Perempuan Masih Nomor Dua di Dunia Kerja, ini yang Harus Dilakukan Perusahaan
Jika kamu bagian manajemen perusahaan dan ingin menghapus bias gender yang tak disadari, dari mana harus memulainya?
Ini bukan kali pertama “Dini” kecewa dengan perusahaan tempatnya bekerja. Setelah bekerja tujuh tahun, sudah tiga kali Dini gagal dalam pemilihan asisten manajer. Padahal ia selalu menyiapkan diri dengan maksimal. Peluang terakhirnya kandas karena seorang senior laki-laki, yang baru hadir dua bulan di tim, dianggap lebih pantas mendapatkan posisi tersebut.
“Ini sih udah yang ketiga kali ya. Aku betul-betul merangkak dari staf di sini. Dekat juga sebetulnya dengan manager, tapi ya gitu, tiap asesmen ulang, nanti manajer suka bercanda, ‘Ah, kamu perempuan nikah aja lah, Din’. Selalu begitu,” cerita Dini pada Magdalene.
Meskipun andal dan berpengalaman, Dini tetap dianggap kurang kompeten untuk menempati posisi strategis. Setiap kali bertanya apa yang kurang dari dirinya, Dini selalu mendapatkan jawaban yang mengada-ada. Kendati kesal tapi demi bertahan hidup, Dini terlatih mengabaikan kegagalan dan memilih lanjut bekerja.
“Aku enggak ngerti aja kenapa cuma karena perempuan, aku dianggap enggak kompeten dalam memimpin. Katanya sih takut kepentok urusan suami dan anak kalau sudah menikah. Padahal, aku aja sampai sekarang masih single,” imbuhnya.
Bukan hanya Dini, “Nida” juga kerap dihadapkan dengan situasi serupa di tempat kerja. Perempuan pekerja di sektor tambang itu sering kali dipaksa untuk ikut pertemuan dengan klien yang bukan jadi tanggung jawabnya. Alasannya, sebagai perempuan, Nida dianggap jauh lebih “pantas” untuk mempersuasi. Ia bahkan pernah dipaksa membersamai klien malam-malam di luar jam kerja, agar kerja sama di antara dua perusahaan dapat terjalin.
“Aku benar-benar marah sih waktu disuruh ikut meeting malam-malam sama klien yang bukan tanggung jawabku. Saat kutanya kenapa harus aku, bos-bos tuh cuma jawab, ‘Kamu kan perempuan, lebih jago lah lobby-lobby’. Aku marah banget. Rasanya kayak dilecehkan gitu loh. Aku langsung mutlak menolak. Selain karena memang di luar jam kerja, aku merasa lobby-lobby yang mereka maksud ini lebih ke soal ‘menggoda’,” tutur Nida.
Pengalaman Dini dan Nida cuma sebagian contoh kecil saja. Mereka adalah korban dari bias gender yang tidak disadari (unconscious gender bias) yang umumnya menyasar perempuan. International Labour Organization (ILO) mendefinisikan unconscious gender bias sebagai asosiasi mental tidak disengaja dan otomatis yang didasarkan pada kelompok gender tertentu. Sumbernya dari beberapa faktor, seperti tradisi, norma, nilai, budaya, atau pengalaman yang cenderung menyudutkan dan merugikan perempuan.
Baca juga: Dari Beban Ganda hingga Bias Pribadi: Lagu lama Hambatan Perempuan Pekerja
Bias yang Tak Disadari
Bias gender sering kali jadi dasar pengambilan keputusan tak adil di perusahaan. ILO mencatat, stigma dan stereotip yang muncul dari bias ini memungkinkan hadirnya penilaian cepat terhadap seseorang secara tidak adil. Dampaknya serius, karena bisa memengaruhi perkembangan karier sampai melanggengkan ketimpangan upah.
Praktiknya, unconscious gender bias dapat muncul dalam lima bentuk, menurut ILO. Pertama, evaluasi kinerja yang maskulin; Kedua, penugasan pekerjaan yang tidak adil; Ketiga, sistem meritokrasi–penilaian berdasarkan kemampuan dan prestasi–yang semu; Keempat, kesempatan pengembangan kepemimpinan yang tidak adil; dan Kelima, norma di tempat kerja yang tidak adil gender.
