Environment Opini

Transisi Energi yang Berkeadilan: Mengapa Perempuan Harus Terlibat?

Isu transisi energi bukan sekadar soal finansial dan teknologi, tetapi juga keterlibatan perempuan dalam perencanaan dan pelaksanaannya.

Avatar
  • September 19, 2024
  • 4 min read
  • 783 Views
Transisi Energi yang Berkeadilan: Mengapa Perempuan Harus Terlibat?

Transisi energi bukanlah semata-mata permasalahan teknis dan finansial, tetapi juga menyangkut isu sosial yang mendalam, seperti keadilan gender. Di tengah semakin gentingnya perubahan iklim, perempuan kerap menjadi kelompok yang paling rentan. Ketidaksetaraan gender dalam konteks transisi energi dan perubahan iklim telah berulang kali diabaikan dalam kebijakan di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Pertama, penting untuk memahami bagaimana krisis iklim dan transisi energi memiliki dampak yang tidak merata terhadap perempuan. Secara global, perempuan dan anak-anak lebih rentan terhadap bencana alam akibat krisis iklim. Menurut data dari PBB, perempuan 14 kali lebih mungkin menjadi korban bencana dibandingkan laki-laki. Bahkan, Program Pembangunan PBB (UNDP) memperkirakan sekitar 80 persen pengungsi bencana akibat iklim adalah perempuan.

 

 

Krisis iklim, seperti banjir dan kekeringan, berdampak langsung pada perempuan, terutama mereka yang bekerja di sektor agraria. Di Indonesia, lebih dari 15 juta perempuan bergantung pada sektor ini. Namun, bencana akibat perubahan iklim dan penggunaan masif energi tak terbarukan telah membuat sektor ini semakin tidak dapat diandalkan. Alhasil, perempuan terpaksa menanggung beban yang lebih besar dalam mencari penghidupan dan menjalankan tugas sehari-hari, seperti risiko dan kesulitan ketika mencari air dan bahan bakar.

Baca juga: Perempuan Desa Rendu: ‘Pembangunan Waduk Merampas Hidup Kami’

Meskipun dampak perubahan iklim terhadap perempuan sudah jelas terlihat, kebijakan terkait iklim dan energi di Indonesia masih sangat kurang memperhatikan perspektif gender. Dokumen-dokumen penting, seperti Kebijakan Energi Nasional, Rencana Umum Energi Nasional, hingga Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, tidak menyertakan aspek gender dalam perencanaan dan implementasinya.

Sementara itu, beberapa dokumen, seperti  Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, telah mempertimbangkan aspek gender walaupun secara terbatas. Kekosongan dan keterbatasan ini memperlihatkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap peran dan kebutuhan perempuan dalam transisi energi. 

Padahal, seperti yang ditunjukkan oleh beberapa kasus di Indonesia, partisipasi perempuan dalam proyek energi terbarukan dapat memberikan dampak positif. Misalnya, di Pulau Sumba, proyek energi terbarukan yang didukung oleh organisasi Hivos dari Belanda berhasil meningkatkan elektrifikasi sekaligus mengurangi beban kerja perempuan dalam rumah tangga. Dampaknya, perempuan memiliki lebih banyak waktu untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi yang dapat meningkatkan pendapatan keluarga.

Baca juga: Tak Ada Tanah untuk Perempuan Mentawai

Sebaliknya, di Sumatera Barat, meskipun proyek mikrohidro yang didukung Bank Dunia berhasil menyediakan listrik bagi rumah tangga, perempuan hanya diberdayakan dalam peran yang sangat terbatas, terutama sebagai pengganti ketika laki-laki tidak ada. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk memperkenalkan teknologi energi terbarukan, perempuan masih belum dilibatkan secara aktif dalam pengambilan keputusan.

Kasus-kasus ini menegaskan bahwa keadilan gender harus menjadi bagian integral dari transisi energi di Indonesia. Tanpa partisipasi aktif perempuan, transisi energi tidak hanya akan gagal dalam mencapai tujuannya, tetapi juga akan memperdalam ketidakadilan sosial dan ekonomi yang sudah ada. Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan, perencanaan, dan implementasi kebijakan energi sangat penting. Pada dasarnya, ini bertujuan untuk tidak hanya memastikan kebutuhan perempuan terpenuhi, tetapi juga untuk menciptakan sistem energi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Penelitian Center of Economic and Law Studies (Celios) pada 2024 terkait kesiapan transisi energi di lebih dari 84.000 desa di Indonesia turut mengonfirmasi bahwa semakin tinggi keterlibatan perempuan dalam rapat dan kegiatan masyarakat terkait inisiasi energi bersih dan iklim, maka semakin besar pula kesiapan kota atau wilayah tersebut untuk melaksanakan transisi energi. 

Baca juga: Masyarakat Dairi Menolak Tambang: Kami Berjuang Sampai Mati

Dengan kata lain, keberhasilan pemerintah untuk mewujudkan transisi energi yang berkeadilan, tidak dapat dipisahkan dengan keterlibatan perempuan dalam isu ini. Pemerintah perlu memastikan bahwa perempuan tidak hanya menjadi penerima manfaat dari proyek energi terbarukan, tetapi juga menjadi aktor yang terlibat aktif dalam setiap tahap proses transisi. 

Inklusi gender dalam transisi energi bukan hanya merupakan tanggung jawab moral, tetapi juga merupakan langkah strategis untuk memastikan keberhasilan transisi itu sendiri. Ketika perempuan diberdayakan dan dilibatkan secara aktif, mereka tidak hanya dapat membantu mempercepat adopsi energi terbarukan, tetapi juga menciptakan solusi yang lebih adil dan berkelanjutan untuk menghadapi krisis iklim.

Achmad Hanif Imaduddin adalah peneliti kebijakan publik dan ekonomi di Center of Economic and Law Studies (Celios).

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Achmad Hanif Imaduddin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *