Environment Issues Opini

Muslimah yang Menolak Menyerah di Tengah Krisis Iklim

Kisah para perempuan Muslim yang berhasil menunjukkan keberdayaannya menghadapi krisis iklim.

Avatar
  • October 25, 2024
  • 6 min read
  • 157 Views
Muslimah yang Menolak Menyerah di Tengah Krisis Iklim

Selama beberapa dekade terakhir, aktivitas manusia diakui sebagai penyebab utama perubahan iklim. Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta tentang Potret Muslim Ramah Lingkungan di Indonesia mengonfirmasi ini.

Dalam survei itu disebutkan, mayoritas masyarakat Indonesia (46,17 persen) percaya perubahan iklim mayoritas dipicu tindakan manusia. Lebih lanjut, sekitar 70 persen masyarakat Indonesia setuju perubahan iklim dipicu kegiatan ekonomi seperti perkebunan sawit, pertambangan, dan sejenisnya.  

 

 

Lepas dari penyebabnya, krisis iklim berdampak buruk terhadap penurunan angka harapan hidup perempuan. Ia juga mempertajam kesenjangan gender. Perempuan menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dampak krisis lingkungan, tulis Widayatun dan Fatini dalam “Permasalahan Kesehatan dalam Kondisi Bencana: Peran Petugas Kesehatan dan Partisipasi Masyarakat” (2013). Sekitar 55-70 persen korban meninggal adalah perempuan.

Tingginya angka kematian perempuan sebagian besar disebabkan oleh kurangnya penanganan pasca-bencana yang mempertimbangkan kerentanan khusus mereka. Contoh, dalam bencana tsunami di Aceh dan badai Katrina di Amerika, penanganan pasca-bencana tak memerhatikan kebutuhan khusus perempuan.

Di tengah krisis iklim ini, berbagai adaptasi dan mitigasi pencegahan krisis iklim dilakukan. Salah satunya dengan gerakan Green Islam. Gerakan ini berupaya mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam ajaran Islam, serta mendukung praktik-praktik ramah lingkungan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Selain membuat hasil survei nasional, PPIM UIN Jakarta juga melakukan penelitian tentang Gerakan Green Islam di Indonesia. Salah satu temuan menariknya soal peran perempuan dalam perlindungan lingkungan.  

Sebagai pengelola rumah tangga dan komunitas, perempuan sering kali berada di garis depan dalam mengatasi dampak perubahan iklim, seperti krisis air, kelangkaan pangan, dan bencana alam. Selain itu, mereka juga jadi penggerak perubahan dalam komunitas lokal untuk mengadopsi solusi yang ramah lingkungan. Sebut saja pengelolaan limbah, penggunaan energi terbarukan, dan penanaman pohon. Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat lokal maupun global, juga sangat penting untuk menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan responsif terhadap isu lingkungan. 

Baca juga: Kerja Sama Agama dan Gender Membantu Adaptasi Iklim Warga Pantura

Bagaimana Muslimah Ambil Peran? 

Keterlibatan perempuan dalam penyelamatan lingkungan, khususnya krisis iklim, telah dilakukan oleh sejumlah komunitas Green Islam di Indonesia. Penelitian PPIM UIN Jakarta menemukan, pelibatan perempuan dalam gerakan ini berpotensi memperluas aktivisme lingkungan di kalangan masyarakat. Salah satu contohnya adalah organisasi Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), yang jadi bagian dari gerakan tersebut.  

Organisasi yang dipimpin oleh Farwizah Farhan ini berdiri pada 2013. Mereka berfokus pada pengawalan aktivitas ilegal di kawasan hutan. Salah satu program yang dimiliki oleh HAkA adalah advokasi kebijakan untuk memperkuat perlindungan lingkungan, terutama dalam konteks hutan dan lingkungan di Aceh. Dalam menjalankan sejumlah programnya HAkA mengadopsi pendekatan pemberdayaan masyarakat (community empowerment), terutama dengan melibatkan kelompok perempuan, seperti Ranger Perempuan.

Kelompok perempuan tersebut bergerak memantau hutan desa untuk menolak pembangunan tidak berkelanjutan di wilayah masyarakat. Kegiatan itu dilakukan guna menghindari konflik parsial antara masyarakat dengan perusahaan. Ini mengingat belum banyaknya dukungan dari kalangan masyarakat.  

Salah satu upaya HAkA dalam menyebarkan kesadaran perlindungan lingkungan adalah dengan mendukung Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam merumuskan Fatwa MPU Aceh Nomor 3 Tahun 2022 tentang Perburuan dan Perdagangan Satwa Liar Menurut Perspektif Syariat Islam. Fatwa ini menegaskan, membunuh satwa tanpa alasan jelas dan tidak dapat dibenarkan haram hukumnya.

Lahirnya fatwa tersebut kemudian menjadi basis pintu masuk HAkA untuk mengorganisasi dan berkolaborasi dengan teungku inong dan teungku agam di seluruh wilayah dayah Aceh untuk menyebarluaskan pelestarian lingkungan dalam bentuk pelatihan dan workshop

Baca juga: Jangan Saling Tuding, Gen Z dan Boomers Sama-sama Menderita karena Krisis Iklim

Selain HAkA, pemberdayaan ekonomi ramah lingkungan juga dilakukan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) DIY dan Komunitas Muslim Adat Ammatoa Kajang. LDII DIY, melalui Program Kampung Iklim (ProKlim), telah mendirikan sanggar UMKM Ecoprint & Craft SAngurejo (ECSA), yang berperan melatih perempuan membuat produk ecoprint bernilai jual tinggi dan tetap berkelanjutan. 

Para perempuan di sini dilatih menggunakan sampah organik daun untuk menciptakan karya seni ramah lingkungan yang dicetak pada kain dan bahan lainnya. Dengan kerja sama Omah Fatmah, sebuah eco printer ternama di Yogyakarta. Produk ecoprint ini telah berhasil dipasarkan di Yogyakarta, bahkan diperkenalkan di Hortus Botanicus Leiden, kebun botani tertua di Belanda. Tak hanya dalam seni ecoprint, LDII DIY juga memberdayakan Kelompok Wanita Tani (KWT) di Dusun Sangurejo. KWT ini merupakan kelompok ibu yang aktif dalam aksi penghijauan.

Di sisi lain, Komunitas Muslim Adat Ammatoa Kajang menempatkan perempuan sebagai penjaga tradisi dan sumber ekonomi melalui kerajinan tenun. Selain untuk keperluan masyarakat lokal, hasil tenun ini juga diproduksi dan dipasarkan ke luar wilayah adat. Berkat kolaborasi dengan AMAN, Kemitraan, dan instansi pemerintah terkait, perempuan Kajang turut berperan dalam meningkatkan ekonomi lokal sekaligus melestarikan tradisi dan lingkungan. 

Melalui inisiatif-inisiatif di atas, perempuan tidak hanya berperan sebagai agen perubahan yang proaktif dalam upaya pelestarian lingkungan, tetapi juga secara signifikan berkontribusi pada pembangunan ekonomi lokal yang berkelanjutan. Caranya dengan menciptakan sinergi antara konservasi alam dan peningkatan kesejahteraan komunitas melalui ekonomi kreatif berbasis sumber daya alam yang dikelola secara bijak. 

Selain berperan dalam pemberdayaan ekonomi berbasis lingkungan serta melakukan intervensi dan advokasi terkait isu-isu lingkungan, perempuan juga memiliki potensi besar dalam mengampanyekan kesadaran lingkungan melalui media sosial. Salah satu contoh yang menonjol adalah komunitas Eco Deen, terdiri dari remaja perempuan yang secara konsisten menyuarakan kampanye lingkungan di platform seperti Instagram dan Facebook. Sehingga, itu mampu menjangkau audiens yang lebih luas dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pelestarian lingkungan. 

Komunitas yang didirikan pada 2019 oleh Rissa Ozalifia ini mengampanyekan isu lingkungan, terutama dalam hal gaya hidup minimalis kepada masyarakat Muslim menengah ke atas di perkotaan dengan tiga pendekatan yaitu, edukasi, modul toolkit, dan aksi bersama. Selain EcoDeen, LLHPB Aisyiyah yang beranggotakan perempuan dari pusat hingga ranting di seluruh wilayah Indonesia aktif mengampanyekan pentingnya tanggap darurat bencana, terutama di wilayah-wilayah yang memiliki potensi terjadinya bencana longsor, banjir, dan gunung meletus.  

Baca juga: Lupakan ‘Gemoy’ dan ‘Oke Gas’, Saatnya Serius Kawal Aksi Iklim Presiden Terpilih

Di Jawa Tengah misalnya, dalam rangka merespons maraknya fenomena perubahan iklim, LLHPB Aisyiyah Jawa Tengah mengadakan Training of Trainer (ToT) berjudul “Siap Hadapi Bencana”. Kegiatan tersebut diikuti oleh pengurus, Majelis PAUD Disdakmen, dan Ikatan Guru Aisyiyah Bustanul Athfal (IGABA) di Jawa Tengah. Selama ToT peserta mendapatkan materi tentang pemahaman water rescue, penanaman pohon dengan pola asuh, dan lainnya dengan menghadirkan narasumber dari MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center) (Suara Aisyiyah, 2024). 

Beberapa contoh di atas merupakan gambaran, eksistensi perempuan sebagai agen perubahan dalam isu lingkungan sangat berperan. Baik itu secara praktik maupun hanya melalui wacana konsep ide, perempuan memiliki kontribusi besar sebagai garda terdepan dalam upaya mitigasi krisis iklim dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.

Partisipasi perempuan dalam setiap pengembangan dan perencanaan kebijakan lingkungan yang telah diwakilkan oleh para aktivis dan perempuan penggerak di atas telah membuktikan dan menguatkan alasan, bahwa perempuan tidak hanya sebagai supporting complementary atau pelengkap saja tetapi juga cukup memainkan peran penting sebagai pengambil keputusan dan agen perubahan.  

Ilustrasi oleh: Karina Tungari

Firda Amalia ([email protected]) adalah asisten peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM UIN Jakarta) dan Tati Rohayati ([email protected]) adalah peneliti di PPIM UIN Jakarta dan Dosen Sejarah Peradaban Islam di FAH UIN Jakarta 



#waveforequality


Avatar
About Author

Firda Amalia and Tati Rohayati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *