Bagaimana ‘Fragile Masculinity’ Berpengaruh ke Perempuan?
Apa itu fragile masculinity? Kenapa ia bukan cuma beracun ke perempuan, tapi juga buat laki-laki?
“Jangan terlalu mandiri dong, nanti enggak ada cowok yang mau!”
“Enggak usah aktif ikut kegiatan ini-itu, takutnya nanti enggak punya waktu buat ngurus pasangan.”
“Jangan terlalu pintar, ntar gak ada cowo yang mau.”
Ucapan-ucapan seperti ini masih sering kita dengar. Bisa muncul dari laki-laki, atau perempuan. Ia muncul dari pola pikir masyarakat yang sudah terbiasa dengan budaya patriarki. Sayangnya, pola pikir demikian melahirkan sebuah konsep yang diidap para lelaki yang nyaman dengan kultur beracun ini, sesuatu yang biasa disebut fragile masculinity atau maskulinitas rapuh.
Konsep ini masih belum banyak dipahami, padahal dampaknya bisa besar pada hubungan sosial, khususnya bagi perempuan.
Pengertian Fragile Masculinity
Menurut Psychology Today, Fragile Masculinity and Hypermasculine Defenses, fragile masculinity, atau maskulinitas rapuh, menggambarkan kondisi ketika pria merasa enggak aman atau terancam dalam peran maskulinitasnya. Ini bukan cuma soal keraguan diri, tapi juga soal tekanan sosial yang membuat pria merasa harus terus menyesuaikan diri dengan standar maskulin yang kaku dan kadang nggak masuk akal.
Dalam psikologi, fragile masculinity dilihat sebagai ketidakstabilan yang bikin pria merasa perlu mempertahankan citra maskulin dengan cara yang berlebihan. Kondisi ini sering muncul karena kurangnya penerimaan terhadap variasi maskulinitas dan tekanan untuk selalu mengikuti aturan sosial yang terbatas.
Baca Juga: 5 Tanda Kamu Punya Maskulinitas Rapuh
Ciri-ciri Fragile Masculinity
Pria yang mengalami fragile masculinity cenderung defensif, bahkan bisa agresif. Beberapa ciri yang sering muncul, antara lain:
Takut Terlihat Lemah
Pria dengan maskulinitas rapuh sering menghindari menunjukkan emosi atau kelemahan. Buat mereka, mengekspresikan perasaan yang “lembut” seperti sedih atau cemas dianggap bisa merusak citra maskulinitas yang ideal.
Kebutuhan untuk Dominasi
Fragile masculinity bikin pria merasa perlu selalu dominan, baik di lingkungan pribadi maupun sosial. Kadang mereka merasa terancam sama perempuan yang sukses, karena dianggap “mengganggu” status maskulinitas mereka.
Ketergantungan pada Peran Gender Tradisional
Pria dengan fragile masculinity cenderung memegang peran gender tradisional dengan erat. Mereka percaya bahwa pria harus kuat dan jadi pengambil keputusan utama, sementara perempuan harus di posisi subordinat. Sikap ini bisa menghambat kemampuan mereka buat menghargai kesetaraan gender.
Baca Juga: Lelaki Marah Ditinggal Pasangan Makan Duluan, Tanda Maskulinitas Toksik
Bagaimana Fragile Masculinity Terbentuk?
Maskulinitas rapuh terbentuk dari kombinasi berbagai faktor sosial, budaya, dan psikologis. Dikutip dari Sage Journals, When Is Masculinity Fragile? An Expectancy-Discrepancy-Threat Model of Masculine Identity, berikut beberapa penyebab utama:
Budaya Patriarki
Budaya patriarki mendorong pria untuk selalu tampil kuat dan dominan. Sejak kecil, anak laki-laki sering diajarkan kalau menunjukkan emosi adalah tanda kelemahan. Kebiasaan ini terus melekat sampai dewasa, bikin pria merasa harus “membuktikan” kejantanan mereka.
Ekspektasi Gender yang Kaku
Masyarakat punya ekspektasi tertentu tentang “bagaimana seharusnya pria.” Contohnya, pria dianggap enggak boleh menangis atau bersikap lembut. Tekanan ini bisa memicu fragile masculinity, di mana pria merasa terancam kalau enggak bisa memenuhi standar tersebut.
