People We Love

Selamat Jalan Nur Hidayati, Pejuang Lingkungan dari WALHI

Lebih dari 20 tahun, sosok yang akrab disapa Yaya ini berjuang melawan perusak lingkungan. Ia juga merangkul perempuan untuk melawan ketidakadilan ekologis.

Avatar
  • November 5, 2024
  • 3 min read
  • 30 Views
Selamat Jalan Nur Hidayati, Pejuang Lingkungan dari WALHI

“Keluarga besar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) kehilangan seorang teman, sahabat, pejuang lingkungan, pembela HAM, Direktur Eksekutif Nasional WALHI periode 2016-2021, Nur Hidayati atau yang kami kenal sebagai Mbak Yaya, yang berpulang hari ini,” tulis WALHI Nasional di akun Instagramnya, (5/11). 

Yaya pergi setelah berjuang melawan kanker selama setahun. Ia adalah sosok yang berani melawan praktik perusakan lingkungan di Indonesia, selama lebih dari dua dekade hidupnya. 

 

 

Baca Juga: Kalau Ada yang Melakukan Banyak Hal dalam Waktu Singkat, Teddy Lah Orangnya 

Dedikasi Sebagai Pejuang Lingkungan Hidup 

Awalnya, Yaya menemukan ketertarikan pada isu pembangunan dan lingkungan hidup, saat berkuliah di Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung (ITB). Dari situ, ia mengenal WALHI dan mulai terlibat pada sejumlah kasus lingkungan hidup, setelah menyelesaikan pendidikan sarjana. Di antaranya pencemaran PT Freeport Indonesia dan PT Toba Pulp Lestari—dulu bernama PT Inti Indorayon Utama. 

Keterlibatan Yaya dalam isu lingkungan hidup juga dikenal lewat advokasi isu dan kebijakan di tingkat nasional, ASEAN, dan global. Ia menjabat sebagai Pengkampanye Perubahan Iklim dan Energi di Greenpeace Asia Tenggara pada 2006-2008, Koordinator Nasional Civil Society Forum for Climate Justice (CSF) pada 2008-2009, Kepala Greenpeace Indonesia pada 2009-2012, serta Ketua Badan Perkumpulan Sawit Watch pada 2010-2012. 

Kemudian, Yaya turut menangani kasus-kasus masyarakat terkait lingkungan hidup, merencanakan pengorganisasian, serta menganalisis dan mengkritik kebijakan pemerintah, parlemen, hingga institusi nasional maupun internasional. 

Salah satunya menentang proyek-proyek reklamasi dan pembangunan infrastruktur, karena pemerintah cenderung berpihak pada investor. Tak ada alasan logis di balik proyek tersebut yang mewakili kepentingan masyarakat dan lingkungan. 

Begitu pun dengan keseriusan pemerintah dalam melestarikan lingkungan hidup. Saat diwawancara Mongabay pada 2016 silam, Yaya menegaskan kebijakan pemerintah justru kontradiktif dengan kedaulatan pangan. Kebijakan itu dibuat dengan menghancurkan sumber pangan dan wilayah-wilayah produktif masyarakat—seperti kawasan karst yang jadi sumber air bagi warga, laut yang jadi sumber mata pencarian nelayan, dan lahan yang subur. 

Baca Juga: Kak Lily, Warisan Ruang Aman, dan Perjuangan Melawan Dominasi: Sebuah Obituari 

Yaya dan Ekofeminisme 

Kiprah Yaya dalam upaya pelestarian lingkungan membuat ia kerap didapuk sebagai pemateri atau pembicara dengan topik ini. Salah satunya dalam kelas Kajian Filsafat dan Feminisme (Kaffe) VIII yang dihelat Jurnal Perempuan pada 2017. Dalam materinya bertajuk “Perjuangan ‘Lingkungan Hidup’ yang Feminis”, sebagaimana dilansir dari laman Jurnal Perempuan, Yaya bilang, perempuan lebih dirugikan dalam kerusakan ekologi ketimbang laki-laki.  

Kita mengenalnya dengan sebutan ekofeminisme, yakni istilah untuk menggambarkan pemikiran dan gerakan sosial yang menghubungkan masalah ekologi dengan perempuan. Dengan ekofeminisme, ia mengajak perempuan untuk ikut berjuang melawan ketidakadilan ekologis. Caranya dengan mengeksplorasi pengetahuan perempuan tentang tubuh, relasi tubuh perempuan dengan alam, dan pengetahuan perempuan (baik individu maupun kolektif) dalam pengurusan alam dan sumber-sumber kehidupan. 

Baca Juga: ‘Saya dan Keadilan’: Ubah Paradigma Lingkungan yang Berpusat pada Manusia 

Salah satu contoh perlawanan konkret yang dilakukan adalah dengan mendorong pemerintah untuk berhenti mengeksploitasi sumber daya alam atas nama keuntungan ekonomi, sebagaimana dilegitimisi UU Omnibus Law Cipta Kerja. Yaya dan WALHI dengan lantang mengkritik upaya pemerintah yang merebut tanah masyarakat demi investasi serta “menjanjikan” kesejahteraan semu lewat Omnibus Law. Padahal, aturan itu justru merusak sumber penghidupan perempuan yang bekerja sebagai petani dan nelayan. 

Kepergian Yaya meninggalkan duka besar, dan Indonesia kehilangan seorang pejuang lingkungan yang gigih. Selamat jalan, Yaya. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *