1 triliun dengan jumlah peminjam sebanyak 60 juta akun. Angka itu menunjukkan peningkatan sebesar dua kali lipat dari 2016, dengan pinjaman senilai Rp106,6 triliun dari 24,7 juta akun peminjam. 

Selain terjadi krisis global dan kenaikan harga bahan pokok, pandemi menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan. Karena itu, pinjol menjadi pembiayaan alternatif dan melatarbelakangi menjamurnya pinjol ilegal. 

Enggak dimungkiri, mudahnya persyaratan pinjol juga berkontribusi pada situasi ini. Calon peminjam hanya perlu melampirkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), foto diri bersama KTP, dan kontak darurat.  

Sejumlah persyaratan itulah yang dipenuhi “Tasya”, 28, sebelum meminjam uang di salah satu pinjol legal pada pertengahan 2023. Saat itu, ia membutuhkan uang untuk membayar utang di koperasi, bank, dan rentenir—salah satunya kredit motor. Tertarik melihat temannya yang terbantu dengan pinjol, Tasya pun mendaftar pinjol legal. 

Ia meminjam Rp5 juta dengan waktu pinjaman enam bulan, ditambah bunga senilai Rp700 ribu. Setiap bulan, Tasya menyisihkan Rp950 ribu dari gaji—sebesar Rp1,5 juta—untuk melunasi utang. 

“Sebenarnya aku terbebani. Itu juga masih minjem uang suami buat bayar pinjol dan utang-utang lain,” ceritanya. 

Pemakaian pinjol sebagai sumber dana alternatif menggambarkan permasalahan yang mengakar di Indonesia: Sistem perlindungan sosial yang perlu ditingkatkan, upah minimum terlalu rendah, dan sektor pekerjaan formal yang makin menyusut. Bhima pun menegaskan, situasi ini adalah tanggungan pemerintah. 

Seperti anggaran perlindungan sosial di Indonesia tahun ini, sebesar Rp496,8 triliun. 

“Anggaran kita salah satu yang terendah di Asia Pasifik, sekitar 2,4 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto). Sedangkan negara-negara Asia Pasifik lain di atas lima sampai enam persen dari PDB,” ungkap Bhima. 

Baca Juga: Penetapan Upah Minimum: Tidak Berpihak pada Para Pekerja 

Padahal, anggaran tersebut akan digunakan untuk mencegah meningkatnya angka kemiskinan pada 2024. Misalnya lewat lprogram bantuan sosial (bansos), subsidi pupuk, subsidi bunga kredit usaha, subsidi energi, dan jaminan sosial bagi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)—seperti disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy, pada Kompas.com. 

“Kalau anggarannya rendah, enggak ada perlindungan untuk kesehatan dan pendidikan, masyarakat jadi nyari perlindungan sosial tambahan dari pinjol,” sambung Bhima. 

Kemudian soal rendahnya upah minimum. Ini menjadi permasalahan utama, karena pemerintah menerbitkan Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). UU tersebut memperburuk kondisi para pekerja rentan, dan kenaikan upah yang tak sebanding. 

Ditambah sektor informal yang mendominasi lapangan pekerjaan—hampir 60 persen dari total penduduk bekerja berdasarkan laporan BPS pada Februari 2024. Hak-hak, perlindungan, jaminan, dan pajak mereka tidak dicakup dalam kebijakan pemerintah—membuat kesejahteraan mereka belum tentu terjamin. 

Dari pengamatan Bhima, sektor informal terbentuk karena ketidakseriusan pemerintah dalam mendorong sektor industri formal, investasi berkualitas, dan kebijakan yang belum melindungi industri lokal. Jadinya, anak muda pun memilih bekerja di sektor informal. 

Pertanyaannya, mungkinkah mereka “bebas” dari jeratan pinjol? 

Baca Juga: Generasi Z: Rumah Tak Terbeli Bukan karena Kebanyakan ‘Ngopi’ 

Agar Keluar dari Jerat Pinjol 

Setiap malam Linda menangis, memikirkan cara melunasi utang. Apalagi ia menanggung beban itu sendiri, tanpa sepengetahuan ibu, adik, dan pacar. Kata Linda, ia enggak terpikir untuk cerita ke orang-orang di sekitar. Sebab, saat itu Linda hanya ingin ibunya sembuh dan kebutuhan sehari-hari tercukupi. 

Ia pun mencoba berdagang supaya utangnya lunas—dari tahu dan susu kedelai keliling sampai baju sebagai TikTok affiliate. Sayangnya, kedua cara ini enggak berhasil.  

Masih sebagai TikTok affiliate, Linda berjualan makanan. Berawal dari satu video yang mendapat seribu penonton, beberapa video lain meraih jutaan penonton dan masuk ke laman For Your Page (FYP). 

Saking banyaknya pengguna yang menonton konten TikToknya, Linda meraup penghasilan dari situ. Dalam sehari, ia mendapat komisi sebanyak Rp1 juta sampai Rp3 juta. Kadang-kadang, ada tambahan “recehan” dari live sekitar Rp100 ribu. Dari penghasilan ini, Linda berhasil melunasi utangnya satu per satu dan menghapus aplikasi pinjol di ponsel. 

Selain menceritakan cara melunasi utang, Linda juga menyampaikan, selektif memilih aplikasi pinjol tak kalah penting. Kedelapan aplikasi pinjol yang digunakan terdaftar di OJK. Sebab, Linda enggak ingin mengambil risiko data pribadinya tersebar jika memakai pinjol ilegal. Meski demikian, bukan berarti ada jaminan jika perusahaan pinjol resmi, berhenti memanfaatkan data peminjam. 

Pas aku telepon customer service untuk minta hapus data, mereka bilang, dataku baru bisa dihapus dalam waktu lima tahun. Makanya sampai sekarang, mereka suka telepon, nawarin pinjaman lagi,” cerita Linda. 

Namun, risiko pemakaian pinjol ilegal bukan cuma itu. Pengguna rentan diancam secara psikologis—seperti dikirimkan data pembunuhan serta foto-foto anggota tubuh yang berdarah. Hal ini Linda ketahui dari followers-nya di TikTok, yang enggak bisa bayar tagihan pinjol. Banyak dari mereka yang gagal bayar.

“Memang susah banget keluar dari lingkaran ini (pinjol), kalau enggak ada pertolongan dari awal,” tuturnya. 

Seharusnya, ini jadi tanggung jawab negara untuk mengatasi penggunaan pinjol di kalangan anak muda—maupun masyarakat lain. Misalnya dengan memberikan pendapatan dan kesempatan kerja berkualitas, serta pembukaan lapangan kerja di sektor formal. Atau menyediakan pelatihan dan pengembangan kemampuan yang sesuai dengan pasar tenaga kerja. 

Selain itu, menurut Bhima, pemerintah juga perlu mengendalikan iklan terkait pinjol di YouTube dan media sosial. Pada kuartal pertama 2024 saja, terdapat 2.210 iklan pinjol yang dipantau OJK. Empat di antaranya enggak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 

Salah satunya penawaran pinjaman pada mahasiswa baru di Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta. Dilansir dari Kompas, layanan pinjol itu bekerja sama dengan kampus tanpa sepengetahuan petingginya, dan mahasiswa diwajibkan membuat akun di aplikasi pinjaman. Padahal, mereka belum berpenghasilan, dan mendorong mereka untuk berutang secara konsumtif. 

Dalam tulisan yang sama, Friderica menjelaskan pada Kompas bahwa OJK melakukan pembinaan dan pemberitahuan terhadap pinjol yang iklannya tidak sesuai ketentuan. Lalu meminta agar iklan tersebut diturunkan dan diperbaiki. 

“Kalau itu terjadi berulang OJK akan mengeluarkan peringatan tertulis dan denda,” ujar Friderica. 

Kemudian, Bhima menggarisbawahi agar perusahaan pinjol memperketat Know Your Customer (KYC)—atau kebijakan milik institusi jasa keuangan untuk mengetahui identitas nasabah. Tujuannya agar pinjaman enggak diberikan dengan cuma-cuma. Misalnya memperkecil pinjaman konsumtif dan memeriksa kemampuan bayar peminjam—bukan hanya KTP dan kontak darurat. 

“(Mudahnya syarat pinjaman) itu juga yang bikin banyak (peminjam) nggak bisa bayar. Sementara kemampuan dapetin pinjol dari berbagai aplikasi terbuka lebar,” ucap Bhima. 

Di sisi lain, satuan tugas (satgas) pinjol ilegal perlu lebih tegas dalam memblokir pinjol ilegal, supaya enggak semakin banyak korban yang terjerat. 

Terlepas dari tanggung jawab pemerintah, Bhima mengimbau anak muda untuk memperhatikan penggunaan pinjol. Pertama, tujuannya produktif atau konsumtif. Dan sebaiknya dihindari apabila untuk memenuhi gaya hidup. 

Kedua, cek bunga dan denda keterlambatannya, juga jangan tertarik karena iklan yang menjebak. Ketiga, menyesuaikan jumlah pinjaman dengan kemampuan membayar, serta cek legalitas pinjolnya—apakah ilegal atau resmi terdaftar di OJK. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *