Perempuan Amerika Meng-Copy Gerakan 4B Perempuan Korsel, Mengapa?
Setelah terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS, di medsos mulai muncul seruan gerakan 4B yang terinspirasi dari gerakan di Korsel.
Di Korea Selatan muncul gerakan 4B, saat perempuan di sana menolak menikah, punya anak, berhubungan seksual, atau pun menjalin hubungan heteroseksual romantis dengan laki-laki. Gerakan ini dilakukan dan diinisiasi sebagai bentuk protes dan kemuakan perempuan di Korea Selatan akan tingginya kekerasan dan pembunuhan terhadap perempuan, diskriminasi gender, hingga biaya hidup di sana yang makin tak masuk akal.
4B sendiri ambil dari bahasa Korea, bi (비/非) yang berarti “no”, merepresentasikan 4 prinsip dari gerakan ini: bihon (no marriage), bichulsan (no childbirth), biyeonae (no dating) and bisekseu (no sex).
Baca juga: What Is South Korea’s 4B Movement, and Why It’s Making Waves in America
Angka Kekerasan pada Perempuan yang Tinggi
Korea Selatan jadi negara dengan angka kekerasan dan pembunuhan terhadap perempuan yang tinggi. Kekerasan terhadap perempuan terutama sering dilakukan oleh orang terdekat seperti pasangan. Tak sedikit kasus femisida terjadi karena laki-laki tak bisa menerima penolakan. Di Korsel, bahkan ada istilah “safe breakup”, situasi perempuan saling berbagi tips soal bagaimana caranya putus sama pasangan dengan “aman” tanpa jadi korban pembunuhan.
Tingginya kasus kekerasan dan femisida dalam relasi romantis juga terlihat dari peningkatan signifikan laporan National Police Agency, pada 2020 ada 49,000 kasus, sedang pada 2023 meningkat jadi 77,000.
Selain itu, tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan diperparah dengan berbagai diskriminasi yang kerap mereka alami. Dikutip dari The Straits Times, Korea Selatan masuk dalam 38 negara anggota Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) dengan angka pay gap serius. Perempuan pekerja sering kali dapat bayaran lebih rendah dibanding laki-laki pekerja.
Belum lagi, di masyarakat patriarkal dan konservatif seperti Korsel, peran gender tradisional yang sering kali membebankan perempuan menjalani peran rumah tangga dan pengasuhan seorang diri. Perempuan kerap jadi pihak yang mengorbankan karier saat menikah.
Baca juga: 10 Alasan Kemenangan Trump Tak Bisa Goyahkan Aksi Iklim Dunia
Masyarakat Misoginis Korsel
Catatan kelam berbagai kekerasan dan diskriminasi pada perempuan di Korsel ini juga tak lepas dari budaya patriarki di sana yang sudah mendarah daging dan terus mencetak laki-laki misoginis.
Tak hanya tergambar dari angka kekerasan pada perempuan dalam relasi romantis, watak misoginis mereka bahkan bisa dilihat dari idola K-pop yang bisa dirundung habis-habisan hanya karena ia baca buku Kim Ji-young, Born 1982. Atau saat atlet panahan An San yang “di-cancel” karena berambut pendek dan dianggap feminis.
Gerakan 4B sendiri adalah wujud kemuakan dari perempuan Korsel yang awalnya dimulai dari grup-grup chatting di internet.
Kebijakan yang Hanya Melihat Perempuan Sebagai Mesin Pencetak Bayi
Korea Selatan jadi salah satu negara di Asia yang terus melaporkan penurunan angka kelahiran. Terus turunnya angka kelahiran di negara ini bahkan membuat pemerintah mengkategorikannya sebagai krisis nasional. Tapi, alih-alih melihat permasalah serius soal kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, pemerintah Korsel malah fokus mendorong warganya menikah dan berhubungan seksual.
Dikutip dari The Conversation, bahkan pemerintah Korsel membuat kebijakan pink birth map, yang memvisualisasikan perempuan usia produktif di setiap distrik.
Kenapa 4B Dilirik di Amerika?
Setelah kemenangan Donald Trump di Pemilihan Presiden AS beberapa waktu lalu, diskusi soal memulai gerakan 4B di AS mulai muncul di media sosial. Tak sedikit perempuan sana yang mengekspresikan kekecewaan atas kemenangan Trump dengan seruan membuat gerakan yang sama. Terlebih, dikutip dari NPR pemilih laki-laki jadi salah satu yang mengantar Trump bisa menang.
Kekecewaan perempuan AS bukan tanpa alasan, Trump sendiri punya catatan kelam kasus kekerasan seksual dan pernyataan-pernyataannya yang seksis, misoginis dan transfobik. Sejak 1970-an, Trump diduga melakukan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap banyak perempuan. Ini berdasarkan pada laporan dan keterangan dari puluhan korban. Pada, 2023, pengadilan New York menjatuhkan vonis bersalah kasus kekerasan seksual pada Trump dan mengharuskannya membayar ganti rugi kepada korban.
Baca juga: Indonesians Who Like Donald Trump
Kebijakan Misoginis Trump
Selain dugaan kasus kekerasan seksual, Trump juga banyak dikritik karena turut berkontribusi dalam pengambilan keputusan misoginis dan membatasi akses pada hak akan kesehatan reproduksi. Ia secara publik bilang bertanggung jawab akan dicabutnya Roe v. Wade, aturan konstitusional AS soal hak aborsi.
Dicabutnya aturan ini membuat beberapa negara bagian AS memberlakukan pelarangan akses aborsi. Kebijakan ini membuat perempuan kehilangan akses akan aborsi aman dan meningkatkan angka kematian perempuan yang terpaksa melakukan prosedur aborsi secara ilegal dan berisiko.
Selain gerakan 4B di Korsel yang mulai dilirik perempuan AS sebagai bentuk protes, di media sosial, tak sedikit juga orang-orang AS, terutama queer yang memperlihatkan mereka pindah negara.
Terpilihnya seorang presiden seksis, misoginis, transfobik dan rasis seperti Trump membuat orang merasa tak aman lagi tinggal di negeri Paman Sam ini.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari