Issues Lifestyle

Ketika Bapak Rumah Tangga Bicara Stigma hingga Omongan Tetangga

Bagaimana kisah para lelaki ini memantapkan diri jadi bapak rumah tangga, kikis stigma, dan membongkar maskulinitasnya.

Avatar
  • August 17, 2024
  • 11 min read
  • 1932 Views
Ketika Bapak Rumah Tangga Bicara Stigma hingga Omongan Tetangga

Konon katanya menyetrika baju itu pekerjaan rumah paling menyebalkan. Namun tidak untuk Sigit, 37. Lelaki ini mengaku hobi sekali mengerjakan semua kerja-kerja domestik, khususnya menyetrika. Tak cuma melipat, membuat licin pakaian dan celana, menyetrika bak kontemplasi yang membantunya merapikan pikiran yang kusut. 

“Saya suka ngerjain pekerjaan rumah, terutama menyetrika,” ujarnya. 

 

 

Beruntung, sebagai karyawan, ia punya privilese bisa kerja dari rumah. Sehingga, dibanding sang istri, Sigit lebih sering melakukan kerja-kerja perawatan. Menyetrika baju salah satunya. Saking menikmati pekerjaan ini, Sigit sengaja menyematkan sebutan “Bapak Rumah Tangga” di bio media sosial pribadi. 

Kata dia, semua lelaki mesti mampu melakukan kerja-kerja domestik. Bukan karena itu jadi tren peran yang harus diglorifikasi, tapi memang sudah seharusnya begitu. “Jadi bapak rumah tangga itu adalah keperluan. Seharusnya, suami memang terlibat dalam urusan rumah bersama dengan istri,” imbuhnya. 

Yang disampaikan Sigit ada benarnya. Belakangan, semakin banyak lelaki yang berkomitmen menjadi bapak rumah tangga. Di Amerika, menurut Pew Research Centre (2023), 1 dari 5 orang tua yang tinggal di rumah adalah laki-laki.  

Di Korea Selatan, Korea Herald mencatat, laki-laki yang tidak aktif secara ekonomi pada 2023—dengan alasan menjaga anak—mencapai 16.000 orang. Ini merupakan angka tertinggi sejak data serupa muncul pertama kali pada 1999 silam.  

Di Indonesia, menjadi bapak rumah tangga relatif dicap tabu di kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh pembagian peran gender yang dilegitimasi peraturan hukum, seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di Pasal 31 ayat (3) disebutkan, suami adalah kepala keluarga, dan istri adalah ibu rumah tangga. Lewat UU ini, struktur rumah tangga sudah terfiksasi. Maka enggak heran, ayah yang memilih di rumah dan berperan dalam pengasuhan anak akan dilabeli stigma negatif. 

Bicara bapak rumah tangga sendiri, sebenarnya tak ada definisi yang baku atasnya. Namun, Jeremy Smith (2009) menawarkan pemaknaan bapak rumah tangga, sebagai ayah yang memutuskan untuk menjadi pengurus rumah tangga, sekaligus pengasuh anak yang utama. Definisi ini tertuang dalam bukunya bertajuk “The Daddy Shift: How Stay-at-Home Dads, Breadwinning Moms, and Shared Parenting Are Transforming the American Family”. 

Meski bapak rumah tangga sibuk di rumah, biasanya mereka tetap punya andil secara finansial dalam keluarga. Setidaknya itu klaim Harrington, Deusen, dan Humberd (2011) dalam penelitian berjudul “The New Dad: Caring, Committed And Conflicted”. Seperti Sigit yang bekerja dari rumah sebagai konsultan. Cuma sesekali saja dalam satu minggu, ia datang ke kantor. Selebihnya, ia berbagi peran dengan istri yang lebih sibuk menjadi konten kreator. 

Pilihan untuk bekerja hybrid juga diambil Dicky, 29, agar bisa lebih banyak bertanggung jawab pada kerja perawatan di rumah. Kepada Magdalene Dicky menuturkan, bukan hal yang mudah sampai akhirnya ia bisa jadi stay-at-home dad. Mulai dari negosiasi panjang dengan kantor hingga stigma yang dilekatkan orang sekitar, jadi tantangannya. 

Beberapa kali, ujar Dicky, tetangga mencurigainya sebagai pengangguran, beban keluarga, atau suami takut istri. Sebabnya cuma gara-gara ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah ketimbang istri. Karena itulah Dicky butuh waktu untuk unpack maskulinitasnya dan bersiasat menghadapi tetangga yang julid. 

Di tengah kesibukan, Dicky dan Sigit bersedia membagi kisahnya menjadi bapak rumah tangga nan bahagia kepada Magdalene.  

Baca juga: Cerita #MilenialMenua: Saat Kerja Kerasmu Tak Ada Artinya (Bagian I) 

Titik Balik 

Keputusan Dicky untuk jadi bapak rumah tangga berawal dari rasa tidak teganya dengan kondisi sang istri. Selepas melahirkan anak pertama, istri Dicky mengalami baby blues yang cukup parah. Dicky pernah mendapati istri sesenggukan di pojok kamar, ketika ia baru tiba dari kantor. Pengalaman itu membuatnya trauma. Ia tak mau hal buruk terjadi pada istrinya terus-menerus. Karena itulah, ia mengajukan izin bekerja secara hybrid kepada kantornya. 

“Waktu itu sebelum pandemi Covid-19. Aku masih full-time bekerja di kantor. Posisinya baru punya anak yang kesatu. Sepertinya saat itu dia (istri) ini kena baby-blues parah. Pernah pas pulang kerja, istri tuh udah ada di pojokan kamar sambil nangis-nangis,” kisah Dicky, (13/8). 

Pengajuan Dicky ke kantor bukan hal mudah. Ia harus menghadap bolak-balik ke atasan agar bisa diizinkan kerja secara remote agar bisa andil dalam kerja perawatan di rumah. Meskipun sempat pasrah di awal karena prosesnya yang alot, akhirnya Dicky diizinkan kantor bekerja secara remote.   

Berbeda dengan Dicky, Sigit mengaku cita-cita jadi bapak rumah tangga memang timbul sejak lama. Ia bilang punya inner child di mana tak pernah menghabiskan waktu bersama ayah yang sibuk bekerja (fatherless). Ia enggan anaknya mengalami hal serupa seperti dirinya: Bertumbuh tanpa sosok ayah yang berarti. 

“Dulu bapakku kerja di luar kota. Pulangnya bisa setahun sekali, dan itu cuma dua bulan (di rumah). Aku hampir enggak dapat sosok ayah di fase-fase itu. Aku enggak pernah tahu bagaimana rasanya diantar bapak ke sekolah. Aku enggak bisa nyalahin bapakku juga sebetulnya. Beliau memang cari uang untuk keperluan bersama. Tapi sebisa mungkin, aku mau hadir lebih banyak buat anak,” ungkap Sigit.   

Baca juga: Cerita #MilenialMenua: Saat Kerja Kerasmu Tak Ada Artinya (Bagian II) 

Ilustrasi: Jelita

Stigma, Tetangga Julid, Harga Diri 

Memilih untuk memiliki waktu lebih banyak di rumah bukanlah perkara mudah. Selain memang jadi banyak beradaptasi untuk mengerjakan pekerjaan domestik, stigma sampai omongan tetangga juga jadi tantangan.   

Sigit misalnya, meski punya tekad kuat jadi bapak rumah tangga, cibiran tetangga kadang bikin dia keder juga. Apalagi ketika suara sumbang itu sampai ke telinga keluarga besar dan membuat tersinggung. Mamanya pernah menangisi keputusan Sigit karena tak terima ia jadi bapak rumah tangga. Ia sampai harus meyakinkan dan memberi pengertian sang ibu untuk menghormati keputusannya. 

Bahwa tak ada yang salah jadi bapak rumah tangga. Itu adalah pekerjaan yang setara juga, seperti halnya berkarier di ruang publik. Ia sendiri tak punya tips khusus selain sabar mengomunikasikannya secara asertif kepada ibu dan keluarga lainnya. Ia memberi contoh dan membuktikan bahwa keberdayaan lelaki tak terkikis cuma karena mengerjakan tugas domestik. 

Namun, tentu saja butuh waktu lama agar ibu teryakinkan. Apalagi kultur di Indonesia, sekali lagi, memang masih didominasi pandangan lawas bahwa ayah tak patut di rumah, harus memiliki penghasilan lebih tinggi dari istri, dan sejenisnya. 

Padahal dalam riset Della, dkk. bertajuk “Gambaran Konsep Diri Bapak Rumah Tangga” (2018) di Jurnal Manasa dijelaskan, cuma lelaki percaya diri dan berdaya yang memilih jadi bapak rumah tangga. Mereka menerima keadaan diri dan percaya punya harga diri sama besarnya ketika memutuskan jadi bapak rumah tangga.  

Sigit sendiri cenderung santai dan tak pernah rendah diri ketika menerima cibiran dari orang lain. “Saya biasanya kalau dinyinyirin tetangga, ya cuma ketawa-ketawa aja sih setelahnya,” aku dia. Tiap cibiran itu datang, Sigit cuma ingat satu hal: Yang paling penting adalah anak tak merasa kekurangan sosok ayah dalam hidupnya. Titik. 

Sebelas dua belas dengan Sigit, Dicky juga sempat mendapat cibiran tetangga. Mereka biasanya menganggap Dicky tidak berkontribusi apapun pada keluarga. “Banyak yang masih enggak paham ya kalau kerja itu enggak harus pergi ke kantor. Jadi dipikirnya, kita enggak ngapa-ngapain gitu di rumah. Padahal kita kan bantuin urusan rumah juga, kontribusi keuangan juga. Jadi dijelasin aja,” kata Dicky.   

Dengan kesabaran saat menjelaskan keputusannya, akhirnya Dicky mengantongi dukungan penuh dari keluarga besar. Bahkan Dicky mengeklaim, keluarga justru jadi support system terbesar bagi Dicky untuk mantap jadi bapak rumah tangga. 

Baca juga: Bahagia dan Kejar Mimpi Pasca-Bercerai: Cerita Tiga Perempuan 

Unpack Maskulinitas 

Bicara harga diri, menurut Sigit, memang itu salah satu faktor yang harus ditaklukkan ketika lelaki memilih jadi bapak rumah tangga. Ini juga yang dialaminya saat menikah dan menjalankan kerja domestik. “Ada ego dari saya dan mungkin teman lelaki yang munya enak saja setelah menikah. Dipikir pekerjaan rumah itu urusan istri. Sementara, kita sibuk nongkrong, main, atau kumpul-kumpul,” ungkapnya. 

Padahal faktanya tak begitu, tandasnya. Sebelum atau sesudah menikah, lelaki tetap punya peran mengurus diri dan melakukan kerja-kerja domestik. Apalagi setelah menikah dan punya anak, tugas pengasuhan atau urusan rumah, mesti dipikul berdua. 

“Berumah tangga ini kan artinya hidup bersama, ya saling aja gitu,” ujar Sigit.   

Berbeda dengan Sigit yang sudah lebih terbiasa, Dicky mengaku pilihan jadi bapak rumah tangga justru jadi sarana belajar tentang pekerjaan domestik yang nyatanya cukup berat. Justru setelah merasakan langsung sebagai bapak rumah tangga, ia jadi lebih menghargai pengorbanan perempuan yang dipaksa oleh norma publik bahwa harus menjalani kerja domestik sendirian. 

“Sejak di rumah, aku baru ngerasa, ternyata mengurus anak itu menguras energi besar. Aku baru aware, ternyata susah juga ya. Dari sini aku makin sadar kalau peranku penting. Urus anak dan rumah bersama-sama itu baik buat keluarga,” jelas Dicky.   

Selain jadi tersadar akan beratnya kerja-kerja domestik, Dicky mengaku juga ada kepuasan dan kebahagiaan tersendiri karena bisa terlibat dalam pertumbuhan anaknya secara langsung. Ini sesuatu yang enggak akan ia dapatkan ketika memilih bekerja penuh waktu di luar rumah. 

“Karena sehari-hari di rumah, anak terpantau gitu sama kita. Aku jadi lihat proses tumbuhnya dia. Dari mulai enggak bisa ngomong, kemudian mulai bubbling, aku tuh bisa lihat semua. Itu jadi satu kelebihan juga sih ketika aku memilih buat kerja di rumah dan terlibat dalam urusan ngasuh anak,” tambahnya. 

Ia sendiri tak ambil pusing jika sampai kini masih ada tetangga yang julid. Apa saja cibiran tetangga yang mengritik keputusan jadi bapak rumah tangga, kata dia, takkan bisa mengikis harga dirinya. Ia bahagia jadi bapak rumah tangga.  

Bapak Rumah Tangga juga Butuh Dukungan 

Menjadi bapak rumah tangga juga butuh dukungan pihak lain, termasuk masyarakat, perusahaan, sampai pemerintah. Dukungan dari pemerintah mestinya mewujud dalam kebijakan yang membuat bapak rumah tangga bisa terlibat setara dengan perempuan di rumah. 

Di Indonesia, kebijakan yang kita punya sebatas cuti mendampingi persalinan ibu untuk ayah, sebanyak dua hari. Lalu bisa ditambah tiga hari bisa dibutuhkan, sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja. Hal itu tertuang di Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) yang diteken pada (4/6) lalu. 

Jumlah hari cuti sepintas membakukan peran gender perempuan yang sudah seharusnya di rumah. Padahal perempuan tak cuma butuh pendampingan pasca-melahirkan saja tapi juga seterusnya dalam pengasuhan anak bersama. Karena itulah untuk mendukung peran bapak rumah tangga, kita butuh peraturan yang jauh lebih progresif. 

Terkait ini, Wawan Suwandi dari Aliansi Laki-laki Baru angkat bicara. Ia bilang, perlu adanya dorongan penerapan gender mainstreaming atau pengarusutamaan gender, di banyak aspek, salah satunya pendidikan. Dalam kurikulum Indonesia sendiri, kerja-kerja perawatan selalu dikaitkan dengan tugas perempuan. Pendidikan di Indonesia masih bersifat androsentris. 

Menurut pria yang akrab disapa Jundi, pemerintah perlu menormalisasi kerja domestik sebagai pekerjaan laki-laki. Hal ini penting untuk melawan pakem maskulinitas beracun yang selama ini ada di masyarakat.  

“Sebetulnya banyak yang bisa dikoreksi dari pemerintah ketika berbicara pembagian peran yang setara antara laki-laki dan perempuan. Cuma memang, benang merahnya adalah gender mainstreaming itu. Hal ini bisa dimulai dari aspek pendidikan. Lewat kurikulum, pemerintah bisa membuat materi untuk menormalisasi kerja domestik sebagai peran laki-laki. Pekerjaan domestik itu tidak meruntuhkan maskulinitas. Pekerjaan domestik itu bisa dilakukan oleh siapa saja. Hal ini penting untuk meruntuhkan toxic masculinity,” jelas Jundi.  

Sementara, dari segi perusahaan, dukungan bisa diberikan dengan mengakomodasi kebutuhan pekerja perempuan maupun lelaki untuk bekerja secara hybrid/ remote. Banyak riset yang menyebutkan kerja hybrid bisa mendorong produktifitas karyawan. Salah satunya riset Cisco, perusahaan teknologi berbasis di AS bertajuk “Employees are ready for hybrid work, are you?” (2022) mencatat, 53 persen responden merasa produktivitas mereka meningkat usai bekerja hybrid

Perusahaan mestinya tak perlu waswas kebijakan kerja hybrid bakal bikin boncos. Faktanya, dalam tulisan Suwarno Joyomenggolo (2021) bertajuk “Memperjuangkan Kerja Perawatan (Care Work) untuk Kepentingan Bersama” menyitir Sigiro dkk. (2018), nilai ekonomi kerja rumah tangga bisa menyumbang 10 persen pendapatan negara. Bayangkan jika negara dan perusahaan membuat peraturan yang lebih mengakomodasi kerja perawatan di rumah. 

Dari sisi masyarakat, dibutuhkan pembaruan wawasan bahwa peran ayah dibutuhkan untuk mendukung keberlangsungan rumah tangga. Ini sejalan dengan kampanye International Labour Organization (ILO) yang merekomendasikan 5R sebagai langkah awal untuk perwujudan kerja perawatan di rumah yang setara. Lima-limanya membutuhkan keterlibatan masyarakat, perusahaan, sampai pemerintah.  

Rekomendasi ini meliputi rekognisi untuk mengakui tugas-tugas pengasuhan dan perawatan, reduksi dengan mengurangi beban ganda perempuan dalam melakukan tugas pengasuhan dan perawatan, redistribusi beban ganda perempuan untuk mengoptimalkan produktivitas pekerja perempuan, reward dengan memberikan penghargaan yang layak kepada pihak-pihak yang berkontribusi pada peran dan tugas perawatan, dan juga representasi dengan menghadirkan perwakilan perempuan dalam pembuatan kebijakan.   

Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia. 

Ilustrasi oleh: Karina Tungari

Series artikel lain bisa dibaca di sini:

Cerita #MilenialMenua: Saat Kerja Kerasmu Tak Ada Artinya (Bagian I)

Cerita #MilenialMenua: Saat Kerja Kerasmu Tak Ada Artinya (Bagian II)

Bahagia dan Kejar Mimpi Pasca-Bercerai: Cerita Tiga Perempuan



#waveforequality


Avatar
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *