Perempuan di Garis Terdepan Isu Masa Depan: Konferensi Beijing +30
Pertemuan ini jadi pengingat, meski telah mencapai banyak kemajuan di Asia Pasifik, masih ada sejumlah hambatan yang menyandera perempuan.
Perempuan harus berada di garis terdepan dalam isu-isu yang menentukan masa depan bersama, termasuk aksi iklim dan transformasi digital, ujar Sekretaris Eksekutif Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik (UN ESCAP) Armida Salsiah Alisjahbana dalam pembukaan Konferensi Tingkat Menteri Asia Pasifik tentang Beijing +30 di Bangkok, Thailand, (19/10).
“Ini adalah megatrend pada masa ini, dan tanpa fokus pada kesetaraan gender, maka kita berisiko memperdalam ketimpangan,” ungkap mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional RI tersebut.
“Dengan adanya berbagai peluang baru yang muncul, kita harus memastikan perempuan dan anak perempuan dapat berkembang dengan pesat. Kita harus menyediakan alat, pelatihan, dan sumber daya pada perempuan untuk dapat memimpin dalam bidang-bidang ini. Tujuannya untuk memastikan mereka tidak hanya berpartisipasi, tapi juga menjadi penggerak untuk solusi di masa depan,” tambahnya.
Baca juga: Apa itu COP29: Pendanaan Iklim dan Dampaknya buat Perempuan
Konferensi yang berlangsung selama tiga hari ini bertujuan untuk meninjau kemajuan dan prioritas aksi di kawasan Asia Pasifik. Itu dilakukan demi mendukung kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebelum perayaan 30 tahun Beijing Declaration and Platform for Action pada 2025. Diselenggarakan oleh UN ESCAP dan UN Women, konferensi ini dihadiri 1.200 delegasi dari pemerintahan, organisasi masyarakat sipil, kelompok pemuda, sektor swasta, dan akademia.
Beijing Declaration and Platform for Action ditandatangani pada 1995 oleh 189 negara untuk mendorong tercapainya kesetaraan gender dan pemberdayaan. Selama tiga dekade, kawasan ini telah melihat banyak meraih pencapaian. Saat ini jumlah anak perempuan yang bersekolah di Asia dan Pasifik telah mencapai angka tertinggi. Angka kematian ibu juga telah menurun sebanyak 1/3 sejak 2000, dan perempuan telah memiliki akses ke posisi kepemimpinan dalam bidang politik, bisnis dan pembuatan keputusan.
Namun masih banyak tantangan lainnya, termasuk norma sosial yang diskriminatif dan stereotip gender yang masih sangat kuat. Selain itu, tingginya prevalensi kekerasan berbasis gender, kerja domestik dan kerja perawatan tak berbayar yang secara tidak proporsional masih dibebankan ke perempuan, dan kurangnya investasi dalam menangani kesetaraan gender.
Baca Juga: Konferensi Iklim Didominasi Laki-laki, Saatnya Tingkatkan Keterlibatan Perempuan
Direktur Eksekutif UN Women Sima Bahous mengatakan, “Ke depannya, Beijing +30 menawarkan peluang yang unik untuk mendorong kemauan politik dan keterlibatan publik dalam mengakselerasi implementasi dari Beijing Platform for Action.”
“Kehadiran kita di sini menjadi pengingat bahwa meskipun kita telah banyak mencapai kemajuan, masih banyak kerja-kerja menanti di depan. Bersama kita perlu melangkah ke masa depan di mana tidak ada perempuan dan anak perempuan yang tertinggal dan kesetaraan gender bisa diakui dan dicapai di seluruh kawasan Asia dan Pasifik,” ujar Menteri Urusan Perempuan Kamboja Khanta Phavi, yang terpilih memimpin konferensi ini.
Dalam pernyataan negaranya, Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan di Kementerian Luar Negeri, Indah Nuria Savitri, menyampaikan capaian Indonesia dalam berbagai bidang, termasuk pembangunan yang inklusif, kerja layak, pengentasan kemiskinan dan kekerasan berbasis gender.
Ia mendorong langkah terkoordinasi pada tingkat internasional dan kawasan untuk menghapus hambatan sistemis dalam mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan, dan melibatkan pemangku kepentingan dari tingkat nasional hingga akar rumput untuk mengatasi stereotip, norma, serta budaya yang berdampak pada perempuan.
“Masih banyak yang harus dilakukan, bersama dengan semua pemangku kepentingan, untuk memastikan implementasi Beijing Platform for Action yang utuh, efektif dan terakselerasi, serta menurunkannya menjadi aksi yang merespons tantangan global, termasuk mengatasi pelanggaran berat hak asasi manusia terhadap perempuan dan anak perempuan Palestina di Gaza,” Indah mengatakan.
Baca Juga: COP 28 Sepakati Dana ‘Loss and Damage’ atau Ganti Rugi Krisis Iklim, Apa itu?
Mewakili suara orang muda, Nala Amirah, pendiri Green Welfare Indonesia, menyorot dampak krisis iklim pada perempuan dan anak perempuan dan pentingnya menginklusi kelompok mendorong kepemimpinan perempuan dalam pembuatan keputusan
“Ada pemisahan dalam tata kelola iklim. Kita melihat banyak perempuan yang memimpin gerakan akar rumput dan upaya komunitas, namun ada kesenjangan pada kepemimpinan perempuan pada tingkat pembuatan keputusaan tingkat tinggi,” ujarnya.
Dalam konferensi ini, ESCAP dan UN Women juga meluncurkun laporan terbaru Charting New Paths for Gender Equality and Empowerment: AsiaPacific Regional Report on Beijing+30 Review. Laporan ini menyorot tantangan ke depan, namun juga menggarisbawahi strategi dan solusi pada tiga area tematis: Pengurangan kemiskinan dan pembangunan manusia; pembagian kesejahteraan dan kerja yang layak; kebebasan dari kekerasan berbasis gender; partisipasi yang berarti dan tata kelola yang responsif gender; masyarakat yang damai dan adil; dan gender dan lingkungan hidup.
Laporan ini menekankan pada tiga aksi utama untuk memperkuat fondasi percepatan progres dalan kesetaraan gender di semua sektor, termasuk transformasi norma gender, memperkuat pengambilan dan penggunaan data gender, dan mendorong investasi ramah gender dan kemitraan lintas-sektoral.