Pengaruh Media
Media sering menggambarkan pria sebagai sosok kuat dan independen, tanpa sisi emosional yang sehat. Hal ini membuat banyak pria merasa harus memenuhi citra kuat tersebut, yang akhirnya bikin mereka insecure kalau enggak bisa.
Dampak Psikologis Fragile Masculinity
Fragile masculinity enggak hanya memengaruhi hubungan sosial, tapi juga kesehatan mental pria itu sendiri. Ketidakmampuan untuk menunjukkan emosi dan ketergantungan pada peran maskulin yang sempit bisa menimbulkan stres, kecemasan, bahkan depresi.
Fragile masculinity bukan cuma soal pria yang merasa perlu “kuat” setiap saat, tapi juga tentang bagaimana konstruksi sosial dan budaya menekan mereka dalam peran yang kaku, membatasi perkembangan diri mereka.
Baca Juga: Pertanyaan-pertanyaan buat Lelaki yang Mempertanyakan Maskulinitas
Bagaimana Fragile Masculinity Berpengaruh pada Perempuan?
Fragile masculinity sering membuat pria bersikap defensif dan enggak hanya berdampak pada diri mereka sendiri, tapi juga pada orang-orang di sekitarnya, terutama perempuan. Dikutip dari Huffpost dalam Men, Your Fragile Masculinity Is A Cry For Help, berikut adalah beberapa efek fragile masculinity terhadap perempuan:
- Pola Kontrol dan Dominasi
Maskulinitas rapuh sering kali bikin pria merasa harus pegang kendali penuh dalam berbagai hubungan—baik itu hubungan romantis, keluarga, atau di lingkungan kerja. Mereka cenderung menganggap bahwa status mereka sebagai pria hanya bisa dipertahankan kalau mereka bisa mengontrol situasi dan orang-orang di sekitarnya, terutama perempuan. Akibatnya, mereka bisa jadi dominan, mencoba mengatur atau bahkan membatasi kebebasan perempuan dalam membuat keputusan untuk dirinya sendiri.
Contohnya, dalam hubungan romantis, pria dengan fragile masculinity mungkin merasa enggak nyaman kalau pasangannya punya penghasilan lebih tinggi atau prestasi lebih menonjol. Untuk tetap merasa “berkuasa,” mereka bisa berusaha mengontrol aspek-aspek kehidupan pasangannya, seperti keuangan atau pergaulan. Hal ini jelas merenggut kebebasan perempuan dan menciptakan lingkungan yang enggak sehat.
- Membatasi Peran Gender untuk Perempuan
Fragile masculinity sering bikin pria berpegang teguh pada peran gender tradisional. Mereka menganggap bahwa perempuan “seharusnya” menjalankan peran yang lebih lembut dan “pantas,” seperti mengurus rumah atau menjadi pengasuh keluarga, dan mengutamakan keluarga di atas ambisi pribadi. Kalau ada perempuan yang mencoba keluar dari peran tersebut, misalnya dengan mengejar karier atau mengambil posisi kepemimpinan, pria dengan fragile masculinity sering merasa terancam dan mencoba menghalangi langkah tersebut.
Ini bisa membuat perempuan terjebak dalam stereotip bahwa mereka “enggak cocok” atau “enggak layak” untuk posisi yang membutuhkan kekuatan atau kepemimpinan. Akibatnya, potensi mereka di ranah profesional atau personal jadi terbatas, karena mereka dipaksa memenuhi ekspektasi gender yang kaku.
- Kekerasan Berbasis Gender
Fragile masculinity juga sering terkait dengan kekerasan berbasis gender. Ketika pria merasa terancam atau enggak aman dengan posisinya, mereka kadang menyalurkan rasa tidak aman itu melalui kekerasan, baik fisik maupun verbal. Ini sering terjadi ketika perempuan menolak tunduk atau memperjuangkan kebebasan dan hak-haknya. Kekerasan ini, bagi pria dengan fragile masculinity, adalah cara untuk menegaskan posisi mereka dan mengambil kendali.
Efek kekerasan berbasis gender ini bisa sangat menghancurkan bagi perempuan, baik secara fisik maupun mental. Korban kekerasan sering merasa takut untuk menyuarakan hak-hak mereka, karena adanya ancaman yang berkelanjutan. Jadi, maskulinitas rapuh bukan cuma berdampak pada hubungan sosial, tapi juga bisa membawa risiko serius yang mengancam kesejahteraan perempuan.