Perjalanan Pribadi Hapus Prasangka, Tumbuhkan Penerimaan terhadap LGBT
Proses ‘unlearning’ dan ‘re-learning’ telah meruntuhkan prasangka dan membuka hati penulis untuk menerima LGBT, dari pemikiran konservatif menuju pandangan yang lebih inklusif dan penuh cinta.
Sama seperti kebanyakan orang di Indonesia, aku percaya hanya ada dua gender di dunia: Laki-laki dan perempuan. Sisanya adalah “penyimpangan”. Perlu proses unlearning dan re-learning selama bertahun-tahun sampai akhirnya aku mengerti bahwa teman-teman LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) berhak atas kesetaraan.
Proses pembelajaran terdahsyat aku alami saat mengambil mata kuliah Politics of Promotional Culture ketika studi di Inggris pada 2016. Kelas ini mengulas materi periklanan dan etika di balik pesan-pesan komersial secara kritis. Untuk tugas akhir semester, kami diminta membuat esai yang mengkritik sebuah materi iklan. Pilihanku jatuh pada unggahan di Instagram dari sebuah merk sepatu terkenal, yang memanfaatkan Hari Kasih Sayang untuk menjual produk terbaru sekaligus mepromosikan inklusi gender.
Aku sangat terganggu dengan foto dua pasang kaki perempuan yang dibalut sepatu kembar. Mereka terlihat saling berhadapan seolah sedang berciuman atau berpelukan. Foto ini disertai takarir dari lirik lagu The Beatles, “The love you take is equal to the love you make”. Kombinasi visual dan teks tersebut bebas diinterpretasikan sebagai foto pasangan lesbian atau bukan. Namun aku menganggap ambiguitas tersebut menyesatkan.
“Tidak pantas merk sepatu ini mempromosikan LGBT. LGBT itu dosa!” begitu argumenku di depan dosen ketika mengajukan proposal esai.
“Tugasmu menjelaskan mengapa konten ini tidak etis dari perspektif keilmuan komunikasi, bukan menjadi polisi moral,” ujar dosenku tegas. Menurutnya, topik esaiku menarik namun argumennya belum tepat. Ia lalu menantangku untuk mencari perspektif lain sebelum tenggat pengumpulan tugas.
Baca juga: Mereka yang Berada di Tepian Negara: Homofobia pada LGBTQ+
Bongkar Cara Pandang terhadap Minoritas Gender
Selama berkutat menyusun argumen baru, banyak hal yang kupelajari yang mengubah cara pandangku terhadap minoritas gender. Beberapa poin penting adalah sebagai berikut:
- LGBT bukan konsep atau tren baru. Eksistensi kelompok ini sudah ada sejak lama hanya saja tidak diakui atau diapresiasi dengan layak sehingga visibilitas mereka tenggelam. Mereka yang berani melela kerap didiskriminasi, kehilangan kesempatan bekerja, mengalami persekusi, bahkan dibunuh oleh anggota keluarganya sendiri. Tidak jarang, individu LGBT bermigrasi ke kota atau negara lain untuk kehidupan yang lebih “aman”.
- LGBT bukan penyakit mental seperti yang aku kira selama ini. Asosiasi Psikiatri Amerika dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeliminasi homoseksualitas dari kategori penyakit pada tahun 1973 dan 1990. Pemahaman tentang gender pun terus berevolusi hingga sekarang.
- Gender itu ternyata konstruksi sosial. Sesungguhnya gender merupakan spektrum dan bukan biner antara perempuan (feminin) atau laki-laki (maskulin) saja. Konstruksi sosial ini turut dipengaruhi oleh (mis)representasi gender di media massa. Beberapa stereotip negatif dari media yang kerap diasosiasikan dengan LGBT di dekade 1970-1990-an antara lain pelaku sodomi, pedofilia, pembunuh berantai, orang dengan HIV/AIDS, atau kriminal. Padahal, teman-teman LGBT memiliki identitas yang kaya dan beragam di kehidupan nyata.
- Menurut Justin Bengry, dosen Queer History di Goldsmith University, stereotip LGBT di media barat terhadap LGBT mulai bergeser perlahan-lahan sejak dekade 90-an. Hal tersebut bermula ketika riset pemasaran mengindikasikan pasangan sesama jenis sebagai rumah tangga dengan potensi daya beli yang relatif tinggi. Mereka dipandang sebagai sasaran empuk pemasaran karena umumnya tidak memiliki anak sehingga ada sejumlah pendapatan yang biasanya digunakan untuk keperluan anak bisa dialihkan untuk keperluan lain.
- Pemberdayaan ekonomi dapat menjadi langkah pertama pengakuan identitas LGBT, namun hal ini tetap memiliki risiko marginalisasi karena tidak berangkat dari pengakuan atas hak asasi manusia dan kontribusi kelompok LGBT di bidang lain seperti politik, sosial, intelektual, dan budaya. Asumsi heteronormatif dan kapitalistis—bahwa pasangan LGBT berdaya beli tinggi—juga menafikan kenyataan bahwa sebagian kelompok LGBT berada di posisi rentan secara ekonomi karena dikucilkan oleh keluarga, tidak memiliki kartu identitas yang diakui negara, sehingga kehilangan kesempatan menempuh pendidikan tinggi dan berkarir.
- Iklan produk yang menargetkan LGBT selayaknya disertai dukungan nyata bagi pemenuhan hak-hal LGBT, bukan hanya dukungan performatif demi mendulang keuntungan semata. Praktik rainbow-washing (promosi dan representasi LGBT untuk kepentingan profit tanpa aksi nyata pemenuhan hak LGBT) hanya akan melanggengkan marginalisasi kelompok LGBT.
Baca juga: Rukyah hingga Label Bencong: 4 Homofobia di Indonesia
Prasangka terhadap LGBT Belum Berubah Total
Setelah selesai mengumpulkan esai, aku tidak serta-merta menjadi pakar gender dan paham kehidupan LGBT seratus persen. Proses belajar dan mengenal teman-teman LGBT terus berlanjut melalui lingkup kuliah, pekerjaan, dan kegiatan sebagai relawan. Melalui pertemuan-pertemuan dengan teman-teman LGBT, aku menyadari bahwa isu kesetaraan gender sangat luas dan tidak terbatas pada pemberdayaan perempuan saja.
Misalnya, inklusi gender di rumah ibadah. Sebagai individu yang dibesarkan di keluarga Protestan, kami diajari bahwa LGBT itu dosa dan akan berakhir pada kehancuran seperti Sodom dan Gomora. Persepsi ini berubah ketika aku bertemu Lisa, teman kuliah, seorang lesbian yang sangat religius. Ia rajin mengajak teman-teman seiman untuk berdoa bersama tanpa paksaan, khususnya di musim ujian. Ia juga kerap memastikan bahwa anak-anak rantau tidak mengalami kesulitan beradaptasi di kampus. Lisa peduli pada kami tanpa agenda menjadikan kami LGBT—seperti yang ditakutkan oleh pemuka agama konservatif.
Dalam kesempatan lain, aku juga bertemu seorang pastor homoseksual di Belanda yang menjalani pekerjaannya dengan sukacita dan selalu mendoakan hal-hal baik untuk jemaatnya. Kedua pengalaman ini sangat kontras dengan pemimpin kelompok sel (komsel) gereja yang penuh kebencian terhadap LGBT. Pemimpin komsel pernah memaksa kami mengucilkan seorang anggota yang diketahui sebagai lesbian, karena takut hal itu menular. Hasutan kebencian ini berangkat dari kepercayaannya yang mengakar bertahun-tahun, ketidakpahaman terhadap isu gender, dan juga ketakutannya akan hal baru yang tidak atau belum dia mengerti. Semua pengalaman ini mendorongku mempertanyakan ajaran cinta kasih yang digemakan di gereja.
Tantangan kesetaraan LGBT lain kutemui di tempat kerja. Aku memiliki privilese berkenalan dengan beberapa kolega gay dan transgender. Profesi yang mereka lakoni juga beragam, dari penulis dan fotografer, sampai software engineer dan asisten direktur. Mereka cukup nyaman dan terbuka mengenai identitas gendernya kepadaku. Namun, keterbukaan ini hanya bisa dilakukan secara selektif. Sebagian besar mengakui bahwa ketakutan untuk melela tetap ada. Misalnya, takut dipecat atau kehilangan kesempatan promosi di kantor. Praktik-praktik diskriminasi tersebut mengabaikan performa teman-teman LGBT yang menjalani tugas mereka dengan baik, terlepas dari identitas dan seksualitas mereka.
Baca juga: Homofobia dan LGBT yang ‘Mengganggu’
Membuka ruang untuk LGBT awalnya terasa menakutkan, tapi juga membebaskan. Otak yang dulu dipenuhi kebencian dan kecurigaan terhadap LGBT terasa lebih rileks ketika sudah mulai terbuka dan melek gender. Menghabiskan energi untuk membenci mereka terasa lebih melelahkan dibanding mencoba memahami dan menerima.
Berbagi ruang dengan LGBT juga tidak membuat identitasku sebagai cis-gender terancam atau ruang gerakku terbatas. Ruang aman yang inklusif untuk beragam identitas gender malah membuat kehidupan kita semakin kaya dan berwarna. Bhinneka Tunggal Ika juga bisa berlaku untuk minoritas gender, sampai semuanya setara, kan?
Kandis Shintya adalah praktisi komunikasi pembangunan.