Evaluasi kinerja biasanya dipenuhi dengan beberapa kriteria yang menjadi bahan asesmen buat pekerja. Celakanya, beberapa kriteria itu bersifat maskulin dan abai dengan posisi perempuan secara struktural. Misalnya, indikator kinerja soal ketersediaan untuk tidak pernah absen dalam mobilitas geografis, alias fleksibel ditugaskan ke mana saja dan kapan saja. Buat perempuan ini jadi hambatan karena mereka masih bertanggung jawab pada tugas domestik, berbeda dengan lelaki.
Demikian halnya, penugasan kerja tak adil menitikberatkan pada persepsi yang subjektif, alih-alih kompetensi pekerja. Misalnya, pekerja perempuan sengaja tak ditempatkan di divisi yang dicap maskulin, seperti teknik, konstruksi, mesin, atau per-listrik-an karena dianggap tak mampu. Sebagai gantinya mereka ditempatkan di jabatan seperti administrasi, sekretariat, atau keuangan. Di dunia jurnalistik, praktik ini jamak menimpa jurnalis perempuan yang urung ditempatkan di desk politik, hukum, kriminal, atau investigasi meski punya kemampuan. Lalu mereka dilempar ke desk hiburan, gaya hidup, atau kuliner.
Baca juga: Pekerja Perempuan Alami Intimidasi Soal Jilbab, Perlu SKB 3 Menteri?
Perusahaan Wajib Berbenah
Meskipun bukan jadi faktor utama, unconscious gender bias nyatanya punya andil atas minimnya angka pemimpin perempuan di perusahaan. Dalam penelitian Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) bersama Indonesia Stock Exchange (IDX) dan BOI Research disebutkan, jumlah perempuan yang menempati jabatan-jabatan strategis cukup minim. Dari 200 perusahaan partisipan, cuma ada 8 perempuan yang menempati posisi eksekutif. Perempuan yang menempati posisi fungsional pun hanya 19 persen dari total keseluruhan perusahaan.
Rendahnya partisipasi perempuan pemimpin membuat penciptaan lingkungan kerja inklusif dan bebas bias tak disadari, bisa jadi jalan keluar. Andri, Brand Communication IBCWE menilai inklusivitas bukanlah nilai tambah tapi nilai utama perusahaan.
“Bagi IBCWE, inclusivity jadi salah satu core values. Ini adalah kualitas yang menjamin kebebasan serta ruang aman untuk masing-masing pekerja. Perusahaan wajib menjamin sampai memberikan dukungan bagi tiap-tiap individu,” jelas Andri.
Sebagai organisasi yang bergerak untuk mendorong tempat kerja inklusif, IBCWE memiliki alat asesmen untuk mengidentifikasi dan memetakan kondisi kesetaraan gender di perusahaan. Proses asesmen melihat sepuluh aspek. Di antaranya penyelarasan strategi antara kesetaraan gender dan prioritas bisnis, kepemimpinan dan akuntabilitas, kesetaraan upah gender, komposisi gender dalam angkatan kerja, pengarusutamaan kerja fleksibel untuk kinerja dan dukungan, sampai pelatihan kesetaraan gender di tempat kerja.
Selain lewat asesmen, upaya mendorong inklusivitas di perusahaan juga sebenarnya ditegakkan lewat regulasi pemerintah. Contohnya, Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 88 Tahun 2023 Tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerjadan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik.
Baca juga: Perempuan Pekerja Lepas: Akrab dengan Stigma Pengangguran, Perawan Tua
Bisa Dimulai dari Regulasi yang Adil
Membicarakan penciptaan lingkungan kerja yang inklusif, Magdalene ngobrol dengan Kristy Nelwan, Head of Communication Unilever Indonesia, (4/10). Menurutnya, inklusivitas bukan cuma soal kesetaraan, tapi juga keadilan untuk semua pekerja.
“Inklusivitas itu hal paling dasar bagi kami. Core values yang mewajibkan kami untuk menghormati semua bentuk perbedaan, memperlakukan semua setara, dan ini bukan sebatas equality aja ya, tapi equitability juga. Intinya memberikan kesempatan buat semua, sesuai dengan kekuatan dan kebutuhan masing-masing,” ungkapnya.
Di Unilever sendiri, terdapat tiga pilar praktik inklusivitas yang semuanya termuat dalam regulasi. Pilar ini meliputi keadilan gender, keadilan untuk penyandang disabilitas, dan penghapusan atas diskriminasi dan stigma.
Keadilan gender di Unilever dipastikan dengan pembuatan peraturan yang jelas sampai penciptaan sistem implementasi yang konkret. Melalui regulasi ini, imbuhnya, Unilever bertekad menjamin sistem yang jelas sebagai panduan pelaksanaan pemberian hak gender yang adil.
“Yang kita lakukan pertama dan paling penting itu pastikan ada enabler-nya. Caranya dengan memastikan peraturannya ada, dan sistem implementasi, serta reinforcement-nya juga ada. Jadi ada guidance-nya gitu untuk kita memastikan itu berjalan atau tidak,” kata Kristy.
Sebagai salah satu penerapannya, Unilever menjamin pemberian hak cuti melahirkan yang berkeadilan, baik bagi ibu atau ayah. Enggak cuma itu, perusahaan pun wajib memberikan pelatihan bagi para senior yang di timnya terdapat perempuan hamil. Tujuannya agar tiap perjalanan menjadi ibu tiap karyawan dapat lebih nyaman di Unilever.
“Maternity leave kita untuk karyawan perempuan itu empat bulan. Terus kita juga kasih paternity leave buat karyawan laki-laki. Jadi kita juga sangat mendorong karyawan laki-laki itu untuk menjadi orang tua yang modern, yang terlibat. Selain itu kita juga punya training in place. Training buat manajernya, manajer yang salah satu timnya baru mulai memasuki motherhood journey,” jelas Kristy.
Unilever sendiri memiliki proporsi yang hampir seimbang antara jumlah pekerja perempuan dan laki-laki. Pada posisi strategis seperti senior manajer, 47 persen dari pimpinan ini adalah perempuan. Meski begitu, Kristy merasa tetap perlu mengembangkan lingkungan kerja yang berkeadilan. Angka ini bukanlah akhir dari perjuangan perusahaan menciptakan iklim kerja yang inklusif.
Dalam hal pemenuhan keadilan untuk penyandang disabilitas, penyediaan fasilitas dan regulasi sistem yang inklusif jadi aspek penting. Di Unilever, pelatihan seputar pengenalan budaya disabilitas jadi agenda rutin yang dilakukan. Mereka juga terbuka bagi para pekerja dengan disabilitas. Pembekalan mentor/ manajer jadi poin penting yang harus dilakukan.
“Untuk aspek disabilitas, fasilitas yang ramah disabilitas ini penting. Of course dibarengi juga dengan pengadaan peraturan dan sistem implementation and reinforcement yang jelas. Kantornya juga ramah disabilitas. Terus kita juga adakan training buat karyawan mengenai budaya disabilitas. Kita ada training juga untuk karyawan untuk bisa sign language,” tambah Kristy.
Bagi Kristy, menciptakan lingkungan kerja yang inklusif tak hanya menguntungkan karyawan, tapi juga perusahaan. Ketika karyawan mendapatkan haknya secara adil, hal ini tentu juga berdampak ke perusahaan, baik secara pendapatan, maupun keberlanjutan bisnis.
“Pada kenyataannya, our consumers are diverse. Kalau kita enggak diverse, enggak inklusif, bagaimana kita mau memahami dan bisa memberikan produk yang mereka perlukan? Dan kemudian itu artinya bisnis kita striving, kan. So, pada akhirnya, penciptaan lingkungan yang inklusif ini tentu juga kasih benefit buat semua. Ini bukan soal menguntungkan satu kelompok gender tertentu. Enggak. It’s just balancing out, gitu,” pungkas Kristy.
Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.
Series artikel lain bisa dibaca di sini.