‘My Annoying Brother’: Upaya Mengurai Maskulinitas Beracun dan Representasi Netra yang Tidak Adil
Film ‘My Annoying Brother’ hadir seolah ingin membongkar maskulinitas beracun lewat hubungan abang-adik. Sayangnya dilunturkan representasi disabilitas yang sangat karikatural.
Gelap. Sunyi. Berantakan.
Hal ini yang didapati Jaya (Vino G. Bastian) saat memasuki rumah yang sudah ia tinggalkan beberapa tahun terakhir. Jaya baru keluar dari penjara, setelah hidup serabutan dan jadi kriminal. Ia berhasil dapat remisi karena membawa-bawa sang adik, Kemal (Angga Yunanda), seorang atlet judo nasional yang cedera berat hingga megalami kerusakan penglihatan.
Kondisi Kemal jadi alasan Jaya mengajukan pembebasan bersyarat. Dan kembali ke rumah mereka yang kini dihidupi sendiri oleh Kemal. Sejak kejadian cedera itu, Kemal hanya mengurung diri di rumah. Tak pernah pergi ke luar rumah. Sampai tibalah Jaya tadi dan menemukan Kemal sedang berbaring ‘seperti tak mau hidup’ di atas tempat tidur. Kedatangan abangnya ini nanti akan membawa sebuah perubahan hidup besar dalam hidup Kemal.
Padahal bagi pelatih Kemal, Amanda (Caitlin Halderman), sang mantan atlet belum kehilangan kemampuan judo. Ia sangat berpotensi sekali untuk ikut ajang paralimpiade—kompetisi olahraga internasional bagi atlet disabilitas. Setiap minggu Amanda selalu datang untuk menyemangatinya. Tapi cara Amanda enggak pernah berhasil.
Sementara Jaya punya ‘udang di balik batu’ dari maksud kepulangannya. Tapi suatu kondisi tak terduga, membuatnya memilih untuk tinggal lebih lama bersama Kemal.
Baca juga: 4 Rekomendasi Film Korea Selatan tentang ‘Bromance’ yang Layak Ditonton
Support System yang Hilang, Kembali Lagi
Sinopsis tadi adalah cerita dari film terbaru Indonesia berjudul My Annoying Brother. Film ini adalah remake dari Korea Selatan dengan judul dan cerita yang sama. Kita akan melihat hubungan abang (kakak laki-laki) dan adik yang jarang ditemui di film-film Indonesia lain. Seperti tema kebanyakan film keluarga lain, My Annoying Brother juga memperlihatkan bagaimana dinamika hubungan antara Kemal dan Jaya.
Di awal-awal film diceritakan, Kemal gak suka dengan kehadiran Jaya. Keengganannya bukan tanpa alasan. Sebab, setelah Jaya menghilang belasan tahun, ia kembali hanya untuk mengambil aset dan barang-barang di rumah. Belum lagi, saat orang tua mereka meninggal, Kemal yang harus mengurus pemakaman keduanya sendiri di usianya masih sangat muda. Tanpa ada orang dewasa, tanpa ada Jaya.
Padahal saat masih kecil, mereka sangat tak terpisahkan. Apalagi, Jaya ternyata adalah orang yang memperkenalkan judo pada Kemal. Karena itu, setelah abangnya pergi, Kemal merasa support system yang ia punya hilang dalam sekejap. Role model itu pergi.
Namun, setelah mulai tinggal bersama lagi, hubungan yang sebelum itu renggang perlahan mencair. Sembari merawat Kemal, ia memenuhi keinginan Amanda agar menyemangati adiknya untuk ikut paralimpiade. Perlahan berkat dukungan Jaya, Kemal kembali bangkit dan mulai menekuni judo lagi.
Support system yang hilang dari hidup Kemal pun perlahan kembali lagi, lewat kehadiran dan semangat tersebut. Meski tak ditunjukan secara gamblang, tapi ia diam-diam senang dengan kembalinya Jaya. Dan Jaya menebus kesalahan di masa lalu dengan menjaga dan melindungi sang adik.
“Bang, jangan pernah tinggalin gue lagi ya. Gue butuh lo ada di dekat gue,” ujar Kemal pada Jaya.
Ada isu maskulinitas beracun yang diurai dari hubungan abang-adik ini. Mereka digambarkan dekat, dan Jaya tak sungkan memperlihatkan kasih sayangnya pada sang adik. Meski mereka laki-laki, yang dalam budaya patriarki dilarang menangis, tak boleh lemah, dan harus jauh-jauh dari emosi sendiri.
Glorifikasi sifat maskulin yang biasanya bisa jadi bumerang bagi laki-laki, justru coba dilunturkan film ini. My Annoying Brother ingin memperlihatkan kalau kehadiran support system dalam hidup seseorang seperti Kemal dan Jaya pasti dibutuhkan oleh semua orang. Selain sebagai penyemangat, juga memberi dampak positif bagi kesehatan mental. Survey American Psychological Association pada 2015 mengatakan, jika seseorang tanpa support system maka tingkat stresnya lebih tinggi. Dibandingkan dengan orang yang punya dukungan emosional.
Selain itu, menurut Debra O’Shea seorang psikolog dari New York support system juga mampu menaikkan self esteem atau harga diri seseorang. Kita akan jauh lebih percaya diri dan merasa tenang dalam menjalani hari, karena pemikiran kalau ada mereka yang menyemangati kita. Hari-hari kita akan menjadi lebih berwarna.
Baca juga: ‘Bromance’ dalam Budaya Populer, Eksis Sejak Lama dan Bermasalah?
Akting Angga yang Karikatural
Sayangnya, isu disabilitas dikemas seadanya dan cenderung cuma tempelan di film ini. Akting Angga, yang di dunia asli bukan orang disabilitas—sebagai seorang Netra—terasa sangat karikatural. Misalnya ketika ia sedang menyuap tempe ke mulutnya sendiri.
Mendiang August Pritchett, aktor dan penulis yang juga orang disabilitas bilang, tidak ada yang mengejutkan dari aktor abled-body (non disabilitas) memerankan karakter disabilitas di film-film. Terutama di Hollywood.
“Pemilihan aktor begitu masuk akal buatku,” tulis Pritchett. “Lebih logis aja, secara hitung-hitungan uang, untuk mempekerjakan seorang aktor dengan nama besar yang lebih dikenal publik daripada mempekerjakan aktor disabilitas yang tidak dikenal siapa-siapa,” tambahnya.
Pritchett dalam artikel Should Non-disabled Actors Play Disabled Characters?, sedang membicarakan aktor Bryan Crasnton dalam film The Upside (2017). Di sana, ia lebih mempertanyakan tentang akses yang tidak merata, terutama untuk aktor-aktor disabilitas. Efeknya juga tidak main-main, penggambaran orang-orang disabilitas di tontonan-tontonan kita juga seringnya karikatural.
Baca juga: ‘Miraculous Brothers’: Hubungan ‘Kakak-Adik’ Dua Tokoh Utama yang Penuh Misteri
Refleksi Pritchett terhadap Cranston dalam The Upside ini juga saya rasakan saat menonton Angga di My Annoying Brother. Angga adalah aktor besar, ia sering bermain di judul-judul besar, dan punya basis penggemar yang besar sekali (bukan cuma bisa dibuktikan dari followers di instagram, tapi juga jumlah penonton film-filmnya). Penggambaran orang Netra yang ia perankan dalam film ini masih terasa seperti akting yang dilakukan orang yang tidak pernah kehilangan penglihatannya.
Pritchett bilang, aktor disabilitas punya pengetahuan lebih dalam tentang bagaimana hidup sebagai orang disabilitas. Misalnya, mereka punya kedalaman emosi yang jauh lebih dalam dalam menghadapi kekalahan dan kemenangan dalam hidup sebagai orang disabilitas. Terjemahan atau interpretasi Angga terhadap hidup Kemal masih jadi salah satu faktor paling mengganggu dalam film ini. Tentu saja, selain cara skrip yang juga belum maksimal adil buat karakter disabilitas.