Seperti biasanya, setiap pagi saya mengecek ponsel setelah bangun tidur. Pagi itu, notifikasi menampilkan empat pesan masuk di Instagram dari empat orang teman. Mereka mengirimkan postingan bertuliskan informasi yang sama: Liam Payne meninggal di usia 31 tahun.
Saya tertegun. Kedua telapak tangan dan kaki terasa dingin. Rasanya mustahil untuk beraktivitas, karena otak saya sibuk memutar memori yang dilalui bersama One Direction sejak 2014. Salah satunya saat pertama kali memperhatikan Liam di video klip “Midnight Memories”. Momen itu juga, dia menjadi anggota One Direction favorit saya.
Baca Juga: Parasocial Break-Up: Patah Hati Karena Karakter Fiksi
Bagi saya yang waktu itu berusia belasan tahun dan lebih sering menghabiskan waktu di internet, kehadiran mereka seperti angin segar. Rasanya menyenangkan karena ada yang dinantikan sepulang sekolah: Update informasi terkini soal One Direction di X (dulunya Twitter). Entah jadwal manggung, wawancara dengan media, interaksi mereka dengan Directioners—sebutan untuk penggemar One Direction, dan mendengarkan single terbaru berulang kali supaya menduduki peringkat satu tangga lagu Billboard Hot 100.
Sedangkan Liam, saya enggak hanya mengagumi Duchenne smile yang menjadi ciri khasnya—senyum yang membuat ujung mata berkerut dan menunjukkan kebahagiaan, atau kepribadiannya yang lebih dewasa dibandingkan anggota One Direction lain. Kemampuan Liam dalam menulis lagu juga brilian.
Contohnya “Better Than Words”, yang baitnya terdiri dari kumpulan beberapa judul lagu populer—kecuali bagian bridge. Ide Liam selaras dengan tema lagu ini: menceritakan tentang hubungan seks yang tak bisa disampaikan dengan kata-kata, sehingga menggunakan “kata-kata” lain untuk mengungkapkannya.
Karenanya, kematian Liam terasa seperti menelan pil pahit. Termasuk saat menulis esai ini, yang memberatkan hati karena berulang kali harus mengakui kematiannya, lewat ketikan seperti “Liam meninggal”. Sosok yang membuat masa-masa remaja lebih berkesan dan mudah dilalui, kini sudah pergi. Kebersamaan kami—Directioners dan Liam—tinggal kenangan. Tak ada lagu, konten, atau berita terbaru soal Liam yang akan didengar. Dan One Direction tak akan utuh lagi.
Meski interaksi kami sebatas di dunia maya dan sosok Liam tampak tak nyata di keseharian, bagi saya, kepergian Liam sama dengan kehilangan orang yang dikenal. Setiap karyanya berbicara pada saya, menawarkan kenyamanan sekaligus dukungan emosional saat menghadapi hari-hari yang sulit. Setelah kejadian ini, saya baru mengenal, ini dampak dari parasocial relationship ketika sosok yang diidolakan tiada.
Baca Juga: Diamnya ‘Idol’ atas Genosida Palestina: Saya ARMY dan Kecewa dengan BTS
Sistem Ekonomi di Balik Parasocial Relationship
Dalam parasocial relationship, penggemar punya kedekatan atau hubungan yang intim dengan sosok yang diidolakan. Faktornya karena sering terpapar informasi seputar public figure lewat media, yang kemudian membentuk keintiman. Misalnya mengikuti update terkini dari fan account atau berita, menonton film, mengikuti konten mereka di media sosial, atau menyaksikan penampilan idola di acara televisi maupun konser sampai rela live streaming.
Namun, sebenarnya keintiman antara penggemar dan idola enggak hanya dibangun lewat paparan media, tapi juga sistem ekonomi yang dibentuk oleh public figure dan manajemennya.
Contohnya saat penyanyi merilis album dan melakukan tur. Selain tiket konser, umumnya mereka menjual merchandise berupa kaset, CD, piringan hitam yang belakangan populer, sampai pakaian dan aksesoris.
Produk-produk itu akan meningkatkan antusiasme penggemar untuk membeli, sebagai bentuk dukungan finansial terhadap idola sekaligus mempererat relasi secara emosional—sebagaimana disampaikan Rania Dinningrum dan Nur Satiti dalam risetnya pada 2022. Selain itu, memiliki merchandise pun termasuk cara mengekspresikan loyalitas penggemar terhadap idola, membuat mereka merasa eksklusif, serta menjadi bagian dari fandom.
Loyalitas dari segi ekonomi ini juga ditunjukkan lewat streaming lagu di platform digital maupun radio. Saya ingat, sewaktu One Direction masih aktif berkarya, Directioners berbagi tips supaya lagu mereka berada di puncak teratas Billboard Hot 100 dan sering diputar di radio. Tujuannya satu: memperluas jangkauan pendengar.
Di balik itu, penyanyi pun diuntungkan secara finansial karena mendapat royalti setiap kali lagunya diputar. Karena itu, mereka mempertahankan relasi dengan penggemar lewat berbagai interaksi, supaya kariernya juga lebih panjang. Baik di dunia maya maupun saat bertemu daring.
Banyak yang tak sadar, sebenarnya penggemar adalah komoditas dan konsumen utama public figure. Kenyataannya, sejumlah produk di atas membuat mereka semakin terikat dengan idolanya sehingga merasa senang, nyaman, dan terhibur dalam parasocial relationship. Karena itu, saat idola meninggal, penggemar merasa kehilangan. Sebab, tokoh idola merupakan bagian penting dalam berbagai momen kehidupan—entah menyenangkan atau menyedihkan.
Di sisi lain, dalam parasocial relationship, sebenarnya idola memiliki kontrol atas perilaku penggemar. Tak hanya mendorong keinginan membeli merchandise, tiket konser, dan streaming lagu. Mereka juga punya celah untuk melakukan kekerasan, dan membuat korban—dalam konteks ini penggemar—tunduk terhadap keinginannya.
Baca Juga: Bertabur Kekerasan, Mungkinkah ‘Fandom’ Jadi Ruang Aman Perempuan?
Ada Relasi Kuasa Timpang dalam Hubungan Idola dan Penggemar
Dua pekan sebelum meninggal, beberapa penggemar perempuan menceritakan bahwa Liam pernah meminta foto eksplisit lewat direct message Instagram dan Snapchat. Bahkan, ia juga mengirimkan foto eksplisitnya tanpa consent, terhadap penggemar di bawah umur.
Salah satu korban menyatakan, sebelum menyadari tindakan tersebut adalah pelecehan, ia bersedia mengirimkan foto eksplisit karena Liam adalah anggota One Direction favoritnya. Dan ia terkesan karena bisa berhubungan dengan Liam selama dua tahun—dengan kondisi Liam punya pasangan dan bayi.
Keinginan dan keberanian korban untuk speak up di media sosial, dilatarbelakangi oleh Maya Henry—model sekaligus mantan tunangan Liam. Lewat buku dan sejumlah wawancara, ia mengungkapkan bahwa Liam berperilaku abusive dan manipulatif selama mereka pacaran. Misalnya memaksa Maya aborsi dan mengancam mengakhiri relasi mereka, jika ingin mempertahankan kehamilan. Atau bolak-balik mengancam akan bunuh diri.
Cerita-cerita korban sempat membuat saya bergumul ketika mendengar kematian Liam: apakah saya bisa berduka, atau menangisi Liam membuat saya menjadi seorang enabler pelaku kekerasan?
Sebab, perbuatan Liam mencerminkan relasi kuasa yang dimiliki seorang public figure terhadap penggemarnya. Ia tahu penggemar akan “patuh” dengan idola, sehingga Liam memanfaatkan privilesenya demi mendapatkan foto eksplisit penggemar. Untuk menghapus jarak antara idola dan penggemar, Liam mendekati korban lewat obrolan—yang membuat penggemar senang karena bisa berinteraksi secara personal.
Di kondisi tersebut, penggemar berada dalam posisi rentan karena tak sepenuhnya punya kuasa untuk menolak. Apalagi jika masih di bawah umur, seseorang belum memiliki kematangan emosional.
Contohnya korban pelecehan Michael Jackson pada 1993 yang berusia 13 tahun. Atau Lori Maddox, model sekaligus baby groupie David Bowie dan Jimmy Page, yang masih berumur 14 tahun saat berhubungan seks dengan kedua bintang tersebut. Waktu itu, Maddox tak sadar dengan kekuatan yang tak seimbang antara dirinya dengan Bowie dan Page. Ia justru merasa dilindungi, alih-alih melihat dirinya sebagai minor yang dieksploitasi.
Relasi kuasa yang timpang antara idola dan penggemar yang harus diperhatikan. Sebagai idola yang diuntungkan dari parasocial relationship—yang bukan cuma menempatkan mereka pada posisi berkuasa lewat kapital uang, tapi juga ketenaran—mereka punya celah lebih besar melakukan kekerasan.
Banyak penggemar yang masih belum menyadari hal tersebut. Sehingga masih membabi buta membela idolanya. Beberapa orang yang paham relasi kuasa timpang itu, mungkin bahkan masih bingung ketika juga dilanda duka saat idolanya meninggal mendadak. Seperti saya, saat mendengar kabar duka kematian Liam.
Mendukung mereka di masa remaja jadi bagian hidup saya. Sehingga duka yang datang terasa masuk akal dan nyata. Tapi, saya yang hari ini mengerti bahwa idola bukan manusia yang lepas dari tanggung jawab. Mereka tetap harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Penggemar, secara kolektif, juga punya kekuatan untuk menuntut akuntabilitas tersebut. Misalnya meng-cancel karya mereka, dan mengkritik perilakunya di media sosial.
Pernah dengar, ‘your feeling is valid’? Semua jenis perasaan adalah valid. Tak ada yang bisa mengatur apa yang boleh dan tidak boleh kamu rasakan. Termasuk duka yang datang ketika idolamu meninggal. Namun, yang penting adalah upaya untuk tetap bertanggung jawab atas aksi yang kamu pilih lakukan karena perasaan-perasaan tersebut.