Issues Politics & Society

Budaya Kehormatan Bikin Perempuan di Turki jadi Korban Femisida

Turki kembali mencatat ratusan kasus femisida dalam enam bulan pertama di 2024. Peneliti mengungkapkan femisida terus terjadi karena budaya kehormatan

Avatar
  • October 11, 2024
  • 7 min read
  • 574 Views
Budaya Kehormatan Bikin Perempuan di Turki jadi Korban Femisida

Peringatan: Penggambaran ekspilit femisida, pembunuhan terhadap perempuan

Pada 5 Oktober lalu, ratusan perempuan Turki turun ke jalan dan memadati area sekitar Gerbang Adrianople di distrik Fatih, Turki. Tembok kota yang bersejarah itu jadi saksi berdarah femisida İkbal Uzuner dan Ayşegül Halil, dua perempuan berusia 19 tahun oleh Semih Çelik. Dilaporkan media Turki, Duvar English sebelum mengakhiri nyawanya sendiri, Semih Çelik menggorok leher Ayşenur dan memutilasi İkbal Uzuner.

 

 

Hingga kini pihak kepolisian masih mendalami kasus pembunuhan ini. Belum diketahui pasti hubungan pelaku dengan korban. Sementara itu Pengadilan Istanbul resmi memberlakukan larangan penyiaran atas kasus tersebut. Putusan Pengadilan Istanbul menyebabkan kemarahan publik apalagi belakangan terungkap pembunuh melemparkan kepala İkbal Uzuner dari tembok dengan ibu korban hadir di tempat kejadian.

Selama aksi, para perempuan membawa poster bertuliskan “Kementerian, buka matamu, perempuan telah dibunuh di sini” dan meneriakkan yel-yel meminta keadilan bagi para korban. Aksi protes ini memicu aksi protes lain di provinsi Bursa dan Mersin yang sebelumnya juga dikejutkan dengan kasus femisida lain.

Tak cuma di jalan, aksi protes para perempuan Turki kemudian berkembang di media sosial seperti X, Instagram, dan TikTok. Dengan hashtag #turkishwomenindanger, mereka membagikan berbagai fakta tentang kedaruratan femisida di Turki, kegagalan pemerintah dalam melindungi perempuan, serta cara untuk berpartisipasi dalam kampanye.

Baca Juga: Agar Tak Lenyap dalam Senyap: Begini Media Seharusnya Beritakan Femisida

Membunuh karena “Kehormatan

Femisida memang sudah sejak lama jadi masalah struktural di Turki. Ratusan perempuan selalu jadi korban setiap tahunnya, bahkan We Will Stop Femicides Platform (WWSFP), salah satu pemain besar dalam gerakan perempuan di Turki selama 12 tahun belakangan mencatat dalam enam bulan pertama tahun 2024, 205 perempuan telah dibunuh oleh laki-laki, dan 117 perempuan ditemukan tewas secara mencurigakan.

WWSFP menambahkan sama seperti tahun-tahun sebelumnya, pelaku femisida di enam bulan pertama tahun 2024 juga masih didominasi oleh pasangan atau mantan pasangan korban. Ada 86 korban dibunuh oleh suami, 22 oleh laki-laki yang pernah menjalin relasi dengan mereka, 20 oleh mantan suami. Ceyda Ulukaya and Büşra Yalçınöz Uçan dalam penelitian mereka soal femisida di Turki sempat menjelaskan bahwa terkait pola dan karakteristiknya, pembunuhan oleh pasangan intim memang jadi bentuk femisida yang paling umum terjadi di Turki.

Pembunuhan oleh pasangan intim ini tak lepas dari kentalnya budaya patriarki di masyarakat Turki yang direpresentasikan lewat konsep “kehormatan”. Mehtap Hamzaoglu, peneliti asal Turki pernah menjelaskan dalam penelitiannya, konsep kehormatan di masyarakat Turki tak cuma soal masalah seksualitas perempuan saja, tetapi mengacu pada hidup perempuan itu sendiri. Budaya kehormatan di Turki merujuk pada dominasi laki-laki atas perempuan dan posisi hierarkis mereka, sehingga pada gilirannya kehormatan jadi alat bagi laki-laki untuk menentukan dan membatasi kehidupan perempuan.

Pemahaman soal persepsi ini membuat keyakinan kolektif masyarakat Turki tentang nilai-nilai keluarga dan ketimpangan gender sebagai fenomena alamiah jadi sangat kuat. Pembunuhan demi kehormatan pun menjadi suatu hal yang lazim. Ini karena kehormatan mewakili nilai paling penting dalam hidup, sehingga hilangnya kehormatan (laki-laki) sama saja dengan hilangnya nyawa itu sendiri.

Dalam konteks femisida, konsep kehormatan ini terefleksi dari tiga motif femisida yang dilakukan pasangan intim yang ditemukan Ulukaya dan Ucan. Masing-masing adalah upaya perempuan untuk berpisah/cerai, kecurigaan perselingkuhan, dan konflik kehidupan sehari-hari.

Motif pertama dan kedua menggarisbawahi konteks dominasi dan kendali laki-laki yang terwujud dalam sikap posesif. Untuk motif pertama khususnya, kehormatan laki-laki sangat terlukai. Perempuan dengan sadar berusaha keluar dari dominasi dan kendali laki-laki dengan cara mengambil keputusan atas hidup mereka sendiri dan menolak untuk rujuk.

Human Rights Watch (HRW) dalam laporannya pada 2022 sempat mendokumentasikan 10 femisida dengan motif pertama ini, salah satunya adalah kasus femisida Yaman Akoda, 38, yang sempat menghebohkan Turki 2021 lalu. Akoda ditembak mati oleh suaminya, Eşref Akoda di luar rumahnya di kota Aksaray, Anatolia tengah.

Sebelum pembunuhannya, pengadilan telah empat kali mengeluarkan perintah pencegahan untuk menjauhkan Eşref dari Yaman. Perintah ini dikeluarkan setelah pada Februari suaminya mengancam dan melecehkannya untuk mencegah korban mengajukan gugatan cerai.

Sedangkan terkait konflik kehidupan sehari-hari, Ulukaya dan Ucan menemukan alasan pelaku membunuh perempuan banyak didasarkan alasan sepele. Beberapa di antaranya beririsan dengan peran gender tradisional perempuan dalam budaya patriarki memang direndahkan. Hal ini sekaligus mengonfirmasi betapa mengakarnya budaya patriarki di sana.

“Keputusan atau perilaku sederhana perempuan seperti pulang terlambat atau tidak memasak menjadi 51 persen alasan pembunuhan,” tulis mereka.

Baca Juga: Mengenal Definisi Pencabulan, Pelecehan Seksual, dan Pemerkosaan

Pemerintah yang Gagal Melindungi Perempuan

Dalam laporan enam bulan pertama tahun 2024, WWSFP sempat menyatakan bahwa angka femisida di Turki terus meningkat sehubungan dengan keputusan Presiden Erdogan menarik perjanjian Konvensi Istanbul pada 1 Juli 2021. Konvensi Istanbul ini adalah instrumen hak asasi manusia yang menawarkan kerangka hukum untuk melindungi perempuan dari kekerasan dan mempromosikan kesetaraan gender, melalui legislasi, pendidikan, dan peningkatan kesadaran.

Mengutip dari Amnesty International, empat prinsip utama Konvensi Istanbul mencakup pencegahan, perlindungan, penuntutan pidana, dan koordinasi kebijakan bertujuan untuk menyediakan struktur yang komprehensif untuk memerangi kekerasan berbasis gender. Konvensi ini berhasil menetapkan mekanisme pemantauan khusus dan spesifik pada paragraf ke-5 Pasal 12 Konvensi Istanbul menolak konsep relativisme budaya seperti “kehormatan” dengan pemahaman universal tentang hak asasi manusia. Dinyatakan bahwa:

“Para pihak harus memastikan bahwa budaya, adat, agama, tradisi, atau apa yang disebut ‘kehormatan’ tidak boleh dianggap sebagai pembenaran untuk setiap tindakan kekerasan yang tercakup dalam ruang lingkup Konvensi ini.”

Melalui ratifikasi dan implementasinya, Konvensi ini menghasilkan perbaikan yang signifikan. Hal ini termasuk pembentukan saluran bantuan 24 jam untuk para penyintas kekerasan dalam rumah tangga di Finlandia, hingga pengenalan definisi yang lebih mendetail soal pemerkosaan di Islandia, Swedia, Yunani, Kroasia, Kroasia, Malta, Denmark, dan Slovenia sejak 2018.

Menjadi suatu ironi ketika pada akhirnya Konvensi ini malah justru ditarik oleh negara pertama yang meratifikasinya. Dengan menarik diri dari konvensi, Turki tidak lagi tunduk pada pengawasan Kelompok Ahli untuk Aksi Menentang Kekerasan terhadap Perempuan (GREVIO), komite yang ditugaskan untuk memantau pemenuhan kewajiban negara di bawah konvensi. Mereka jadi pihak yang punya kuasa besar untuk mendesak pihak berwenang (pemerintah) melindungi perempuan dan mendorong pentingnya akuntabilitas atas kegagalan pihak berwenang.

Dikutip dari laporan HRW yang sama, beberapa pengacara hak-hak perempuan dan pendiri organisasi hak-hak perempuan yang berfokus pada kekerasan dalam rumah tangga menyuarakan pandangan bahwa motivasi Kepresidenan untuk menarik diri dari konvensi tersebut mungkin juga untuk menghindari pengawasan dari pemantauan GREVIO. Tapi, terlepas dari pandangan ini, penarikan Konvensi Istanbul oleh Erdogan sebenarnya tak jauh dari budaya patriarki yang mendarah daging di sendi-sendiri pemerintahannya.

BBC melaporkan sebagai presiden terpilih, Erdogan tunduk pada tuntutan kelompok garis keras, baik di dalam partai konservatif Justice and Development Party (AKP) maupun di Partai Felicity yang beraliran Islam sebagai imbalan atas dukungan mereka. Mereka yang menentang Konvensi ini mengatakan bahwa Konvensi Istanbul justru mendorong perceraian dan merongrong nilai-nilai keluarga tradisional.

Juru bicara Presiden Erdogan, Fahrettin Altun, berargumen bahwa tujuan awal Konvensi Istanbul untuk mempromosikan hak-hak perempuan telah “dibajak oleh sekelompok orang yang berusaha menormalkan homoseksualitas” dan bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial dan keluarga di Turki.

Mengutip dari penelitian Hamzaoğlua, nilai-nilai sosial dan keluarga di Turki ini salah satunya mengacu pada budaya kehormatan. Hal ini tercermin dalam penyerahan laporan berjudul “Penilaian Hukum dan Psikososial Konvensi Istanbul” pada bulan Mei 2020 oleh Thought Platform of Türkiye yang diketuai oleh akademisi Muslim Prof. Hayrettin Karaman. Dalam laporan tersebut mereka secara eksplisit menyebutkan Konvensi Istanbul telah memperdebatkan dan merendahkan kehormatan sebagai bagian dari norma sosial masyarakat Turki.

Tentunya saat Erdogan memutuskan menarik Konvensi ini, banyak masyarakat Turki terutama perempuan yang marah. Serangkaian aksi turun ke jalan dilakukan dan untuk meredamnya para anggota senior AKP mengumumkan bahwa mereka akan menangani kekerasan dalam rumah tangga melalui reformasi peradilan dan Konvensi Ankara yang akan mengklaim kekuatannya dari “tradisi dan adat istiadat”.

Baca Juga: Jangan Takut Mencampuri, Bantu Korban KDRT

Sayang, menurut pantauan HRW hingga hari ini pemerintah Turki masih belum melaksanakan tugasnya dengan baik dalam melindungi perempuan. HRW mendapati kegagalan otoritas publik, pengadilan, dan jaksa penuntut untuk melakukan intervensi dengan sanksi tegas terhadap pelaku, termasuk penahanan praperadilan mereka, dan kurangnya koordinasi yang tepat antara lembaga-lembaga untuk memberikan perlindungan yang efektif kepada para korban.

Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk mengimplementasikan undang-undang dan arahan Turki sendiri tentang perlindungan, pencegahan, dan penuntutan terhadap para pelaku.

PR gerakan perempuan di Turki pun semakin berat karena menurut WWSFP kekuatan politik konservatif juga kian menguat. Mereka dan pendukungnya tanpa henti menyerang hak-hak perempuan, salah satunya berencana untuk memungkinkan adanya gugatan terhadap pemenjaraan paksa terhadap laki-laki yang melanggar perintah perlindungan.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *